Rabu, 09 April 2008

Bangga, Anak Ke-21 Tetap Lahir Normal

Sehari Ibu Perkasa Itu Masak 5 Kg Beras
DENPASAR - Hingga kemarin kondisi Halimah, wanita "perkasa" yang melahirkan anak ke-21 di Rumah Sakit (RS) Sanglah, Denpasar, Bali, dinyatakan sehat. Bahkan, ibu berusia 44 tahun itu sudah bisa berjalan dan menggendong sang anak, Maimunah, bayi berumur tiga hari yang lahir lewat persalinan normal pada Sabtu (5/4) lalu.

"Alhamdulillah normal lagi. Beratnya 2,5 kilogram," kata Halimah tentang kelahiran anak ke-21 itu saat dijenguk Radar Bali (Grup Jawa Pos) di sal Bakung Timur RS Sanglah.

Kenyataan bahwa bayi perempuan itu lahir normal dan lewat persalinan yang juga normal sangat membanggakan hati Halimah. Sebab, sejak kelahiran pertama, semua anaknya lahir normal lewat persalinan yang juga normal.

Hanya, ketika ditanya apakah masih siap melahirkan anak urutan berikutnya (ke-22), wanita yang tinggal di Gatsu Barat, Karang Sari, Denpasar Barat, itu tak menjawab dengan tegas. Sebab, dia mengaku takut saat ditawari dokter ikut KB, apalagi operasi streril. Tapi, mau melahirkan lagi juga tidak ingin. "Sudah capek," katanya.

Namun, sebagai istri yang memiliki suami dan tak mau ikut KB, Halimah sadar bahwa dia masih berisiko hamil lagi. Dengan kelahiran si bungsu berjenis kelamin wanita itu, komposisi sementara ke-21 anaknya adalah 10 pria berbanding 11 perempuan.

Godaan untuk melahirkan bayi ke-22 itu memang cukup besar. Sebab, ada calon "donatur" yang siap membiayai anak-anaknya hingga besar jika wanita itu bisa menggenapi anaknya menjadi 22. Namun, dokter yang menanganinya menganjurkan dia steril. Sebab, dengan kemampuan melahirkan tiap satu setengah tahun seperti selama ini, wanita bertubuh subur itu dikhawatirkan bisa beranak 30. "Saya cuma takut kalau disuruh steril," katanya enteng.

Halimah sebenarnya sudah pernah ditulis koran ini pada Desember 2004, saat "baru" mau melahirkan anak ke-19. Kini, anak ke-19 itu berumur tiga tahun lebih dan sudah punya dua adik.

Pasangan Halimah dan Mas’ud tinggal di rumah berpagar seng sederhana di Gang Karang Sari. Rumah itu tergolong kecil jika "disesaki" 20 anaknya. Namun, pasangan yang bekerja sebagai tukang celup kain terkesan bisa menikmati.

Meski hidup serba kekurangan, pasangan itu tak pernah mengeluh. Mereka menganggap anak banyak adalah kekayaan. Pasutri ini juga tak merelakan anaknya diadopsi orang. "Sudah banyak yang datang kepada kami untuk mengadopsi. Tapi, saya dan istri pasrah saja. Biarkan kami menjalani (hidup) ini apa adanya," kata Mas’ud kepada Radar Bali.

Menghidupi 20 anak (sebelum kelahiran Maimunah) bukanlah perkara mudah. Dalam sehari Mas’ud dan istri harus menyiapkan 5 kilogram beras. "Paling berat beli susu. Saya beli dua kotak susu ukuran 300 gram hanya bisa bertahan dua hari," kata Halimah.

Dengan hidup gaya gali lubang tutup lubang, Halimah yang sedang hamil pun harus ikut memeras keringat untuk bisa memberi makan anaknya secara rutin. "Kalau beras nggak cukup, kita juga pernah bikin bubur saja biar rata kebagian," kenangnya.

Namun, ada hikmah yang membuat pasangan ini tetap bersyukur: keluarganya selalu mendapat limpahan rezeki, termasuk kesehatan. "Kita bersyukur anak kita nggak aneh-aneh. Semua nurut. Termasuk saya, ibunya (Halimah), dan anak-anak nggak pernah sakit serius," jelas Mas’ud yang kini berusia 55 tahun itu.

Menurut Halimah, dari 21 kelahiran anaknya, pengalaman terpahit yang dialami adalah saat melahirkan anak ke-12 di Jakarta yang diberi nama Romlah. Saat itu, dia merasakan antara hidup dan mati. "Saya sempat jadi tontonan. Dan, semua orang panik saat saya melahirkan Romlah di becak," katanya.

