Rabu, 16 April 2008

Kartini di Zaman Ini


Oleh: Udo Yamin Majdi


Masih ada yang tersisa, untuk aku ceritakan, dari pertemuan dengan Bu Marwah Daud, dalam acara Pelatihan Basic Life Skill MHMMD (Merencanakan Hidup dan Mengelola Masa Depan). Aku sangat terkesan, dengan cerita beliau. "Awalnya, saya sangat berat ke Mesir", Bu Marwah mulai bercerita, "sebab, saat ini, anak saya sedang ujian. Selama ini, setiapkali anak saya ujian, saya selalu menemani mereka. Saya akan tinggalkan semua agenda saya, sepenting apapun, baik itu di ICMI, Golkar, maupun pertemuan dengan presiden, apabila anak saya ujian. Urusan yang lain, masih ada orang lain yang bisa melakukannya. Tapi, urusan anak-anak saya, hanya satu orang yang bisa melakukannya, yaitu saya sebagai ibunya. Alhamdulillah, setelah saya tanya anak saya, ternyata ujian anak saya ini hanya ujian olahraga. Ini masih bisa saya tinggalkan. Beda kalau ujian eksak, saya akan temani anak saya. Saya akan bantu anak saya belajar. Dan sebelum berangkat ujian, saya akan akan menepuk-nepuk punggung anak saya, mencium keningnya, dan mendo'akan anak saya!"


Subhanallah, cerita ini sangat menyentuh labirin hatiku, sebab aku dan isteriku memiliki "frekuensi" yang sama dengan Bu Marwah, yaitu lebih mengutamakan anak dibandingkan urusan lain. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakan cerita Bu Marwah. Mengapa aku dan isteriku lebih mementingkan anak dibandingkan yang lain? Sebab, menurut kami, anak adalah warisan untuk dunia sekaligus bekal untuk akhirat. Menurut saya, apa yang dicari oleh setiap orang dalam hidup ini, tidak lebih dari tiga hal: (1) mencari rizki; (2) mencari ilmu; dan (3) mencari pasangan hidup.


Proses mencari rizki, itu kita sebut dengan "bekerja". Coba, Anda perhatikan, apa yang dilakukan oleh manusia, baik itu di sawah, di kebun, di laut, di jalan, di kantor, dan di mana saja, bukankah semua itu dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan perut, alias kebutuhan fisik? Hanya namanya saja yang berbeda, kalau di sawah kita sebut petani, di kebun disebut peladang, di laut disebut nelayan, di jalan ada yang disebut sopir, polisi lalu lintas, pedagang asongan, dst; di kantor kita sebut pegawai, karyawan, atau buruh. Namun, hakikatnya satu yaitu bekerja.


Selanjutnya, proses mencari ilmu, kita kenal dengan "belajar". Lagi-lagi, coba Anda perhatikan, apa yang dicari oleh anak-anak TK, murid SD, siswa SLTP dan SLTA, dan mahasiswa PT? Atau apa yang dicari orang di tempat kursus? Atau, apa yang dicari oleh orang sampai ke luar negeri, termasuk saya ke Mesir? Bukankah, yang mereka dan saya cari adalah ilmu? Iya, yang kami cari adalah ilmu. Kalau bekerja lebih pada pemenuhan kebutuhan fisik --makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan seterusnya--, maka belajar untuk mencukupi kebutuhan batin atau psikologis.


Adapun, proses mencari teman hidup, kita beri nama "mencintai" atau "menyayangi". Di dunia ini, manusia terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu laki-laki dan perempuan. Kalau pun ada jenis lain, itu menyalahi kodrat. Lalu, coba Anda tanya, apa yang dicari oleh seseorang, baik ia sebagai laki-laki, perempuan, atau jenis lain --banci atau waria? Jawabannya adalah sangat sederhana, yaitu mencari teman hidup.


Jika orang menemukan "pasangan hidup" --sebagai tindak lanjut dari perteman-- dan dilakukan secara resmi, kita kenal dengan pernikahan, maka lahirlah sebutan suami dan isteri. Dari sini pula terciptalah peran-peran lain, yaitu sebagai ayah-ibu; kakek-nenek; dan seterusnya. Pernikahan atau keluarga ini untuk memenuhi gabungan dari dua kebutuhan sebelumnya. Kebutuhan ini kita sebut kebutuhan psiologis.


Nah, dalam mencari tiga hal itu (mencari rizki, mencari ilmu, dan mencari teman hidup) atau dengan kata lain, dalam bekerja, belajar, dan mencintai, manusia banyak yang keliru, sehingga merasa kehilangan makna. Sebab, mereka lakukan hal itu tanpa tujuan jelas. Padahal, dalam Islam, tujuan kita melakukan tiga hal --bekerja, belajar, dan mencintai-- tersebut adalah memberikan warisan untuk dunia dan mengumpulkan bekal untuk akhirat, atau bekal untuk mati.


Ya, bagiku, bekerja, belajar, dan mencintai adalah bekal untuk mati. Mengapa aku berpendapat demikian? Sebab, empat belas abad yang lalu, idola hidupku: Nabi Muhammad Saw., telah merumuskan tentang konsep bekerja, belajar, dan mencintai. Mari kita dengarkan sabda beliau: "Apabila manusia mati, maka semuanya terputus, kecuali tiga hal: (1) shodaqah jariyah; (2) aw ilmu yuntafa'u bihi; (3) aw waladin sholihin yad'u lahu.


Sangat menarik dan sangat cerdas, Nabi merumuskan bekerja, belajar, dan mencintai dalam konsep Islam. Beliau menjelaskan "memulai dari akhir", menyebutkan tujuan dari bekerja, belajar, dan mencintai, tanpa harus menyebutkan caranya. Secara luar bisa pula, beliau menyimpulkan kebutuhan manusia di dunia ini sekaligus kebutuhan di akhirat nanti. Mari, secara satu persatu kita bahas secara singkat.


Pertama, Nabi Muhammad Saw., menyebutkan bahwa amalan yang tidak terputus adalah shodaqah jariyah. Selama ini, makna shodaqoh jariyah, sering diartikan --oleh sebagian orang-- adalah membangun masjid, mewakafkan tanah, dan sejenisnya. Sedangkan membangun pabrik, lalu lintas, dan sejenisnya, seolah-olah bukan shodaqah jariyah. Padahl dalam hadis tersebut, shaqaqoh jariyah, lebih pada pembangunan karakter dermawan. Shadaqoh jariyah artinya memberi secara mengalir seperti air mengalir atau hembusan angin; tiada henti; terus menerus.


Pertanyaannya adalah bisakah kita dermawan tanpa harta? Tentu saja tidak bisa! Betul, senyum itu shadaqah. Tapi, apakah bangunan masjid atau jalan raya akan selesai, hanya dengan senyuman? Oleh sebab itu, kita butuh harta yang banyak. Sedangkan harta kita peroleh dengan bekerja. Jadi, makna shadaqah jariyah adalah Bekerjalah, namun hasil kerja itu, jangan hanya untuk diri sendiri; jangan hanya untuk keluarga saja; tapi berikan kepada siapa saja yang membutuhkan uluran tangan kita. Dengan kata lain, tujuan kita bekerja, adalah agar kita bisa shadaqoh.


