Selama 40 tahun warga Muslim Jerman berusaha memiliki tempat ibadah. Namun, diprediksi, dari menara masjid ini, masyarakat Eropa cemas
Hidayatullah.com--Puncak menara kembar di dekat gereja Katedral Gothic Jerman akan segera memiliki teman. Sebuah pencakar langit baru akan menghias di langit Cologne. Menara ini, dalam waktu dekat akan bersanding dengan menara Katedral Gothik yang dianggap terbesar di Jerman. Itulah, menara masjid besar Ehrenfeld. Masjid raksasa dengan anggaran sebesar 23 juta dolar AS atau setara Rp 211,6 miliar.
Masjid yang akan dimulai pembangunannya mulai Juni mendatang dan dijadwalkan akan rampung dua tahun mendatang itu kelak tak hanya akan membawa 120.000 orang Muslim Cologne menunjukkan identitas dirinya. Bahkan, boleh jadi akan membawa warna baru di Eropa.
Tentusaja, ini bukan pekerjaan sederhana tanpa keringat. Perjuangan mereka agar rencana pembangunan masjid di kota itu bisa tegak berdiri telah menyita waktu dan perhatian yang boleh dibilang tidak sedikit.
Warga Muslim Jerman yang berharap kehadiran masjid sebagai bisa jembatan dan medium integrasi dengan masyarakat setempat telah berjuang ‘berdarah-darah’ untuk mendapatkan identitasnya diri.
“Dengan adanya masjid ini, warga Muslim tidak akan berpikir lagi tentang negara asal mereka sebagai rumah mereka tapi memikirkan Jerman, ” kata Seyda Can dari DITIB suatu ketika. DITIB adalah singkatan dari Turkish-Islamic Union for Religius Affairs.
Menurut Seyda, warga Muslim sudah menetap di Cologne sejak 40 tahun yang lalu, tapi mereka masih saja shalat di ruangan-ruangan paling belakang. Ada 120 ribu Muslim di Cologne atau sekitar 12 persen dari jumlah populasi. Kami tidak seharusnya bersembunyi, ” papar Seyda suatu hari dikuti Koran Jerman.
Tentu, upaya kaum Muslim tak berjalan mulus. Ada banyak liku-liku. Rencana pendirian masjid yang dilengkapi dengan kubah serta dua menara setinggi 55 meter itu banyak melahirkan penolakan.
Diantara kelompok yang amat gencar melakukan penolakan adalah kelompok kiri di Cologne. Melalui wadah Pro Cologne, mereka berusaha mendapat dukungan dari kalangan kiri di Austria dan Belgium. Kampanye Pro Cologne memandang langkah pembangunan masjid sebagai upaya “Islamisasi Eropa”.
Sejak dua tahun lalu mereka gencar mengampanyekan dan mengedarkan petisi penolakan pembangunan masjid. Jajak pendapat yang digelar harian cetak terbesar Cologne, Koelner Stadt-Anzeiger, menunjukkan 60 persen warga kota menolak berdirinya masjid lengkap dengan menara.
''Masjid itu akan memudahkan warga Turki menyusup ke dalam sebuah komunitas yang paralel di mana mereka tidak ingin berbahasa Jerman,'' kata Manfred Rouhs. ''Masjid itu juga simbol “islamisasi” di Eropa dan kegagalan intergrasi di mana 120 ribu Muslim Cologne, sebagian besar berdarah Turki, enggan membaur dengan kehidupan khas Jerman. Ini adalah sebuah bahaya bagi Eropa,'' lanjutnya.
Tak sekedar perasaan ketakutan akan hadirnya Islam. Penolakan juga diarahkan dengan bentuk tuduhan yang sangat tak layak.
Seorang pengemudi taksi Laszlu Reischl, memandang kehadiran masjid yang hanya berjarak dua mil dari katedral sebagai bukti kuat kehadiran Islam ekstremis, tak hanya di Jerman tetapi juga di benua Eropa.
''Saya selalu beribadah di sebuah kapel kecil tak jauh dari Katedral Cologne dan saya merasa ibadah saya tidak menjadi lebih bermakna ketika saya beribadah di katedral,'' ujar Laszlu Reischl (56). “Saya heran mengapa mereka ngotot membangun sebuah masjid, yang besar lagi,'' tegas Reischl sebagaimana dikutip situs www.bloomberg.com.