Mengapa lahir di becak? Saat itu, dalam kondisi hamil tua, dia mencari suaminya yang diisukan serong dengan wanita lain di ibu kota. "Saya cari ke semua pelosok Jakarta sampai kesasar ke mana-mana. Ternyata itu tidak benar," tutur Halimah yang sejak itu memutuskan tak mau pisah dengan suami dan tinggal di Bali.

Kelahiran yang istimewa juga terjadi pada anaknya yang ke-20. Sebab, pada hari yang sama, anaknya yang kelima, Ni’mah, juga melahirkan. "Saya malu, anak saya lahir bareng dengan cucu saya," katanya.

Meski dia dan suami pontang-panting mencari rezeki untuk menghidupi 21 mulut, Halimah menganggap mereka semua sebagai berkah. "Saat ini mungkin repot. Tapi, mudah-mudahan kelak mereka bisa hidup layak dan bisa mengangkat dan meringankan beban orang tua," katanya.

Mas’ud mengakui, ada orang asing yang menjanjikan mengurus tuntas masa depan anaknya bila istrinya bisa melahirkan bayi ke-22. "Biaya persalinan hingga kuliah saat besar nanti ditanggung. Tapi, kami nggak tahu, ini yang ke-21 saja sudah berat," imbuhnya.

Menurut Mas’ud, akhir-akhir ini dia juga sering dihubungi para artis ibu kota. "Mbak Dorce (Dorce Gamalama, Red) sudah pesan dan menelepon minta saya ke Jakarta. Tapi, saya nggak mau kalau cuma menginap sehari, capek bolak-balik dari sini Jakarta kalau hanya sehari," katanya.(pra/jpnn/el)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10288

Selasa, 08 April 2008

Aku Ingin Membelai Wajah Ibu

Aku terus saja berjalan walaupun kurasakan gelap menghalangi langkahku yang sudah mulai gontai. Aku hanya ingin segera keluar dari ruang gelap ini. Entah sudah berapa lama aku di ruang gelap terkutuk ini. Ya, terkutuk! Tidak hanya gelap, tapi juga pengap. Memaksaku berkali-kali menarik napas dalam-dalam. Aku harus tetap bernapas sampai aku dapat keluar dari ruang gelap dan pengap sialan ini.

Kucoba rentangkan kedua tanganku ke samping lalu ke depan. Berharap menyentuh sesuatu untuk dapat kujadikan pegangan.

Serta menuntun jalanku yang tak tahu arah ini. Aku terlalu capai, terlalu letih, terlalu lemah untuk dapat terus berjalan melewati ruang ini. Tapi aku tidak yakin, apakah ini suatu ruangan. Sebab, aku merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter ke depan. Namun, tak kunjung menemukan ujung.

Mungkinkah ini sebuah gua? Gua panjang yang tak berujung sehingga aku takkan pernah bisa keluar? Tapi, aku ingin keluar! Aku sudah bosan dan tersiksa berada di sini. Ingin aku mencoba teriak, tapi aku tak bisa.

Mulutku terasa berat. Bahkan untuk mengucapkan satu kata, "Tolong!". Itu saja. Tidak terlalu berlebihan, bukan? Aku butuh sekali pertolongan kali ini. Adakah yang bisa mengeluarkanku dari sini?

***

Masih saja gelap itu ada. Gelap pekat yang membunuhku rapat-rapat sampai membuatku tak berdaya. Aku masih mencoba terus bejalan dengan sisa-sisa napas dan tenaga yang masih melekat di raga. Mungkin, sebentar lagi napas dan tenaga ini hilang tenggelam oleh letih yang menggunung. Aku terhenti sejenak ketika mendengar sebuah suara. Ya, itu suara! Tapi di mana? Aku tak tahu di mana, aku tak bisa melihat. Tapi, aku yakin itu suara. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Hanya gelap. Gelap yang pekat dan hitam. Aku tetap tak bisa melihat.

"Heru, bangun Heru!" Suara perempuan. Suara yang rasanya sangat aku kenal. Suara itu semakin jelas. "Heru, bangun... Ini ibu, Nak!" Ya. Itu suara ibu... Tapi, aku tak bisa melihat. Ketika aku melihat cahaya di depan sana, aku berlari. Aku merasa suara yang mirip ibu itu di dalam cahaya itu. Aku berlari, dan... Hei, aku bisa berlari. Kencang sekali!

Aku terhenti ketika kudengar lagi suara itu. "Heru, bangun!" Suara itu bergetar dan semakin lirih. Seperti suara orang menangis. Lalu, kurasakan sesuatu membelai rambutku. Aku terjaga. "Hei Ibu, aku sudah bangun!"