Sebagai contoh, Kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy, penulis novel Ayat-Ayat Cinta). Beliau menjadikan menulis sebagai profesi alias pekerjaan. Dan alhamdulillah, hasil kerja sebagai penulis itu, lebih dari 1,5 milyar. Sampai saat ini, Kang Abik, tetap hidup sederhana. Bahkan, mobil pun beliau tidak punya. Kemanakah uang sebanyak itu? Ternyata uang tersebut, beliau pergunakan untuk membangun Pesantren Basmala. Dan pesantren ini sebagai sarana untuk membina umat. Lantas, apa yang menggerakan Kang Abik tetap hidup sederhana dan mempergunakan hasil kerjanya untuk orang lain? Inilah yang menggerakan beliau: karena beliau butuh bekal mati.


Kedua, al-'ilmu yuntaf'u bihi. Selama ini, kalimat ini sering orang artikan dengan kata "ilmu yang bermanfa'at". Sedangkan makna sebenarnya, lebih dari itu. Nabi mengunakan diksi "intafa'a", tidak memakai "nafa'a"? Apa beda dua kata ini?


Nafa'a artinya berfaidah. Sedangkan intafa'a, selain berarti berfaidah, juga bermakna "berfungsi". Agar lebih memudahkan kita memahaminya, aku akan berikan contoh. Dalam acara Dialog Umum di Azhar Conference Center (ACC) kemaren, di hadapan ribuan mahasiswa Indonesia Mesir, KH. Hasim Muzadi bercerita, bahwa di Amerika, beliau bertemu dengan seorang profesor yang hapal Al-Quran, namun ia tidak mengimani Al-Quran sebagai wahyu alias tidak memeluk Islam. Namun, profesor yang mengajar Islamic Studies tersebut, berkontribusi memperkenalkan Islam dan Al-Quran di Barat.


Apa yang terjadi pada profesor tersebut adalah contoh dari kata "nafa'a": ilmunya berfaidah pada orang lain, namun tidak berfungsi dalam dirinya. Di sini kita melihat bahwa antara ilmu dan karakter diri, dua hal yang berbeda. Ilmu tidak selamanya berbanding lurus dengan tingkah laku seseorang. Maka tidak aneh, ada ekonom yang mengajarkan ilmu ekonomi, namun ia seorang koruptor. Atau seorang agamawan, namun tindakannya jauh dari nilai-nilai agama yang ia ceramahkan. Dan seterusnya.


Adapun intafa'a, selain berfaidah, ilmu itu berfungsi untuk dirinya sendiri. Sebagai contoh, kita lihat dua pendiri Forum Lingkar Pena (FLP): Mbak Helvy (Helvy Tiana Rosa) dan Mbak Asma Nadia (Asmarani Rosalba). Ilmu menulis kakak beradik ini, selain berfaidah untuk orang lain, namun berfungsi dalam diri beliau berdua: mereka menulis. Mereka berdua begitu semangat menulis sekaligus mengajarkan ilmu menulis. Sehingga FLP bukan hanya bertebaran di pelosok nusantara, namun juga sampai ke manca negara, termasuk di Mesir. Lebih menariknya lagi adalah Mbak Helvy bisa mendidik anaknya Faiz dan Mbak Asma mendidik anaknya Caca menjadi penulis.


Apa yang menggerakkan Mbak Helvy dan Mbak Asma untuk membagikan ilmu lewat tulisan dan pelatihan --serta acara yang lainnya? Dari beberapa pertemuan dengan beliau berdua, aku menangkap semangat yang sama, seperti Kang Abik, beliau berdua lakukan sebagai bekal mati.


Jadi, makna sabda nabi tersebut, belajarlah Anda, lalu jadikan ilmu itu berfungsi dalam dirimu dan berfaidah bagi orang lain.


Ketiga, aw waladin shalihin yad'u lahu. Artinya, anak sholeh (sholehah) yang mendo'akan kedua orang tuanya. Apa hubungan anak sholeh dengan mencintai? Baik, untuk menjawabnya, kita kembali kepada kaidah di atas "Nabi memulai dari akhir" atau "menyebutkan tujuan, tapi tidak menyebutkan caranya".


Ya, anak sholeh adalah akhir atau tujuan. Mungkinkah kita punya anak sholeh, tanpa pasangan hidup? Berarti jalan untuk memiliki anak sholeh adalah menikah. Apakah dengan menikah, serta merta akan punya anak sholeh? Tentu saja tidak! Air yang jernih, keluar dari mata air yang jernih. Begitu juga anak yang sholeh lahir dari orang tua yang sholeh. Maka sungguh aneh, jika ada yang mengharapkan anak sholeh, tapi dengan cara melacur, atau menikah sesama jenis (lesbian dan homo)!


Dari sekian banyak ortu yang sungguh-sungguh mendidik anaknya menjadi anak sholeh adalah Mas Tamim (Mutammimul Ula, anggota DPR RI dari PKS) dan isterinya, Dra. Wirianingsing, sering dipanggil Mbak Wiwi. Aku mengenal Mas Tamim, sebab kami pernah aktif di organisasi yang sama, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII) dan tahun 2004, kami bertemu di Mesir. Yang menarik bagiku, kedua ortu ini, mendidik anak mereka, mereka tidak tidak mendikotomi ilmu, agama dan umum. Mereka ajarkan semua, dan awalnya menghapal Al-Quran. Untuk lebih jelasnya, coba Anda perhatikan biodata anak mereka ini:


Afzalurrahman, 21 tahun, semester 6 Teknik Geofisika ITB, Hapal Al-Qur'an sejak usia 13 tahun. Sekarang masuk dalam program PPSDMS, Ketua Pembina Majelis Taklim Salman ITB, terpilih peserta Pertamina Youth Programme 2007 dari ITB;

Faris Jihady Hanifa, 20 thn, semester 4 Fakultas Syariah LIPIA hafal Al-Qur'an sejak usia 10 tahun (mumtaz). Juara 1 lomba tahfiz Al-Qur'an 30 Juz yang diselenggarakan Kerajaan Saudi di Jakarta 2003, Juara 1 lomba olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ 2004;

Maryam Qonitat, 18 thn, semster 2 Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Cairo (tinggal dekat apartemenku di Nasr City Cairo), hapal Al Qur'an usia 16 tahun. Pelajar teladan/lulusan terbaik Husnul Khotimah 2006;

Scientia Afifah, 17 tahun, kelas 3 SMU 28 hapal 10 Juz Al Qur'an, juara mengarang tingkat SD se-Kab Bogor 2000, Pelajar Teladan, lulusan terbaik Mts Al Hikmah 2004;

Ahmad Rosikh Ilmi, 15 thn, kelas 1 MA Khusnul Khotimah, baru hafal 6 juz, Pelajar Teladan SDIT Al Hikmah thn 2002, Lulusan terbaik MTs AlKahfi 2006

