Tanggal 23 Juli lalu masyarakat Indonesia kembali memperingati Hari Anak Nasional. Momen ini sangat penting untuk memotret kondisi anak-anak Indonesia. Anak-anak yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Bila dicermati dunia anak-anak yang seharusnya ceria kini semakin bermuram durja. Bahkan, fenomena kekinian yang mengagetkan sekaligus meresahkan para orang tua adalah maraknya pelecehan seksual terhadap anak yang dipicu oleh beredarnya video porno
Di negara yang mengadopsi sistem liberal seperti Indonesia --meski malu-malu menyebut dirinya liberal, akan selalu terjadi benturan kepentingan antara orang dewasa dan anak-anak. Di satu sisi orang dewasa berkoar-koar ingin melindungi hak-hak anak tapi produk-produk perusak anak diumbar. Mereka berteriak nyaring ketika anak-anak menjadi korban keganasan orang dewasa. Namun, di sisi lain mereka justru memberi kebebasan berekspresi seluas-luasnya kepada orang dewasa.
Di alam liberalisme orang dewasa tidak boleh dilarang berekspresi porno. Sekali pun dilakukan di ruang publik. Bahkan, pornografi dan pornoaksi sudah menjadi bagian dari industri pemutar roda-roda perekonomian. Mereka tidak peduli apakah industri porno itu berdampak buruk pada anak-anak serta merusak moral generasi muda atau tidak.
Suatu keniscayaan jika negara liberalis ini tak berdaya berhadapan dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu dijadikan standar para penganutnya. Pemerintahan dengan sistem liberal tidak memedulikan moral atau agama sebagai pijakan. Hal ini berimplikasi pada penetapan kebijakan politik yang bersifat permisif terhadap industri seksual. Baik film, buku/majalah, musik, situs porno, fashion, merchandise, dan tempat hiburan.
Hal ini terjadi karena pemerintah diharuskan menghormati, melindungi, dan menjamin kebebasan individu warga negaranya. Bebas berarti tanpa ikatan. Sementara agama selalu bersifat mengikat. Padahal, kebebasan pada orang dewasa ini terbukti berdampak buruk bagi elemen masyarakat lainnya yaitu anak-anak.
Negara tak mampu melindungi anak-anak dari akses konten porno yang sejatinya berada di ranah orang dewasa. Anak-anak menjadi korban egoisme orang dewasa.
Yang memprihatinkan manakala anak-anak akhirnya meniru perilaku bebas yang ditunjukkan orang dewasa. Mereka mengikuti gaya berpakaian orang dewasa yang serba seksi dan minim. Suka bergaya di depan kamera dengan pose-pose menantang. Selanjutnya dengan bangga mereka memajang foto dirinya di internet. Bahkan, tak sedikit yang meniru adegan intim yang mestinya hanya dilakukan orang dewasa.
Kebebasan berekspresi bagi orang dewasa akhirnya menjerumuskan anak-anak dalam perangkap jaringan sindikat kejahatan seksual. Seperti fenomena penculikan (atau kabur dari rumah) setelah berkenalan di jejaring sosial facebook. Ujung-ujungnya mereka pun menjadi korban pelecehan seksual.
Berbeda dengan liberalisme Islam memiliki syariah yang sempurna dalam melindungi anak-anak dari racun-racun pornografi dan pornoaksi yang berdampak buruk bagi eksistensi mereka. Islam melindungi anak-anak. Bahkan, moral orang dewasa dengan melarang individu-individu mengumbar masalah seks di ranah publik.
Dalam Islam wilayah porno diikat hanya dalam ruang privat dan diharamkan diumbar di ruang publik. Karena itu diharamkan suami-istri menceritakan hubungan intimnya kepada siapa pun. Apalagi sampai merekam adegan persenggamaan mereka. Di sisi lain, Islam telah menetapkan bahwa hubungan tersebut hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Ridak selainnya.
Islam juga mencegah merebaknya pornografi dan pornoaksi di ruang publik. Bisnis porno diharamkan. Apa pun bentuknya. Media massa yang menjual kepornoan dilarang. Islam memang aturan hidup yang tidak memberi kesempatan pada penganutnya untuk bebas. Segala perkataan dan perbuatan umat muslim wajib terikat dengan syariat Islam. Tidak ada kebebasan mutlak. Karena itu sudah menjadi rahasia umum bahwa Islam mengatur urusan manusia. Mulai dari bangun tidur hingga bangun lagi.
Artinya tidak ada perbuatan manusia yang tidak diatur oleh Islam. Inilah keunggulan pemikiran dan sistem Islam dalam melindungi masyarakatnya. Termasuk anak-anak.
Memang, interaksi antara lawan jenis di ruang publik tidak bisa dihindari. Namun, interaksi tersebut ada aturannya sehingga interaksi yang terjadi tidak akan membawa ekses-ekses negatif yang berujung pada dekadensi moral. Sistem Islam mengatur tatanan sosial pergaulan laki-laki dan perempuan yang antikrisis moral. Aturan inilah yang menjamin kehidupan yang 'sehat' bagi anak-anak maupun orang dewasa.
Aturan itu antara lain ketika laki-laki dan perempuan bertemu tidak boleh berdua-duaan (khalwat). Jika ini ditaati tidak akan ada pasangan mesum yang secara terbuka berani mesra-mesraan. Apalagi sampai berhubungan intim dan merekamnya. Ini akan mencegah anak-anak untuk berperilaku pacaran layaknya orang dewasa. Seperti lumrah terjadi di negara liberal.
Kemudian setiap individu baik laki-laki maupun perempuan wajib menutup aurat ketika beraktivitas di ranah publik. Jika ini ditaati tidak akan ada kasus pose bugil. Apalagi rekaman video bugil. Ini tentu saja mencegah anak-anak untuk melihat hal-hal yang belum saatnya mereka lihat.
Aturan sosial tersebut tentunya harus sinkron dengan pola asuh dan pendidikan kepada anak-anak. Sejak dini anak-anak harus dibiasakan menjaga diri, moral, berakhlak mulia, menutup aurat, dan berperilaku Islami lainnya.
Oleh karena itu peran keluarga perlu diperkuat dengan pendidikan moral. Selain itu sebagai anggota masyarakat individu-individu di lingkungan keluarga wajib menjadi pengawas terhadap perilaku individu lain di lingkungannya. Hal ini untuk mencegah kemungkaran terjadi di masyarakat.
Bukan hanya itu. Masyarakat juga wajib mengawasi dan mengoreksi pemerintah (muhasabah lil hukkam). Jika ingin menyelamatkan anak-anak dari kehancuran moral dan terkaman para predator seksual. Wallahualam bishowab.
Sumber: http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/07/31/165932/1410941/471/anak-pornografi-dan-agama--islam