***

"Kau sudah sadar, Nak?" Aku melempar pandang ke sekeliling dengan mata setengah terpejam. Silau itu masih saja menyerangku. Tapi, kali ini tak berhasil membuat mataku terpejam lagi.

Aku melihat Ibu. Juga bapak, adik, dan kakakku. Bahkan, aku melihat saudara jauh dari bapak dan ibu yang selama ini jarang kutemui. Aku menangkap rasa kekhawatiran di wajah mereka. Namun, wajah ibulah yang paling tenggelam oleh kesedihan. Sinar wajahnya redup, tidak secerah saat mengantarkanku berangkat sekolah.

Aku melihat ke arah Ibu. Ibu tersenyum. Sekali lagi, ibu membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. "Kau sudah sadar, Heru?" tanya ibu, berbisik. "Kau sudah bangun dari pingsanmu,"

"Pingsan?" Aku terkejut.
"Ya, kau tadi mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan?"Aku bertanya pada ibu sekali lagi.
"Sewaktu pulang sekolah, kau tertabrak mobil, Nak," Ibu menjawab sembari membelai rambutku dengan perlahan.

"Apa aku tidak apa-apa, Bu?" Kali ini kuarahkan pandangku ke tangan, badan, lalu kakiku. Tangan kananku terlilit perban sehingga tak bisa lagi kulihat jari-jarinya.

Tangan kanan tak bisa kugerakkan. Kucoba menggerakkan kaki. Linu dan perih kurasakan di kedua kakiku. Lalu, kucoba meraba kepalaku. "Kepalamu terbentur aspal sewaktu kecelakaan tadi." Aku bersyukur. Setidaknya, aku masih bisa melihat anggota tubuhku dengan utuh. Sekali lagi kulihat ibu, bapak, adik, dan saudara-saudara. Kali ini rona wajah mereka berangsur-angsur ceria. Kucoba meraih tangan ibu. Tapi, gelap itu datang dan menyerang lagi. Aku tak bisa melihat apa pun. Aku masuk ruang gelap itu lagi.

***

"Heru, bangun, Nak!" Suara itu terdengar lagi.
"Nak, ini Ibu, Nak" Suara itu bergetar dan terbata-bata, tenggelam oleh isak tangis. Aku mencoba membuka mata. Kulihat ibu tersenyum dengan sunggingan yang dibuat-buat.
Ibu mengusap air mata sambil mencoba tak menunjukkan rasa sedih itu kepadaku. Tapi, aku tahu, ada kesedihan yang mendalam di raut wajah ibu.

Kulihat sekelilingku, kali ini sepi. Tidak seperti tadi. Kali ini hanya ibu yang terus menangis sesenggukan. Tangis yang memecah kesunyian ruang itu.

Tercium bau karbol yang menyengat hidung. Bau khas rumah sakit. Ya, ini rumah sakit. "Ibu kenapa menangis?" Ibu tak menjawab. Malah, tangisnya kian menjadi. Wajah setengah renta yang masih begitu cantik di mataku tersebut semakin tenggelam oleh kesedihan.

Kucoba menggerakkan tanganku. Aku ingin membelai wajah ibu dengan tanganku. Barangkali, itu bisa meredakan tangisnya. Tapi, aku tak bisa menggerakkan tanganku. Kucoba dan kucoba lagi sekuat tenaga, namun tetap gagal.

Saat itu, barulah kusadari suatu hal. Tanganku sudah tidak ada lagi. Hilang. Lenyap. Di mana tanganku?

"Kamu kecelakaan, kedua tanganmu terluka parah dan harus diamputasi, Nak," Ibu berbisik kepadaku. Sekali lagi, air mata ibu deras menguyur membasahi pipinya yang mulai keriput termakan usia.Aku berusaha mengingat lagi apa yang sudah terjadi. Kepalaku terasa sakit sekali saat mencoba kembali mengingat. Aku hanya ingat ketika mencium tangan ibu sebelum berangkat sekolah.

Hanya itu yang kuingat. Selebihnya, aku tak ingat. Kepalaku terasa berat. Sakit sekali seperti ditusuk jarum besi yang panas. Aku hanya menatap wajah ibu yang terus bersedih. Aku tak berani melihat bekas tanganku yang telah hilang diamputasi. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menatap wajah ibu yang tenggelam oleh badai kesedihan.

Aku ingin sekali membelai wajah ibu dengan kedua tanganku. Ingin ... ingin sekali.... Ya Tuhan, betapa inginnya aku membelai wajah rentanya dengan kedua tanganku.
Tapi, aku tak bisa.