Ismail Ghulam Halim, 13 tahun kelas 2 Mts Al Kahfi, baru hafal 8 juz, Juara Olimpiade IPA tkt SD Jaksel 2003, meraih 4 penghargaan Al-Kahfi 2006 (tahfiz terbaik, santri favorit, santri Teladan, Juara Umum) Ketua OSIS Pesantren Al-Kahfi;

Yusuf Zain Hakim, 12 thn, kls 1 Mts Al Kahfi, hafal 5 juz. rangking 1 dikelasnya;

Muh Saihul Basyir, 11 thn, kelas 5 SDIT Al Hikmah, hafal 2,5 juz;

Hadi Sabila Rosyad, 9 tahun, kelas 4 SDIT Al HIkmah, hapal 2 Juz;

Himmaty Musyassarah, 7 tahun, hapal 1 juz; dan

Hasna wafat usia 3 thn 7 bulan, bulan Juli 2006


Jadi, maksud hadis nabi, waladin sholihin yad'u lahu adalah bila Anda mencintai lawan jenismu, maka menikahlah. Setelah menikah, bentuklah generasi yang sholeh-sholehah.


Kesimpulan dari hadis nabi tersebut adalah apabila Anda bekerja, maka shodaqohlah; apabila Anda belajar, maka fungsikan dan manfa'atkanlah ilmu; dan jika Anda mencintai pasanganmu, maka menikahlah dan didiklah anak Anda menjadi sholeh-sholehah. Dan niatkan tiga hal ini --bekerja, belajar, dan mencintai-- sebagai bekal mati.


Baik, kita kembali kepada kisah Bu Marwah dan alasanku bersama isteriku yang lebih mengutamakan pendidikan anak. Dari pemaparan di atas, aku ingin menegaskan bahwa mendidik anak adalah kebutuhan hidup, bukan sebuah kewajiban. Selama ini, tidak sedikit yang memahami bahwa pendidikan anak hanya sebuah kewajiban. Lebih parahnya lagi, ada tahu itu sebuah kewajiban, tapi tidak serius mendidik anaknya, mereka menganggap dengan memasukan ke sekolah atau perguruan tinggi, maka telah menunaikan kewajiban. Sedangkan mereka, terutama kaum ibu, dengan bangga menjadi wanita karir dan menggembar-gemborkan kesetaraan (emansipasi).


Oleh sebab itu, dalam mementum Hari Kartini, aku mengajak isteriku dan siapa saja, untuk sebentar saja merenung tentang peran kita sebagai ortu, terutama sebagai ibu. Selama ini, banyak yang tidak tahu, bahkan keliru, memahami Hari Kartini. Para feminis, sering mengangkat sosok R.A. Kartini sebagai perjuangan seorang perempuan agar setara dengan kamu laki-laki. Lebih parahnya lagi, mereka menyembunyikan faktor yang menggerakkan Kartini berjuang, yaitu Islam. Malahan sekarang sebaliknya, seolah-olah, Islam menjadikan kaum perempuan terkungkung.


Padahal perjuangan R.A. Kartini, bukan untuk kesetaraan gender (emansipasi), melainkan menuntut pendidikan untuk kaum wanita agar mereka bisa menjadi para ibu cerdas yang bisa mendidikan anak mereka dengan baik. Ini terlihat dari surat R.A Kartini yang beliau tujukan untuk Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902: "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."


Begitu juga halnya, sangat salah, kalau ada yang berpendapat bahwa Islam menjadikan kaum wanita terbelakang. Justru sebaliknya, sejak Islam datang, untuk memperjuangkan hak dan kedudukan perempuan pada posisi terhormat. Bahkan, Islamlah yang memberikan inspirasi kepada R.A. Kartini untuk berjuang. Ini dapat kita lihat pada surat beliau untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902: "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." Lebih jelas lagi, kepada gurunya; Kyai Sholeh Darat, beliau berkata: "Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"


Lebih lanjut, perjuangan Kartini bukan ingin meniru Barat seperti yang dilakukan feminis saat ini, melainkan ingin memperkenalkan Islam kepada Eropa. Ini terlihat dari tulisan beliau kepada kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang berbunyi: "Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?"


Jika R.A Kartini berjuang setelah memahami Islam dan mengkaji isi al-Quran -- terutama terinspirasi dengan firman Allah SWT: minadh-dhulumati ilan-nur [mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) dalam surat Al-Baqarah [2]: 257, lalu diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, "Habis GelapTerbitlah Terang"-- lalu mengapa ada yang menuduh Islam sebagai pengekang kehidupan perempuan? Islam memposisikan perempuan sebagai pendidik anak, bukan untuk menindas mereka, melainkan hanya sebatas pembagian kerja saja. Islam juga tidak melarang wanita untuk menjadi wanita karir, aktif di luar rumah, dan berperan di dunia publik, tapi dengan syarat mereka tidak melupakan peran domestik mereka, yaitu mendidik anak.


Dengan sengaja, aku memberikan contoh Bu Marwah Daud, Mbak Helvy, Mbak Asma, dan Mbak Wiwi, karena beliau berempat adalah perempuan yang super-sibuk dan seabrek dengan aktifitas di luar rumah, namun mereka tetap punya komitmen: lebih mendahulukan anak-anak mereka. Nah, sudahkah Anda menjadikan pendidikan anak sebagai skala prioritas utama? Dan siapkah Anda menjadi Kartini zaman ini?


* * *


Cathar ini awalnya sebagai kado untuk isteriku pada hari Wedding Anniversary ke-3 kami, namun aku persembahkan untuk siapa saja yang punya komitmen mendidik anak-anaknya dalam rangkat merenungi Hari Kartini.


Sumber: http://udoyamin.multiply.com/journal/item/83/Kartini_di_Zaman_Ini

Selasa, 15 April 2008

Sate Mobil, Siapa Mau?


ONGKOS KIRIM LEBIH MAHAL:  "Patung" delapan mobil yang ditusuk baja di Berwyn, Illinois, AS.

BERWYN - Delapan mobil ditusuk dengan batang baja, maka mirip sate mobil. Karya unik bernama Spindle (Kumparan) di Berwyn, Illinois, AS, itu ditawarkan kepada penawar tertinggi lewat eBay. Harga pembukaannya USD 50 ribu (sekitar Rp 460 juta).


Situs eBay menggoda calon pembeli dengan menyebutnya sebagai "monumen tepi jalan yang tersohor secara internasional." Sate mobil tersebut memang ngetop sebagai tempat singgah turis. "Patung" itu pernah muncul di film Wayne’s World (1992). Cerita film komedi itu berpusat di sekitar kedai donat, yang di depannya menjulang sate mobil tersebut.


"Landasan betonnya tidak termasuk yang dijual. Hanya mobil dan tiang," kata Michael Flight dari agen properti pengelola mal tempat sate mobil ini berada. Kepada UPI, dia mengakui, sebenarnya sate mobil itu mau dipindah saja, tetapi ongkosnya sangat mahal. Maka dijual saja.


