Pasangan Ngudi dan Illy Yudiono punya tantangan hidup yang unik. Putra pertama mereka, Catra, 15, adalah anak autis yang duduk di bangku kelas 1 SMP. Si bungsu, Caka, 13, masuk kategori "genius" dan sekarang hampir lulus dari bangku SMP. Bagaimana keluarga ini hidup dan mengatasi keadaan bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.
Sejak berkenalan, hidup Yudi Ðpanggilan NgudiÐ dan Illy termasuk penuh dengan penantian dan kesabaran.
Begitu menikah, Yudi dan Illy memang tak bisa menetap tenang di Surabaya. Yudi, yang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi, dipindahtugaskan ke Bali oleh kantornya. Di Pulau Dewata, dia ikut mengerjakan sebuah proyek bendungan.
Illy, lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, ikut tinggal dua tahun di Bali. Kemudian mereka pindah lagi ke Malang (tiga bulan), Jakarta, dan Palembang.
Selama hidup berpindah-pindah itu, kekhawatiran mulai dirasakan Illy. "Memasuki masa dua tahun pernikahan, saya sudah cemas. Kenapa kok belum hamil-hamil," ungkapnya
Pasangan itu pun mulai mencoba berbagai macam cara. Mulai yang medis seperti suntik ampul pada masa subur hingga yang nonmedis seperti paranormal, dukun, tabib, serta kiai. Bahkan, yang termasuk "tidak masuk akal" pun mereka jalani.
"Kami pernah berobat ke seorang tabib Iraq. Kami disuruh minum madu putih dicampur abu kertas bertulisan ayat-ayat Alquran," ungkap Yudi, alumnus teknik sipil Universitas Brawijaya, Malang. "Nggak tahu yah, waktu itu kami doyan saja. Mungkin karena sudah sangat ingin punya anak," katanya.
Bertahun-tahun Yudi dan Illy berusaha. "Gaji saya pada 1989Ð1990 hanya Rp 400 ribu. Hampir semuanya habis untuk suntikan ampul Illy," ungkap Yudi, yang kala itu sempat pula memikirkan kemungkinan bayi tabung.
"Entah bagaimana kami bertahan waktu itu. Yang jelas, kami berusaha untuk dicukup-cukupkan," imbuh Illy, putri almarhum guru besar Fakultas Hukum Unair Prof Dr H M. Koesnoe SH.
Pada 1991, Yudi dan Illy sempat putus asa. Dokter akhirnya menyebut Illy "tidak mungkin hamil". Sebab, kandungannya alergi benda-benda asing.
Pasrah, pasangan itu mendapat saran untuk datang ke seorang bidan di Palembang. Bidan itu, kata Illy, asli Jombang. Dia memijit Illy dan Yudi bergantian. Rutin selama tiga bulan. Tak lama setelah itu, pasangan tersebut mendapatkan jawaban. Illy hamil.
Awalnya, Illy tak menyadari bahwa dirinya hamil. "Maklum, belum pernah mengalami sebelumnya," katanya lantas tertawa. Kehamilan Illy tersebut disadari saat dirinya dan suami menjenguk orang tua di Surabaya.
Jadilah seluruh keluarga bersukacita, dan meminta satu-satunya putri di keluarga Koesnoe itu bed rest selama sebulan. "Bahagianya minta ampun, yang ditunggu-tunggu enam tahun datang," ujar Illy.
Kelahiran anak pertama mereka, Aditya Prajna Catra Mahottama, sungguh menegangkan. Catra lahir caesar di Palembang pada 11 Juli 1992. Beratnya 2,9 kilogram, dengan panjang 50 cm.
Yudi yang saat itu sudah berusia 34 tahun membawa segala macam peralatan rekam ke rumah sakit. Video dan kamera lengkap dia bawa. Momen-momen tersebut dia abadikan dengan detail, Catra disambut bak pangeran.
Kebahagiaan itu kian bertambah. Tiga belas bulan kemudian, Illy hamil lagi. Dulu satu susah didapat, kini tak disangka dua bakal ada di tangan. "Dua puluh dua bulan setelah Catra lahir, kami memiliki anak kedua," jelasnya.
Aditya Cakasana Janottama, anak kedua itu, juga lahir caesar di Palembang pada 7 Mei 1994. Berat dan panjangnya sama dengan si sulung. Mulai dari situlah album-album keluarga Yudiono dipenuhi foto-foto kedua bocah lucu tersebut. Padahal, selama enam tahun menikah, Illy mengaku tak pernah mau difoto. "Saya bilang nggak usah, nunggu anak-anak saja dulu," katanya lantas tertawa.
Karena itu, tak heran, album keluarga yang jumlahnya puluhan dipenuhi dengan pose-pose Catra-Caka, seperti yang disaksikan Jawa Pos di Jalan Sri Ikana Surabaya, rumah eyang mereka.