Aku sangat menyesal kerena tak pernah membelai wajah ibu dengan kedua tanganku sewaktu masih ada. Aku menyesal tak pernah menyentuh pipinya, membelainya. Aku menyesal tak pernah sempat melakukannya, membelai wajah ayu ibuku.

Kuembuskan napas perlahan. Aku berharap semoga semua ini hanya mimpi. Aku ingin memejamkan mata sekali lagi. Aku ingin masuk ke ruang gelap itu lagi. Nanti, ketika kubuka mata kembali, aku berharap menemukan suasana yang berbeda. Tidak seperti ini.
Aku ingin membelai wajah ibu. (*)

(Syafril Hidayat, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=334765

DPR Isyaratkan Gugat Slank


Gara-gara Lagu Gosip Jalanan Dianggap Lecehkan Dewan
JAKARTA - DPR sedang sensitif. Nyanyian karya grup musik Slank berjudul Gosip Jalanan, yang berisi kritik ke parlemen, membuat panas para wakil rakyat.

Karena itu, mereka bakal menggugat Slank. "Grup band ini melecehkan lembaga dewan," tegas anggota komisi III Gayus Lumbuun. Menurut Gayus, secepatnya Badan Kehormatan (BK) DPR berkonsultasi dengan komisi hukum dan HAM (komisi III) untuk mencari pintu hukum pengajuan gugatan atas lagu tersebut.

"Lagunya menistakan dewan," ujarnya seraya menjelaskan bahwa dalam lagu itu ada potongan lirik yang berbunyi, "Pembuat undang-undang yang ujung-ujungnya duit".

Padahal, lanjut Gayus, grup band Slank saat ini menjadi mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengampanyekan antikorupsi melalui seni musik. Penciptaan lagu yang dinilai mencederai citra DPR tersebut sudah direkam dan diedarkan secara komersial. Alasan itulah yang akan dijadikan anggota dewan untuk menggugat secara hukum isi lagu tersebut. "Sepertinya, Slank ingin mencari keuntungan dengan memperburuk citra DPR," tambahnya.

Kenapa DPR baru mempermasalahkan lagu Slank, padahal banyak sekali karya seni dari penyanyi lain yang juga mengkritik DPR dan bisa bebas beredar? Misalnya, lagu Iwan Fals berjudul Wakil Rakyat yang dengan jelas menyebut lembaga dewan. Menjawab pertanyaan itu, Gayus mengatakan, "Kalau lagu Iwan Fals itu, isinya kritik membangun. Bukan seperti lagu ini yang men-judge DPR koruptor," tandasnya.

Dihubungi terpisah, personel Slank, Ridho, mengklarifikasi bahwa lagu itu diciptakan tiga tahun lalu. Judulnya Gosip Jalanan dan sudah beredar di masyarakat dalam album PLUR (Peace Love Unity and Respect). "Judulnya saja Gosip Jalanan, Mas. Ya kalau namanya gosip, terus ada yang merasa, terus marah, berarti gosipnya bener dong?" ujar gitaris Slank tersebut.

Dia menyayangkan respons DPR yang berlebihan atas kritik sosial yang disampaikan Slank. Seharusnya, masukan dari masyarakat direspons dengan memperbaiki diri. "Seharusnya, tidak perlu marah. Sebab, kritik yang baik bisa dijadikan bahan untuk koreksi diri," tambahnya. (cak/mk)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=334970

Burj Dubai Resmi Paling Tinggi di Dunia

BELUM SELESAI: Kondisi terakhir Burj Dubai, seperti dirilis developernya, Emaar, kemarin (7/4). Tinggi mencapai 629 meter.

DUBAI - Ahlan wa sahlan. Selamat datang bangunan paling menjulang sejagat. Kemarin (7/4), Burj Dubai di Uni Emirat Arab mencapai 629 meter. Berarti "resmi" melampaui ketinggian menara televisi KVLY-TV di North Dakota, AS, yakni 628,8 meter. Dengan demikian, rekor bangunan tertinggi di dunia yang dipegang KVLY-TV sejak 1963 tumbang.

Developer Emaar, yang membangun Burj alias Menara Dubai, dengan bangga mengumumkan pencapaiannya itu. Dan, Emaar belum berhenti dengan meraih selisih rekor dunia 20 cm. Meskipun belum diungkap dengan rinci oleh developernya, AFP menyebut Burj Dubai diperkirakan akan mencapai 900 meter ketika selesai dibangun awal tahun depan.