Karena itu, calon pembeli harus siap-siap merogoh kantong lebih dalam. Sebab, diperkirakan ongkos bongkar dan pengirimannya lebih mahal daripada harga yang ditawarkan. Bisa-bisa mencapai USD 100 ribu (sekitar Rp 918 juta).


Menurut Chicago Tribune, setelah penawaran dibuka Minggu, pada malamnya (Senin siang WIB) sudah ada yang 2.000 orang yang mengklik penawaran tersebut. Namun, belum ada yang deal. Lelang ditutup pada Kamis nanti. (roy)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10320

Markas Hade Dibom Molotov

BANDUNG - Proses pemilihan gubernur (Pilgub) Jawa Barat diwarnai aksi tak terpuji. Kemarin markas pasangan Hade (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf), yakni Kantor DPD PKS Kabupaten Bandung, di Jl Ketapang, dilempari bom molotov.


Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 13.00. Ketika itu tujuh pengurus DPD PKS menghitung ulang suara Pilgub Jawa Barat (Jabar) di ruang dokumen C1. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara percikan api dari luar kantor. "Ternyata api sudah besar dan membakar tiga motor kami, selang air dan spanduk Hade," kata Idan, salah satu pengurus DPD PKS.


Begitu kejadian, beberapa pengurus langsung keluar kantor. Mereka melihat pelempar bom molotov hendak melarikan diri. Sayang, upaya pelaku gagal. Vespa yang dikendarainya ngadat. Tanpa berpikir panjang, si pelaku langsung diamankan.
Tersangka yang belakangan diketahui bernama Didin Tajudin, 28, warga Kampung Cinangka RT 04/7, Desa Margaluyu, Kecamatan Anjarsari, Kabupaten Bandung tersebut, tak melawan saat ditangkap. Bahkan, saat diinterogasi, lelaki berbadan sedang itu lebih memilih diam. "Selanjutnya, kami serahkan ke Polsek Katapang untuk ditindaklanjuti," kata Idan.


Saksi mata lain, Aten Katapang, pemilik toko di seberang kantor PKS menuturkan, saat kejadian, dia melihat tersangka linglung.


"Kejadian ini sangat singkat. Awalnya saya melihat pelaku mondar-mandir di luar kantor. Tapi, saya tak memedulikannya, karena di kantor PKS selalu banyak orang. Namun, setelah melihat kobaran api, saya baru tahu," terangnya.


Setengah jam setelah kejadian, Kapolres Bandung AKBP Ahmad Dofiri tiba di lokasi. Anggota polisi langsung mengamankan lokasi untuk pengusutan dengan memasang police line. Setelah meninjau lokasi dan meminta keterangan saksi mata dan pengurus partai, ia menuju ke Mapolsek Katapang untuk menemui tersangka yang sedang diinterogasi.


Dari hasil pengembangan sementara diketahui bahwa tersangka mengaku melakukan aksi tersebut atas inisiatif sendiri. "Ini tidak direncanakan. Tersangka mengaku atas inisiatif sendiri," kata Ahmad di Mapolsek Ketapang.


Dia menjelaskan, inisiatif tersebut didapatkan saat berjalan-jalan dengan kedua temannya. "Di tengah jalan, tersangka kecewa atas Pilgub Jabar. Kemudian, dia dan temannya menuju kantor DPD PKS dan ingin membakar kantor PKS. Dia juga mengaku tidak ada yang menyuruh," tambah Ahmad.


Di bagian lain, Wakapolda Jabar Brigjen Pol Supriyadi Usman juga terjun ke lokasi kejadian. Suprihadi mengatakan, tindakan yang dilakukan pelaku tidak dikenal di kantor PKS itu terkait dengan Pilgub Jabar. "Ini terkait dengan Pilgub Jabar," kata Supriyadi usai menemui tersangka di Mapolsek Ketapang, Bandung.


Ketua tim sukses Hade Kabupaten Bandung Arifin Sobari mendesak aparat keamanan mengusut persoalan ini sampai tuntas. "Kami yakin di balik serangan ini ada aktor di belakangnya," ungkap Arifin geram.



Pasangan Hade Masih Unggul


Hingga hari kedua pelaksanaan Pilgub Jabar kemarin (14/4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat masih memproses perhitungan sementara perolehan suara para calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub).


Pemantauan Radar Bandung (Grup Jawa Pos) kemarin hingga pukul 17.17, perhitungan sementara menunjukkan pasangan nomor urut satu Danny Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana (Dai) mendapatkan 621.443 suara (26 persen). Nomor urut dua Agum Gumelar-Nu�man Abdul Hakim (Aman) memperoleh 815.555 suara (34 persen). Terakhir, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) memperoleh 933.324 suara (39 persen). Berarti, untuk sementara pasangan ini masih unggul dibanding dua calon lain.


Jika berdasarkan data versi KPU Jabar kemenangan Hade masih belum pasti, menurut quick count beberapa lembaga survei, pasangan tersebut sudah dinyatakan menang.


Anggota KPU Jabar Ferry Kurnia Rizkiansyah mengatakan, sejak kemarin data yang masuk baru 10 persen atau sekitar 2,5 juta suara. Menurut dia, proses perhitungan dilakukan KPU sesuai prosedur yang berlaku dengan mengunakan sistem manual dan bertahap.


"Lamanya perhitungan suara karena memang kami menjalankan sesuai prosedur yang ditetapkan. Mudah-mudahan, antara 22 atau 23 April mendatang, perhitungan sudah selesai sehingga KPU langsung mengumumkannya kepada publik," terangnya.



Versi Lain, Agum Unggul


Berdasarkan informasi yang diperoleh Radar Bandung dari tabulasi posko Agum Gumelar-Nu�man Abdul Hakim (Aman) sampai pukul 13.00, pasangan nomor urut dua ini tetap menduduki urutan pertama dengan perolehan 6.278.070 suara atau 38,03 persen. Kemudian disusul nomor urut tiga Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) dengan perolehan 5.986.057 atau 36,26 persen. Terakhir, pasangan nomor urut satu Danny Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana (Dai) dengan perolehan 4.242.364 suara atau 25.70 persen.(aol/dni/jpnn/kum)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10316

Ketika Api Olimpiade Mampir ke Indonesia

Apa yang sebaiknya dilakukan di Indonesia saat api Olimpiade Beijing mampir di Jakarta pada 22 April nanti? Tiba-tiba saya memikirkan ini ketika di Beijing setiap hari mengikuti siaran televisi.


Kedatangan api olimpiade di setiap negara ternyata disiarkan secara nasional di Tiongkok berjam-jam lamanya. Bahkan, dua hari sebelum kedatangan api itu di suatu tempat, televisi Olimpiade Tiongkok (dulu CCTV 5) sudah menyiarkan persiapan-persiapan yang dilakukan negara yang akan disinggahi.


Ini tentu kesempatan besar bagi sebuah negara untuk promosi gratis besar-besaran di Tiongkok. Siaran TV Olimpiade Beijing di waktu pagi adalah acara yang paling disimak di sana. Maklum, berita politik di sebuah negara dengan sistem politik sosialis tidak akan menarik perhatian luas. Acara-acara menarik lainnya, umumnya seperti American Idol dengan segala variasinya, baru disiarkan malam hari.