Tapi asumi itu ditolak kaum Muslim dan Walikota Cologne, Fritz Schramma. Sekretaris Jenderal Islamic Union, Mehmet Yildirim mengatakan, ''Susahnya mendirikan masjid merefleksikan ketakutan Jerman pada Islamofobia, rasisme, dan xenophobia.'' ''Masyarakat Jerman adalah sebuah masyarakat yang di masa lalu tidak banyak mempunyai relasi dengan komunitas yang berbeda agama dan kebudayaan. Oleh karena itu mereka menjadi mudah curiga dan khawatir,'' lanjut Yildirim.
Sementara itu, Walikota Cologne mengatakan, bagaimanapun, keberadaan masjid di Cologne sangat dibutuhkan. Cologne yang menjadi rumah bagi komunitas Muslim terbesar Jerman -- 12 persen dari total populasi -- tentu sangat aneh jika tidak mempunyai masjid. Selain itu, tegas Schramma, masjid akan meredam pengaruh kelompok radikal dan justru akan membantu penerimaan dan kepercayaan publik kepada Islam.
Schramma juga menggarisbawahi, pembangunan ini disetejui setelah kesediaan Islamic Union yang mau bernegosiasi dan menyetujui sejumlah perubahan. Diantara perubahan yang disepakati itu adalah; kaum Muslim menyetujui mengurangi ketinggian menara, ruang ibadah, dan menggemakan adzan hanya di lingkungan masjid melalui pengeras suara dalam ruangan. Dan yang patut diingat, tegasnya, mereka juga bersedia memberikan separo dari pertokoan bagi pemilik usaha warga Jerman.
Integrasi Muslim
Masjid yang pembangunannya menelan biaya sebesar 15 juta dollar ini, ditangani arsitek Jerman, Paulus Boehm. Boehm sudah bekerja di gereja-gereja local dan memenangkan kontes mendisain masjid. Bangunan megah ini akan terdiri dari dinding beton yang dibengkokkan lalu sambungkan ke suatu kubah kaca untuk menyampaikan keterbukaan.
Masjid itu nantinya akan menjadi masjid terbesar di Jerman, yang bisa menampung sekitar 2.000 jamaah. Rencana pembangunan masjid ini mendapat dukungan dari semua partai politik, persatuan-persatuan dagang dan banyak asosiasi.
Jerman adalah negara kedua di Eropa setelah Perancis yang jumlah warga Muslimnya paling banyak. Jumlah warga Muslim di Jerman saat ini diperkirakan mencapai 3, 2 juta orang dan hampir setengahnya berasal dari Turki.
Warga keturunan Turki pertama kali datang di Jerman sekitar tahun 1960-an. Mereka didatangkan guna membantu banyaknya kekurangan tenaga kerja pasca perang. Tapi kini, jumlah mereka sudah berkembang dan berintegrasi hampir mencapai 3 juta orang. Suatu perkembangan yang tak sedikit.
Di jalan utama Ehrenfeld, beberapa toko milik warga Turki menawarkan layanan istimewa, seperti hairdresser dengan kamar pribadi bagi wanita dengan jilbab.
Seorang pemangkas rambut menyediakan teh segar Turki dari cerek logam Rusia (kendi) yang secara tradisional biasa digunakan untuk memanaskan air.
Claus Moskopp (52) seorang tukang bunga di Ehrenfeld mengatakan, ia tak begitu khawatir dengan menara yang diributkan itu.
“Tidak mengganggu saya karena menara akan cocok dengan pemandangan kota, ujarnya.
Terkait adanya kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan pendirian masjid, Seyda membandingkannya dengan penganut Protestan yang begitu mudah mendapatkan izin pembangunan tempat ibadahnya.
“Dua ratus tahun yang lalu, gereja Protestan pertama dibangun di Cologne. Ada proses panjang bagi penganut protestan agar bisa diterima, tapi hari ini, tentu saja mereka diterima di sini. Mengapa kita tidak sama seperti itu?", kata Seyda.
Sumber: http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6670&Itemid=1