Sebenarnya KVLY-TV tak layak dibandingkan dengan kerumitan dan kecanggihan bangunan Burj Dubai. Sebab, menara yang dipakai televisi grup NBC dan CBS itu hanya berbentuk seperti antena televisi lazimnya. Bukan bangunan yang bisa dihuni. Yang menjaga agar tidak tumbang adalah rentangan ribuan kawat baja yang ditarik ke tanah di sekujur menara.

Namun, KVLY-TV mampu bertahan sebagai bangunan buatan manusia tertinggi selama 45 tahun. Antena radio di Polandia pernah berhasil melampauinya pada 1974 dan 1991, tapi antena itu kemudian ambruk.

Sebelum melampaui KVLY-TV, Burj Dubai yang 160 tingkat mengalahkan menara Taipei 101 yang setinggi 508 meter di Taiwan. Menurut Emaar, saat komplet nanti, Burj Dubai menelan 330 ribu kubik meter beton, 39 ribu ton baja, dan 142 ribu meter persegi kaca.

Emaar boleh bangga dengan rekor sekarang. Namun, menurut koran ArabianBusiness, perusahaan milik negara di Dubai, Nakheel, siap membangun gedung yang lebih menjulang lagi. Kompetitor Emaar itu akan membuat gedung setinggi 1.200 meter.

Arsitek Australia, Woods Bagot, mendapatkan kontrak membantu pembangunan menara baru ini. Nakheel, yang menjadi bagian dari DubaiWorld, mengiyakan sedang bekerja sama dengan Woods Bagot. Namun, menolak memberikan info lebih detil.

Negara-negara Timur Tengah, yang tengah banjir rezeki karena kenaikan harga minyak, memang tengah tergila-gila pada bangunan megah. Menurut Middle East Economic Digest yang berbasis di London, Arab Saudi juga tengah merencanakan membuat gedung setinggi 1.600 meter di Jeddah, kota di tepi Laut Merah.(roy)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10285

Senin, 07 April 2008

Sahabat

Aku hendak mengedit naskah yang diperlukan untuk membuat company profile sebuah perusahaan. Tiba-tiba terdengar ada seseorang membuka pintu kantor. Ketika aku keluar, kulihat sahabatku sedang menghidupkan mobilnya yang di parkir di depan kantorku. Ketika aku hendak menghampirinya, dia hanya melambaikan tangan. Tidak keluar dari mobilnya. Menyurutkan niatku untuk menghampirinya.

Aku sadar bahwa aku terlalu berharap lebih darinya. Persahabatan yang bermula satu setengah tahun yang lalu, kini mengalami kerenggangan. Aku tidak tahu apakah dia sudah bosan dengan persahabatan kami. Beberapa pekan yang lalu aku mencoba menghubunginya, tetapi selalu saja dia tutup. Tak mau menjawab panggilanku. SMS dariku pun tidak dia jawab. Apakah ini sebuah persahabatan? Setelah sekian lama kami saling kenal, dia dengan mudah bersikap seperti itu. Tak ada penjelasan apapun. Membuat pikiranku dipenuhi dengan segenap tanya.

Dia sudah kuanggap saudaraku sendiri. Dia orangnya baik, sangat perhatian, percaya penuh kepadaku. Aku berbaik sangka saja. Dia membuka pintu kantorku mungkin mau menemuiku dan menjelaskan semuanya. Alasan kenapa dia tidak menjawab panggilan dan sms dariku. Mungkin dia belum siap untuk hal itu.

Tidak selamanya kehidupan di dunia ini akan berjalan mulus seperti yang kita harapkan. Kalau pun persahabatan kami akan berakhir sampai disini, aku harus rela menerimanya. Meski pun hal ini tidaklah mudah. Perpisahan adalah suatu bagian dari kehidupan ini. Kita tidak selamanya akan bersama-sama dengan orang yang kita cintai. Dan kita tidak bisa memiliki orang lain.

Sahabat sejati adalah sahabat yang kehadirannya menenteramkan dan ketiadaannya merindukan.

Minggu, 06 April 2008

Saudi Cambuk 70 Kali Artis yang Berkhalwat

Pangadilan Riyadh memvonis penjara dan cambuk artis Saudi setelah terbukti “berkhalwat” dengan lain jenis dalam sebuah mobil

ImageHidayatullah.com--Kantor berita Saudi pada hari Kamis (3/4) melansir bahwa Pangadilan Riyadh mengeluarkan vonis penjara dan cambuk untuk artis Saudi, yang juga juara dalam acara televisi yang cukup dikenal “Super Star”, setelah terbukti ia melakukan khulwah (berdua-duaan) bersama seoarang perempuan yang telah melepaskan semua pakainnya, yang bukan mahramnya di dalam mobilnya di Riyadh.