Maka siaran Olimpiade Beijing dalam bahasa Mandarin itu merupakan kesempatan luar biasa untuk negara seperti Indonesia bila ingin mendapatkan liputan yang luas di Tiongkok. Tentu negara seperti Amerika dan Eropa tidak seberapa memerlukan Tiongkok. Namun, negara yang baru saja terkena krisis seperti Indonesia sangat memerlukan kemajuan Tiongkok untuk kepentingan Indonesia. Setidaknya di bidang pariwisata.


Karena pemerintah lagi menggalakkan Visit Indonesia 2008, kedatangan api olimpiade ini, kalau bisa dimanfaatkan secara baik, akan menjadi acara yang paling menarik sepanjang tahun.


Juga akan menjadi program paling berhasil dibanding program-program visit Indonesia Year 2008 lainnya.


Sayangnya, penanggung jawab kedatangan api olimpiade bukan kementerian pariwisata, melainkan kementerian olahraga. Maka, saya ragu kalau momentum ini bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan Indonesia sendiri. Tapi, karena atasan kedua menteri itu sama, apa salahnya kalau diadakan koordinasi yang intens agar momentum itu bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan nasional.


Memang akan muncul kepentingan kelompok yang bisa saja mengalahkan kepentingan nasional. Misalnya, kelompok Menpora yang bisa saja memanfaatkan untuk pemuasan ego sektoralnya. Ada pula kelompok anti-Tiongkok yang akan memanfaatkannya dengan cara menunggangi masalah Tibet.


Tapi, kepentingan nasional mestinya masih yang paling penting. Karena di sekitar tanggal itu saya masih akan di Tiongkok, saya akan melihat dan mengevaluasi apakah kedatangan api olimpiade di Jakarta nanti menimbulkan citra yang baik bagi Indonesia di mata rakyat Tiongkok atau tidak. Kalau saja kedatangan api itu bisa menimbulkan citra aman, meriah, menarik, dan berbeda dengan di negara-negara lain, siapa tahu target kedatangan wisatawan asing ke Indonesia dengan mudah bisa didapat.


Saya melihat liputan kedatangan api olimpiade kini sangat emosional, dan jam tayangnya lama sekali, dan diulang-ulang, dan banyak variasinya. Kapan lagi Indonesia bisa masuk TV di luar negeri begitu panjang dengan citra yang baik. Bukan lagi masuk TV kalau ada tsunami, gempa bumi, meledaknya bom teroris, atau pembunuhan antarkelompok agama. Kinilah saatnya Indonesia mendapatkan panggung internasional yang besar sekali: Inilah Indonesia. Negara yang ketika api itu datang ke Jakarta masyarakatnya tampak sangat aman, ramah, penuh keceriaan, dan kreatif dalam membuat acara serta alamnya yang indah.


Saya khawatir jangan-jangan yang muncul di TV kelak hanya wajah menteri yang biasanya sangat formal itu, atau demo-demo kelompok kepentingan atau citra Jakarta yang banjir dan tidak tertib. Di Beijing, saya sungguh harap-harap cemas citra apa yang akan muncul di siaran televisi kelak.


Di antara acara kedatangan api olimpiade di sebuah negara, yang paling menarik adalah ketika api itu datang di Afrika Selatan yang disiarkan Senin pagi kemarin, hampir satu jam. Atraksinya sangat menarik. Namun, karena Afrika Selatan amat jauh dari Tiongkok, rasanya tidak secara otomatis orang Tiongkok ingin berwisata ke sana. Ini berbeda dengan posisi Indonesia yang amat dekat dan alam serta budayanya yang sangat menarik. Kekurangan kita selama ini, seperti banyak dikeluhkan orang, adalah promosi! Sekarang ada kesempatan promosi yang luar biasa besarnya.


Saya sungguh ingin tahu, sudah mulai cerdas atau belum pemerintah kita memanfaatkan momentum seperti ini. Kita semua akan jadi saksinya.(*)

(Dahlan Iskan)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10319

Senin, 14 April 2008

Pilihan Solusi dengan Euthanasia



Langit masih pekat... Kala senja yang memerah terengah menyongsong pungkasan hari. Mega berarak menghias bias-bias langit Jogja. Daun-daun akasia jatuh kering bertebaran ke sana kemari terbelai semilir angin yang mengoyak hampa. Gugur dan tersapu begitu saja.


Suatu senja yang syahdu, terdengar lantunan murottal masjid seberang melafadzkan kalimatullah. Hhh… Ada teduh yang menyeruak ke permukaan hati kala ayat-ayat itu diperdengarkan. Ada kerinduan yang membuncah mengelana di ruang-ruang jiwa yang selama ini mati.


Rey tercenung beberapa jenak. Ditatapnya lekat sepasang mata indah di hadapannya. Ingin dia menyelami lebih jauh mata yang kian layu itu. Ingin berbaur dengan buliran-buliran air yang kadang menggenang di pelupuk mata itu. Mata itu kini menggariskan seulas senyum lewat kerlingnya.


Angin sore masih berembus, menyibak derai-derai rambut Asa yang kian menipis. Asa yang kadang harus menangis sebelum menjalani kemoterapinya. Dia tak berani membayangkan rambut-rambutnya rontok dan lama-kelamaan habis. Kini rambut hitam panjangnya memang mulai rontok.


"Euthanasia," gumam Asa tiba-tiba. Hati Rey sedikit bergetar mendengar kata itu. Kata yang benar-benar mengusik malam-malam Rey dua tahun lalu. "Kau tak sedang berpikir melakukannya, kan?" tanya Rey sambil menutupi cemasnya.


"Kau takut aku akan meninggalkanmu?" Rey mengangguk. Asa tersenyum puas mendapati jawaban Rey. "Kematianku sudah diatur, kenapa aku nekat mendahului kehendak-Nya dengan merencanakan kematianku sendiri?" tanya Asa pada dirinya, mengingat betapa gigihnya dia dulu meminta euthanasia. Dia tersenyum getir membayangkan Izrail mencabut nyawanya. "Sekarang, aku tak takut mati karena aku telah menemukanmu. Lebih hebatnya, aku telah menemukan Yang Memberiku Hidup, Yang Memberiku Penyakit," ujarnya.


Rey tersenyum kaku. Ada haru yang memenuhi rongga jiwanya. Jika tak takut melihat Asa sedih, dia pasti telah menangis. Dia membayangkan jika euthanasia itu benar-benar terjadi.



Dua tahun lalu.

Kampus itu telah sepi. Hanya segelintir aktivis kampus terlihat sibuk. "Euthanasia?" Rey terbelalak.


"Ya, kau mahasiswa kedokteran pasti tahu tentang hal itu."

"Kau tidak berniat melakukannya, kan ?"

"Kau tahu, aku lelah dengan hidupku. Terlebih, saat aku mendapati kenyataan bahwa penyakit ganas sedang menggerogoti tubuhku."


"Tapi, kita sedang berjuang mengupayakan kesembuhanmu. Kau harus optimistis. Asa, ayahku akan membawamu ke Singapura!"