Catra Belum Bicara, Caka Sudah Membaca
Tapi, keceriaan keluarga itu sempat tersendat. Pada usia tiga tahun, Catra belum bisa bicara selain papa dan diii. Saat itu, Yudi (dan keluarga) yang ditugaskan di Ujung Pandang (Makassar) mulai waswas, namun tak ada kecurigaan apa pun. Mereka justru mulai serius bertanya-tanya ketika si bungsu Caka mulai aktif dan terlihat pintar.
Bayangkan, pada usia dua tahun, Caka sudah lancar membaca dan menulis. Dia paling suka melahap informasi, buku apa pun dia baca. Pada usianya yang sekecil itu, dia mulai suka mengoleksi benda dan buku (saat duduk di kelas IV, IQ-nya mencapai 156).
Perkembangan Caka itu jelas berlawanan dengan sang kakak, Catra. Padahal, dari segi fisik, Catra lebih besar. "Dia (Catra, Red) tidak bisa ngomong, sulit beradaptasi," tegas Yudi.
Bayangkan saja, mempunyai dua anak dengan perilaku yang amat berbeda. Si kakak belum bisa berbicara dan paling suka merobek kertas (terkadang juga menangis dan tertawa sendiri). Si adik tergila-gila buku dan selalu bertanya ini-itu.
Mulailah Yudi berkonsultasi dan bertanya. Akhirnya, jawaban itu ditemukan di Surabaya.
Pada 1997, Catra "divonis" autis. Yudi dan Illy mengaku tak tahu apa-apa mengenai autis. "Kami shock, ngeri sekali, tidak mengerti autis. Kami pikir anak kami idiot," kata Yudi.
Pada titik itulah, pasangan tersebut memutuskan kembali berjuang. Illy akhirnya menetap di Surabaya demi Catra dan Caka, sedangkan Yudi masih harus melanjutkan tugas di Ujung Pandang dan Manado.
Bersama, mereka mencari segala informasi mengenai autisme. Orang tua Illy, almarhum Koesnoe dan Badariyah, kini 72, amat mendukung. Tak pernah keduanya membeda-bedakan cucunya.
Kolega-kolega Koesnoe di Belanda, Prancis, dan AS ikut membantu menyediakan informasi. Mereka mengirimkan berbagai literatur mengenai autisme kepada Illy. Dari situ, mulailah Illy belajar persoalan autisme. "Saya harus menerapi Catra delapan jam sehari," katanya.
Terapi itu adalah "kegiatan bergerak." Misalnya, meloncat, bertepuk tangan, serta menirukan gerakan-gerakan tangan lain. Kala itu, Catra kuat meloncat-loncat hingga sejam tanpa henti. "Anak-anak autis memang seperti itu. Tenaga mereka besar karena otaknya tak dipakai (bekerja)," ungkapnya. Terapi dimaksudkan agar Catra lelah dan dapat tidur nyenyak. Illy mendatangkan empat terapis untuk anaknya.
Di saat-saat terapi itu, meski tak pernah menyerah, Illy sering sedih dan menangis. Illy paling tak kuasa menahan tangis bila melihat almarhum ayahnya mengelus Catra sayang dengan tuturan, "Mosok engko sampek joko kowe gak iso ngomong, le?" (Masa sampai dewasa nanti kamu tetap tak bisa bicara, nak? Red).
Begitu khawatirnya Koesnoe terhadap sang cucu, pada awal 1998, dia meminta agar Yudi berhenti dari pekerjaannya. Bukan sekadar untuk membantu merawat Catra, Koesnoe meminta agar Yudi mendirikan sekolah autis. Dengan demikian, pendidikan Catra bisa terjaga, sekaligus punya sumbangan kepada masyarakat.
Permintaan tersebut seolah menjadi permintaan terakhir Koesnoe. Sebab, seminggu setelah Yudi keluar dari perusahaan (9 Mei 1998), Koesnoe meninggal.
Segala upaya itu tidak sia-sia. Catra mampu berkembang pesat, dan sekarang sudah duduk di bangku kelas 1 sebuah SMP swasta reguler. Pertumbuhan Caka juga tidak terhambat. Bahkan, pada usia 13 tahun, Caka sudah duduk di bangku kelas 3 akselerasi SMPN 1 Surabaya. Tahun ini juga dia masuk SMA.
Sekolah autis yang didirikan Yudi dan Illy, bernama Cakra, sampai sekarang telah tumbuh dan berkembang. Sekarang telah melayani 350 anak autis, 50 di antaranya berhasil masuk ke SD reguler.
Sekarang, Yudi dan Illy sudah berusia 49 dan 44 tahun. Mereka mengaku sangat mensyukuri kehidupan yang telah mereka jalani ini.
"Tuhan itu adil. Kalau saya punya dua anak kayak Catra, mungkin kami akan kelelahan. Tapi, kalau kami punya dua anak kayak Caka, mungkin kami akan takabur. Jadi, Tuhan itu adil memberi kami yang seimbang," tutur Illy. "Kami tidak pernah merasa kesusahan untuk merawat kedua anak ini. Kalau Catra, kami suka karena dia awet lucunya. Kalau Caka, dia gesit dan banyak orang bilang pintar," ujarnya. (anita rachman/aza)
Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=335883