Hai’ah Amar Ma’ruf  Nahi Mungkar, mendapat laporan, bahwa ada laki-laki dan perempuan berkhulwah dalam sebuah mobil, dan mereka mengetahui bahwa si laki-laki adalah seorang selebriti.

Pengadilan Riyadh akhirnya menjatuhkan vonis penjara dan 70 kali cambuk bagi penyanyi yang melakukan aktifitas amoral pada bulan lalu itu.

Petugas kemanan juga menyebutkan bahwa selebriti dan perempuan itu sama-sama warga Saudi. Dan perempuan itu juga telah dimasukkan penjara.

Masih menurut keterangan petugas, diketahui, bahwa perempuan itu adalah salah satu fans berat penyanyi itu, dan ia ingin bertemu dengan selebriti pujaannya itu, hingga keduanya saling berkomunikasi dan sepakat untuk bertemu di sebuah tempat. Menurut informasi, penyanyi ini juga baru saja tampil di Festival Lagu di Doha Qatar .

Saat ini Negeri-negeri Muslim masih menjadi sasaran empuk bagi acara-acara televisi internasional, hingga generasi mudanya mabuk dengan acara “idola-idolaan”.  Tak lupa dengan TV di Negeri ini yang menggunakan acara serupa karena dianggap memiliki rating tertinggi.  Kasus Saudi ini mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran. [al arabiya/thoriq]

Sumber: http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6635&Itemid=1

Sabtu, 05 April 2008

Berhentilah Jadi Pengarang…

DADA Garda mengembang, ketika ia menyodorkan sebuah buku tebal kepada Kakeknya,“Bacalah Kek,karya masterpiece cucumu ini.” Sang Kakek terdiam.Matanya menyorot tajam buku tebal yang tergeletak di meja itu.Puluhan detik, tanpa suara.

Dada Garda masih mengembang, namun ia merasa diganggu oleh detak jantungnya, yang membuat nafasnya naikturun. Garda ingin orang tua itu segera mengambil buku dan membacanya kemudian melontarkan beberapa potong pujian.Bukankah ia merasa satusatunya cucu yang paling dicintai?

Namun,buku itu tetap tak disentuh Kakeknya. Suasana tegang dan canggung menyergap Garda. Garda ingin berdiri dan menggerakkan tangan keriput orang itu untuk mengambil buku itu. Lalu memaksanya untuk melontarkan pujian.Tapi, sorot mata Kakek dirasakan aneh,pagi itu.Bola mata itu menjelma api.

“Ada apa Kek?” Garda mencoba mencairkan suasana. Sang Kakek terdiam. Tangannya membunuh api rokok di asbak, sebelum ia beranjak meninggalkan kursi menuju kamar.Kelebat tubuh Kakek seperti kelebat pedang tajam yang menebas kepala Garda. Dengan perasaan tanpa kepala, Garda menyusul Kakek ke kamarnya. Buku tebal itu masih melekat di tangan Garda.

Pintu kamar itu diketuk-ketuknya. Namun,tak ada jawaban.Pintu kamar itu digedor-gedornya,namun tak ada sahutan.Peluh dingin membasahi tubuh Garda.Tangannya gemetar.Detak jantungnya makin keras. Ia berjalan pelan,ke sofa.Tubuhnya dilemparkan. Dengan mata terpejam,ia menghirup udara kuat-kuat. Berulang kali. Hingga ia sedikit tenang atau setidaknya jantungnya tidak berdegup kencang.

Mata Garda memandang sampul buku yang baru beberapa jam turun dari mesin cetak, Memoar Seorang Jendral Humanis.Ia membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk menulis buku itu. Ia ingin kekalahannya sedikit terbayar oleh pujian yang diharapkan dari kakeknya.Tapi, yang dirasakan justru dadanya sesak.Kenapa kakek tak mau membaca buku itu? Tersinggung? Tidak suka? Atau? Kepalanya mendadak seperti berputar-putar.Tubuhnya terasa lemah. ***

Garda Polska semula tidak tertarik menjadi pengarang. Sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, nilainya selalu buruk dalam pelajaran mengarang. Setiap tugas mengarang tiba,ia merasa seperti terkucil di tengah lautan kebisuan dalam kelas.Ia hanyabisamencoret- coretbeberapakatadi kertasnya.