"Tapi, aku telah mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Mungkin penyakit inilah yang akan membawaku pada kematian hingga aku benar-benar berpisah dengan kehidupan yang melelahkan ini. Tapi, aku juga tidak sanggup terlalu lama merasakan sakitnya. Euthanasialah jalan keluarnya."


"Dari mana kau dapat pikiran seperti itu? Benar-benar gila! Jelas-jelas itu bertentangan dengan agama. Negara pun tidak mengizinkan euthanasia. Itu sama saja dengan bunuh diri. Tolong lupakan rencanamu itu." Rey mencoba meyakinkan Asa.


"Aku hanya ingin mengakhiri penderitaanku dengan tenang, tanpa kurasakan lagi sakit seperti ini."

"Asa, di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita. Kau harus bersyukur dengan keadaanmu sekarang."


"Sudahlah, Rey. Aku yang menjalani hidupku dan aku yang merasakan sakitku. Kenapa kamu harus ikut campur?" Asa beranjak dari duduknya. Rey meraih tangannya.

"Kau harus janji tidak akan membicarakan masalah ini lagi. Aku nggak akan membiarkanmu seperti ini lagi."


"Kau tak berhak, Rey. Akulah yang memegang kemudi hidupku. Jika aku lelah dan merasa nggak sanggup lagi, apa aku harus bertahan?"

"Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu, Asa. Betapa mudahnya kamu mengambil keputusan konyol itu."


"Tapi, itu juga demi kemanusiaan, Rey. Aku harus melakukannya, dengan atau tanpa izinmu!" Rey tertunduk lesu, tak habis pikir dengan apa yang baru saja dikatakan Asa. Euthanasia, suntik mati! Ah, dia memang benar-benar sakit! Mungkin penyakitnya sudah sampai ke saraf dan meracuni otaknya.


Asa meninggalkan ruang praktikum itu dengan segenap kecewa. Ya, dia tahu Rey pasti tak setuju dengan idenya. Yang dia sesalkan, kedatangannya ternyata sia-sia. Dia tak berhasil mengorek info tentang euthanasia. Padahal, dia berharap Rey yang sebentar lagi menamatkan pendidikan dokternya itu akan memberinya gambaran mengenai euthanasia.


Masalah Rey setuju atau tidak, dia tak peduli. Rey tak punya andil dalam hidup Asa. Rey yang dengan mudahnya memberikan semangat-semangat hidup tak pernah merasakan sakit dan penderitaannya. Seakan-akan, hidup yang dilaluinya begitu mudah. Asa tersenyum dalam bekunya, mencibir Rey dengan segala ucapan-ucapan klisenya.


Masih di kampus itu, pergelaran teater baru saja usai. Asa dan Rey menyusuri malam di jalan-jalan Jogja. Sebenarnya, Rey tak enak jika harus berjalan dengan gadis itu. Tapi, tentu dia tak tega membiarkannya pulang sendirian.


"Selamat, pertunjukan yang menarik. Kau berbakat menjadi sutradara," ucap Rey membuka pembicaraan.

"Hanya sebuah seni yang kudedikasikan untuk hidupku."

"Juga untuk orang-orang di sekelilingmu."

"Tidak. Seni untuk semua kebohongan dan dusta."

"Egois."

"Apa kau pikir kedua tangan ayahmu, dokter terkenal itu, mampu menyembuhkan kanker otakku?"


"Jika Allah menghendaki, tidak ada yang mustahil dalam hidupmu." Rey menghentikan langkah, menatap Asa.

"Tapi, Dia memang menghendakiku mati karena penyakit ini. Aku memilih mati daripada menderita seperti ini."


"Kau pintar, Asa. Tapi sayang, kau tak punya mata hati. Padahal, mata hati itulah yang akan menuntun langkahmu dalam keadaan apa pun. Saat di ambang maut pun."

"Apa maksudmu aku tak punya mata hati?" Langkah Asa kini terhenti. Menatap Rey dengan penuh tanya.


"Hidup ini indah, Asa, jika kamu mau membuka mata hatimu. Ada banyak hal yang nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kebahagiaan, kenyamanan, dan cinta."

"Siapa bilang aku tak punya mata hati? Di hidupku, ada seni dan sastra yang kujiwai dengan hati. Tapi, sebentar lagi kanker otak akan merenggutnya. Perlahan, otakku tak akan lagi mampu menuruti jiwaku. Aku nggak akan bisa menulis puisi lagi, script-script teater. Aku akan kehilangan jiwaku. Lalu, apa artinya hidup?"


"Tanya pada diri kamu, apa yang paling kau rindukan saat ini? Terlalu lama kau lupakan Dia, yang memberimu hidup, yang memberimu penyakit. Dia yang memberimu limpahan harta yang kau hamburkan setiap malam di klub-klub laknat itu. Kini, Dia menegurmu. Dia tak mau kau lebih lama mengonsumsi hidup yang terdengar manis itu. Sekarang, apa kau ingin menghabisi waktu yang tersisa sedemikian singkat ini? Asa, euthanasia bukan jalan keluar. Ia akan makin menambah dosamu," kata Rey panjang lebar.


***


Asa menerawang langit yang bertabur bintang gemintang. Air matanya tiba-tiba meleleh. Separo hatinya beterbangan ke masa-masa sebelum dia divonis kanker otak stadium lanjut. Klub malam, alkohol, dugem, sex, dan pil-pil itu. Hatinya nanar mengingat masa lalunya sendiri. Sementara, hati yang lainnya larut dalam hamparan langit malam yang seakan tak mampu lagi menampung dosanya. Teringat ujar guru mengajinya dulu di TPA semasa kecil, tentang surga dan neraka. Jika mati, akankah dia menderita lagi di neraka? Sedangkan dia sudah merasa tak kuat dengan penderitaanya di dunia?

Ya, dia harus berubah.


***


Waktu kian menari di tepian hari. Saat hidup adalah kenyataan terindah yang terpupuh sempurna di bait-bait syair kuasa-Nya. Saat raga dan hati adalah lakon yang pasti akan tersenyum penuh kemenangan.


Asa itu cerah lagi, tak jadi meredup seiring senja yang membayang. Sinar-sinar itu membias di antara mentari yang setia terbit. Mata hatinya mencoba membaca setiap isyarat Rabb-nya.


"Tak ada yang tahu skenario indah-Nya. Kaulah klimaks dari segala pencarianku. Aku ingin menggenapkan separo dien-ku dengan melewatkan sisa umurmu denganku," ujar Rey kala itu, setelah acara wisuda berakhir. Asa merasa tak pantas mendapatkan lelaki seindah Rey.


***


Azan magrib membuyarkan kisah dua tahun silam. Kini, dinikmatinya senyum Asa yang terpagut di hadapannya. Rasanya bagi Rey, tidak ada lagi kebahagiaan selain melihat Asa tersenyum. Senyum di senja itu akhirnya menutup kisah hidup Asa. Dia telah mengembuskan napas untuk terakhir kalinya.
(Sekarwidya Prabanastiti)

Penulis adalah pelajar SMAN 1 Magetan.