Atau iseng-iseng membuat sketsa wajah gurunya, seorang perempuan tua dengan mahkota uban dan kaca matatebalyangmenyimpankeangkeran Garda selalu menambahi mulut gurunya dengan dua taring yang panjang. Kelas pun selalu menjadi ruang hampa dan asing yang menyiksanya.

Dan ketika ia memandang teman-temannya yang suntuk menenggelamkan kepala di antara dua tangannya,ia merasa melihat patung-patung tanah liat yang patuh oleh perintah guru yang baginya menyebalkan itu. Mengarang, baginya tak lebih dari pekerjaan orang malas,namun merasa memiliki kecerdasan untuk menggapai gumpalan ilham.

Perjuangan bergelut dengan gagasan dan bahasa, baginya tak lebih dari orang sinting yang merasa mampu memadamkan lautan minyak yang terbakar. Untuk menumpahkan rasa kesalnya, ia hanya menulis kalimat pendek, “Maaf, hari ini ilham tidak datang, mungkin sang ilham sedang flu !”.

Kertas itu lalu diserahkan kepala gurunya, ketika jam pelajaran mengarang usai. “Kamu pikir ini lucu?! Kalau memang ingin jadi badut, tinggalkan sekolah ini! Barangkali ada rombongan sirkus mau menerima kamu!”guru bermahkota uban itu menghardik. “Tapi… maaf… saya kira… sekolahini, eee… tak lebih dari rombongan sirkus. Dan… kami hanyalah monyet-monyet kecil yang diperintah untuk meloncat atau jungkir balik,”ujar Garda tenang.

Guru bermahkota uban itu gusar, marah namun juga tercengang dengan ucapan Garda yang aneh, tak biasa untuk seorang murid sekolah menengah pertama. “Orang tuamu pengarang?” Guru melunakkan ucapannya. “Bukan. Mereka hanya pegawai kecil di sebuah kantor pemerintah, di Desa Toreador.” “Ada di antara saudaramu atau orang-orang dekatmu yang menjadi pengarang?”

“Ada… Kakek saya.” “Siapa?” “Baros Polska…” Guru itu terhenyak,“Baros Polska? Benarkah? Dia pengarang sangat terkenal? Api Membakar Salju adalah novelnya yang selalu aku kenang…” Guru itu mendadak ramah, “Kamu membacanya juga?” Garda menggeleng, “Saya tidak suka sastra. Saya tidak suka mengarang…” “Kamu cucu yang durhaka… Kamu menyedihkan…” ujar guru itu sambil mengemasi buku-buku dan meninggalkan kelas. ***

Mata Garda terbuka. Dipandangnya langit-langit kamar. Pita ingatannya pun berputar: kenangan demi kenangan timbul dan tenggelam.Terus berubah-ubah, hingga berhenti pada peristiwa yang membuat dia tersenyum. Di sana, ia melihat dirinya. Berdiri di atas panggung, bicara di belakang podium.

Setelan jas hitam membuat ia tampak gagah. Ia mencukil pengalamannya waktu masih duduk di sekolah menengah pertama, di kota kecil Grosphil. “Satu-satunya yang saya benci adalahmengarang, waktuitu…”ujarnya setelah ia bercerita panjang lebar soal guru sastranya atau pelajaran sastra yang selalu menyiksanya. Kalau sekarang saya menulis buku, sebenarnya itu tak lebih karena saya sedang tersesat…

” Orang-orang tertawa. Bertepuk tangan. Peluncuran buku Memoar Jendral Humanis siang itu di Balai Pengarang Nagara,menjadi riuh rendah. Para pengagum Garda tak menyangka, pengarang papan atas itu semula tak lebih dari murid malas. “Dunia sastra ternyata malah mengutukku jadi pengarang.Padahal citacitaku ingin jadi dokter atau tentara. Karena bagiku, hanya dua profesi itu yang hebat.Tapi ternyata,aku tidak berbakat menyuntik atau menembak…” seloroh Garda.Orang-orang tertawa. ***

Pagi masih malas menyingkap kabut yang membungkus kota Fugaz.Garda menaikkan kerah mantel beruangnya, menembus kabut, berjalan menuju perpustakaan kampus.Di tangga gedung itu ia dicegat Dizzy, mahasiswi yang terkenal progresif. “Masih mau jadi kutu buku,sementara jutaan orang lapar dan terbungkam?” ujar Diizy dengan senyum mengembang. Tangannya masih menggenggam poster bertuliskan,“Turunkan Si Mulut Besar!”