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=336088

Sepasang Mata Indah


"Hei, lihat deh, cewek bule itu. Cantik ya?"

"Tapi, matanya kok nggak cokelat, biru, atau hijau ya? Lihat, orang tuanya aja warna matanya biru,"

"Bukan anak kandung kali,"


Seribu satu bisikan selalu didengar oleh Shasa dari mulut-mulut usil. Shasa adalah putri dari pasangan berdarah Barat yang tinggal di Indonesia. Shasa terlahir dengan kesempurnaan. Hanya dua hal yang selalu membuat mahasiswi berparas cantik dan berotak encer itu kosong dan aneh. Tidak ada cinta dalam keluarganya. Ditambah lagi, bisikan nakal dari mulut orang-orang usil tentang matanya.


Aku anak siapa? Kenapa mataku tak sama dengan mama dan papa? Enak saja mulut-mulut sial itu berkata kalau aku bukan anak kandung! Mereka pikir aku tidak tahu apa yang mereka katakan? Aku tahu! Aku bingung, apakah selama ini aku terlalu bodoh sehingga tak menyadari hal ini...


Shasa menangis sambil menorehkan isi hatinya ke dalam diary. Tak pernah sekali pun Shasa sesedih ini saat mendengar bisikan usil itu. Apa salahnya mata hitam? Toh, hitam juga warna mutiara dan itu indah.


Itulah yang selama ini Shasa pikirkan. Tapi kali ini, semuanya sungguh berbeda. Kata-kata tersebut tak mampu membendung amarah dan kesedihannya. Satu kalimat yang baru saja dia dengar tadi benar-benar membuatnya merasa bodoh.


***


Esoknya, Shasa bertekad menemukan jawaban atas segala kegalauan. Pagi ini juga, dia akan bertanya langsung kepada orang tuanya. Sayang, melihat sikap kedua orang tuanya yang selalu dingin setiap hari, Shasa memilih mengurungkan niat. Mungkin lebih baik tutup mulut daripada harus berhadapan dengan tatapan dingin mereka.


Tempat parkir mobil di kampus Shasa tampak berbeda pagi ini. Ada sedan merah mencolok yang menempati salah satu lahan kosong di sana. Punya siapa itu? Tanya Shasa dalam hati. Dia memang baru sebulan kuliah di kampus tersebut. Tapi, kalau untuk urusan mobil apa saja yang biasa parkir di parkiran itu, dia jelas hafal. Belum pernah Shasa melihat sedan merah tersebut.


"Eh, katanya ada mahasiswa baru ya?"
"Beritanya sih gitu. Oya, katanya lagi, mahasiswa baru itu bule lho! Pasti cakep, apalagi kalau matanya biru," Shasa mendengar dua orang mahasiswi berbisik-bisik di belakangnya. Shasa teringat sedan merah itu. "Mungkin mobil tersebut milik mahasiswa baru," batin Shasa. Saat teringat percakapan dua orang tadi tentang mata biru, kesedihan Shasa kembali terbayang.


***


Jam empat sore. Kuliah hari ini baru saja selesai. Ketika hendak mengeluarkan mobil, Shasa melihat sosok bule berjalan menuju sedan merah itu. Benar kata mereka, dia punya mata biru. Shasa benar-benar terkesima melihat mata mahasiswa baru tersebut. Mata mahasiswa itu memancarkan sesuatu bagi Shasa. Sesuatu yang tidak pernah terpancar dari mata kedua orang tuanya. Mungkin cinta. Selama ini, Shasa sama sekali belum merasakan apa itu cinta.


Sampai di rumah, perasaan berbunga-bunga Shasa hilang ketika melihat mamanya menangis tersedu-sedu sambil memeluk foto seseorang. Papanya hanya menenggak tequila di sudut ruangan.


Shasa mendekati mama dan berusaha memeluknya. Bukan pelukan balasan yang dia terima, mama Shasa malah membentak-bentak Shasa. "Pergi kau pembawa petaka!" bentak sang Mama sambil mendorong Shasa hingga tersungkur ke lantai. Karena terlalu takut akan sikap sang Mama, Shasa berlari ke kamar tanpa menghiraukan buku-bukunya yang jatuh berserakan di ruang tengah.


Di dalam kamar, Shasa kembali menangis. Dia bingung tentang apa yang sedang terjadi. Esoknya, Shasa memutuskan tidak sarapan. Dia pergi kuliah begitu saja tanpa berbicara apa pun kepada orang tuanya.


"Tunggu!" ujar mama Shasa, mencegah Shasa yang hendak meninggalkan ruang makan. "Semalam mama baca diary-mu. Sepertinya, kamu memang sudah harus tahu," nada bicara mama Shasa terdengar dingin dan pilu. "Kau memang bukan anakku. Kau pembawa petaka! Kau yang membuat Anyta kecilku meninggal!" mama Shasa mulai menangis setelah mengatakan itu.


Lutut Shasa terasa sangat lemas mendengar ucapan Mama. Shasa terpukul dengan kejadian itu. Selama di kampus, pikirannya tidak konsentrasi. Dia bahkan menabrak seseorang saat keluar kelas. "Sorry, aku nggak lihat kamu di situ. Aku John, kamu?" kata orang yang baru saja menabrak Shasa sambil menjulurkan tangan.


Astaga! Ini kan mahasiswa baru yang bermata biru itu! Hati Shasa berdegup keras saat hendak menjabat tangan John. "Mm... nggak apa-apa kok, aku juga nggak lihat kamu. Aku Shasa," ujarnya.


Suatu awal yang bagus. Selama ini, Shasa tidak punya teman untuk menemani minum kopi, bercanda, dan sharing. John merupakan orang yang tepat untuk memenuhi kekosongan jiwa Shasa. Perlahan-lahan, Shasa mampu melupakan kebingungan tentang dirinya, orang tua, dan Anyta. Apa pun hubungan mereka, Shasa tak peduli.


Sayang, kebahagiaan Shasa harus dibayar mahal. Suatu hari, John pingsan. Keluarga John bercerita kepada Shasa bahwa John sudah lama mengidap leukemia. Sekarang, dia koma. Shasa shock. Orang yang mampu membuat hidupnya berarti itu kini tergeletak lemas di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan S

Perjalanan Penuh Liku Dede Yusuf Menuju Kursi Wagub Jawa Barat

Untuk Biaya Kampanye, Gadaikan Vila di Puncak

Perjalanan aktor Dede Yusuf hingga dicalonkan sebagai wakil gubernur dalam pilkada Jawa Barat mendampingi Ahmad Heryawan penuh liku. Dia pernah diremehkan internal partainya. Selain itu, dua kali namanya ditolak ketika ditawarkan kepada calon lain.


ADANG D. BOKIN, Jakarta


Siapa yang tak kenal Dede Yusuf. Namanya cukup populer. Selain sebagai bintang sinetron dan layar lebar, putra artis senior Rahayu Effendi itu juga dikenal sebagai bintang iklan obat sakit kepala.