“Kamu mau ke mana sayang?” Garda mencoba menggoda. “Kamu pikir aku mau ke kamar mayat? Membedah-bedah jasad?” “Kenapa harus tegang, sayang? Kamu mau turun ke jalan?” “Harga-harga kebutuhan pokok naik lagi.Juga bensin dan solar! Si Mulut Besar itu mengira bus kota bisa berjalan dengan air dan rakyat bisa hidup dengan harga-harga yang mencekik.

Dia anggap, orang-orang sakit bisa membayar rekening obat dengan kertas karbon! Gila,kan?! Rakyat mengerjat- ngerjat, dia malah bilang,“Semua harus paham!”Paham apanya? Kalau dia tak paham rakyat, turun saja dari istana!” Dizzy bicara berapi-api, hingga hawa dingin tak dirasakannya lagi. “Tapi kenapa kamu dulu memilihnya?” “Aku abstain…” “Jadi kamu tak punya hak protes?”

“Hei… aku bukan penonton, bodoh.” Dizzy berjalan bergegas. Garda masih mencium aroma parfum bercampur keringat perempuan langsing yang wajahnya mengingat dia pada bintang film pujaannya Meg Ryan. “Dizzy.Tunggu!!” Itulah pertemuan terakhir Garda dengan Dizzy, sejak demonstrasi berdarah di Kota Fugaz.Ada yang bilang dia ditembak.Ada yang bilang dia hilang atau dihilangkan.Tapi juga ada yang bilang, Dizzy tak mau bertemu Garda sampai kapan pun, terutama sejak bukunya Memoar Sang Jendral Humanis,terbit. ***

Garda menatap wajahnya di cermin. Rongga dadanya terasa sesak. Apa salahnya aku menulis buku memoar sang Jenderal yang oleh Dizzy selalu dipanggil dengan Si Mulut Besar itu? Bukankah ketika menjadi presiden, ia dipilih rakyat secara sah? Garda memandang wajahnya di cermin.

Tampak guratan-guratan memenuhi lembah pipinya. Dizzy dan semua temannya yang sok heroik itu, tak lebih dari para pemimpi. Seolah perubahan bisa diciptakan sambil makan pizza atau hamburger dan menyedot ganja.Aku sangat tidak senang pada mereka yang suka memborong kebenaran.

Garda masih memandang wajahnya di cermin. Garda kaget.Mendadak kakeknya keluar dari kamar.Tapi mulut tetap membeku. Garda mencoba menawarkan anggur.Tapi orang tua itu memilih menyedu kopi dan membawanya ke kamarnya. Wajah Dizzy dan wajah kakek berputar-putar di benak Garda. Garda tidak paham. Mestinya sang kakek bangga punya cucu yang dipilih menulis memoar seorang presiden.

(Aku menulis secara objektif,kek.Aku lukiskan susah payah Si Mulut Besar itu berjuang hingga jadi jenderal dan berhasil memimpin perubahan di negeri kita. Dia telah membebaskan kita dari cengkeraman para koruptor, pembalak liar atau para pialang kekuasaan yang berkedok parlemen. Aku lukiskan bagaimana sang Jenderal itu selalu menangis melihat anak-anak miskin kurang gizi, atau bayi-bayi mati setiap hitungan detik,atau anak-anak telantar di jalanjalan atau para penganggur berbaris di jalan-jalan Ibu Kota…)

Garda ingin mengetuk pintu. Ingin menjelaskan semuanya.Tapi langkahnya tertahan.Tangannya gemetar.Buku itu jatuh. Kakek mendadak membuka pintu. “Berhentilah menjadi pengarang, kalau hanya ingin menjual kebohongan,” Kakek itu menutup pintu kamar.

“Sebentar Kek.Aku juga mengkritik Si Mulut Besar.Kukatakan dia tak berdaya menghadapi para saudagar…” “Apa? Kritik? Akrobat kata-kata, maksudmu? Kamu mestinya jadi badut, main di pasar-pasar. Ganti topeng setiap hari.” Kakek kembali menutup pintu rapat-rapat. “Kek…Tunggu… Aku hanya ingin menjadi cucu pengarang.”

“Pengarang tak pernah punya anak, apalagi cucu.”Terdengar suara Kakek dari dalam kamar. Tubuh Garda seperti dirajang katakata Kakek yang menjelma jadi pisau samurai. Ia merasakan bagian-bagian tubuhnya tanggal satu persatu: kepala, dada,perut,tangan,hingga kaki.*** Yogyakarta,2007-2008

INDRA TRANGGONO,
lahir di Yogyakarta 23 Maret 1960. Menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Anoman Ringsek (2000) Iblis Ngambek (2003). Kini tinggal di Yogya dan banyak melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya.

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/cerpen-puisi/berhentilah-jadi-pengarang-2.html