Aktivitasnya merambah dunia politik setelah terpilih menjadi anggota DPR dari PAN untuk periode 2004-2009. Di DPR, dia duduk di komisi VII yang membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup.


Di kalangan wartawan, sosok Dede dikenal ramah. Meski kerap membintangi sinetron dan film bertema laga, sikap sehari-harinya tidak mencerminkan sebagai bintang laga. Tutur kata pemegang dan-IV taekwondo itu sopan dan halus.


Ketika namanya mulai masuk dalam bursa cawagub (calon wakil gubernur) di pilkada Jawa Barat, banyak orang meremehkan. "Yang meremehkan dia bahkan dari internal partai sendiri," ungkap salah seorang aktivis PAN yang mengaku kerap di-curhat-i Dede.


Banyak pengurus PAN, mulai pusat sampai daerah, menganggap Dede hanya mencari sensasi. Bahkan, ada yang mengungkit-ungkit latar belakang akademis Dede yang drop out dari Fakultas Teknik Universitas Trisakti Jakarta.


"Pukulan telak dirasakan dia (Dede) ketika Ketua MPP PAN Amien Rais secara terbuka menyatakan tidak mendukung Dede," katanya.


Amien, tutur dia, justru merestui Iwan Sulandjana (pasangan Danny Setiawan). Kata Amien waktu itu, Dede dianggap tidak pantas memimpin Jawa Barat. Ketua MPP PAN Jawa Barat Amir Mahfud juga terang-terangan mendukung Dany Setiawan-Iwan Sulandjana.


Satu hal yang membesarkan Dede saat itu, dia didukung oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Pria yang akrab disebut dengan inisial SB itu sejak awal all out mendukung pencalonan Dede. "Di jajaran DPP, tinggal saya sendirian yang mendukung Dede," kata SB suatu ketika.


Banyak pengurus DPP PAN yang menilai Dede tidak punya kecakapan. Selain itu, dia diremehkan karena dianggap tidak punya dana kampanye.


Sehari menjelang pencoblosan, ada kader PAN di Ciamis -daerah asal Dede Yusuf- yang mengirim SMS (pesan singkat). Isinya:
"Saya dari DPC Ciamis, kalau nggak punya uang tak usah nyalon. Kami kapok".


Dede mengakui, dia maju sebagai cawagub bukan karena punya modal banyak uang. Dia maju semata-mata untuk merespons suara masyarakat, khususnya kawula muda dan ibu-ibu. "Jangankan anggaran kampanye, uang saksi saja tak ada. Saya tak punya saksi di TPS-TPS karena tak bisa bayar saksi," ucap pria kelahiran 14 September 1966 itu.


Dana saksi sebenarnya tidak besar, Rp 50 ribu per orang. Tapi, kalau dikalikan seluruh TPS di Jawa Barat, dibutuhkan sekitar Rp 3,4 miliar.


Untuk mendanai kampanyenya, Dede mengaku terpaksa menggadaikan sebuah vilanya di Puncak, Bogor. Untung, SB tidak hanya menyokong habis-habisan secara politis. Pengusaha asal Pekalongan itu juga menggelontorkan uang untuk mendukung kemenangan kadernya.


"Saya menitipkan sebagian dana zakat ke Dede Yusuf untuk disampaikan ke masyarakat," kata SB.


Zakat titipan SB itu, saat keliling Jawa Barat, oleh Dede diberikan kepada fakir miskin, yatim piatu, yayasan-yayasan sosial, dan lembaga keagamaan.


"Oleh SB, kami (Heryawan-Dede, Red) ini disebut calon duafa. Tapi, doa para duafa itulah justru yang mendorong kemenangan kami," ujar Dede.


Yang meremehkan Dede tak hanya politisi di partainya. Dua calon gubernur yang bertarung dalam pilkada Jabar (Danny Setiawan dan Agum Gumelar) juga tak memasukkan Dede ke dalam hitungan. Itu dibuktikan saat pencarian pasangan sebelum mendaftar ke KPU Jabar. Ceritanya begini.


Setelah mengantongi surat keputusan (SK) sebagai cawagub dari DPP PAN, hampir dua bulan lamanya Dede belum menemukan jodoh. SB sempat mengontak Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla untuk menawarkan Dede agar dipasangkan dengan Danny Setiawan yang diusung Golkar.


"Silakan Kak Ucu tanya lembaga survei, Danny akan sulit menang kalau tidak berpasangan dengan Dede Yusuf," begitu SB mengontak Kalla, seperti ditirukan sumber yang sangat dekat dengan SB.


Saat itu Kalla menjawab akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Danny. Belakangan Wapres menolak secara halus tawaran SB. Alasannya, polling Dede rendah sehingga tidak bisa dipasangkan dengan Danny. Kalla malah mengajak SB agar PAN mendukung Danny-Iwan Sulandjana.


SB tak patah arang. Dia kemudian mempertemukan Dede dengan Agum Gumelar di Hotel Dharmawangsa. Di hadapan SB, Agum mengaku senang berpasangan dengan Dede karena yakin menang. Tapi, setelah pertemuan itu, tak ada kabar berita dari Agum.


Belakangan Agum lebih memilih Nu’man dari PPP. Dede dianggap tidak menjual karena hanya berlatar belakang artis. Padahal, yang dibutuhkan Agum adalah tokoh yang berpengalaman di pemerintahan.


Ditolak Danny dan Agum, SB lalu mengontak Presiden PKS Tifatul Sembiring. Dia menawarkan Dede berpasangan dengan Ahmad Heryawan. "Ustad, saya yakin pasangan muda ini akan menang," begitu SB merayu Tifatul.


Awalnya, Tifatul mengaku tak bisa menerima Dede karena Heryawan sudah diberi harapan akan berpasangan dengan Danny. Tifatul menolak halus dengan mengatakan bahwa usul SB mendadak, sedangkan pencalonan di PKS sudah berlangsung jauh hari sebelumnya.


Belakangan, sikap PKS berubah 180 derajat setelah Heryawan ditendang Danny. Dengan mediator Chandra Wijaya dan Adang Durahman, beberapa hari sebelum pendaftaran ke KPUD, Heryawan dan Dede bertemu. Setelah itu, keduanya menghadap SB di Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan.


Dalam pertemuan tersebut, disepakati koalisi PKS-PAN. Yang sempat dipersoalkan dalam koalisi itu, siapa yang akan menjadi cagub? SB bingung memutuskan. Dilihat dari umur, Heryawan maupun Dede sama-sama 41 tahun. "Tapi, saya tiga bulan lebih tua lho," ujar Heryawan saat itu.


"Karena Heryawan lebih tua, Anda yang cagub. Dede harus rela menjadi cawagub saja," ujar SB kepada kedua calon tersebut. Heryawan dan Dede hanya tertawa. Keduanya lalu bersalaman dan menyatakan siap maju dalam pilgub lewat paket Heryawan-Dede dengan singkatan Hade. Akhirnya, pasangan tersebut berhasil unggul sementara. Semua versi quick count memenangkan pasangan tersebut. Begitu juga, data terakhir di KPU Jabar. (kum)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10311