Jumat, 25 April 2008

Derita dan Perjuangan Putri Dr Sjahrir setelah Terkena Still’s Disease yang Langka (2)

Lupakan Rasa Sakit, Ikut Maraton 21 Kilometer
Meski dokter memvonis penyakitnya tidak bisa disembuhkan, Gita Rusminda tidak putus asa. Gadis 26 tahun putri ekonom Dr Sjahrir itu tetap bersemangat melanjutkan hidup. Pekerjaan seberat apa pun dia lakoni. Dia juga berencana menikah dalam waktu dekat.

AGUS WIRAWAN, Jakarta

Ngobrol satu jam dengan Gita tidak terasa lama karena dia sangat ramah. Awalnya, Gita menyedot sebatang rokok putihan. Tapi, begitu tahu Jawa Pos tidak merokok, dia langsung mematikan rokoknya.

"Oke, no problem... lebih baik saya tidak merokok," katanya ketika Jawa Pos mempersilakan dia melanjutkan merokoknya.

Sayang, hari itu Gita hanya bisa menyediakan waktu satu jam untuk Jawa Pos. Sebab, dia harus bersiap-siap balik ke Singapura.

"Tiba di sana (Singapura), saya harus menyiapkan perjalanan ke negara lain. Ke Thailand dan Filipina," ujar gadis kelahiran Boston, Amerika Serikat, pada 5 Oktober 1981 itu.

Meski menderita still’s disease -sejenis penyakit rematik yang tergolong langka sejak empat tahun lalu- Gita tidak ingin memperlihatkannya kepada orang lain.

Tatkala berbincang dengan Jawa Pos, Gita mengungkapkan, sesungguhnya dirinya merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh. Tulang-tulangnya seperti patah. "Tapi, aku udah biasa menahan sakit ini," katanya, enteng.

Gita menceritakan, setiap hari, setelah terkena penyakit itu, dia berlatih menggerakkan anggota badannya. Upaya ini membuat kondisi tubuhnya semakin kuat. "Awalnya, saya latihan jalan di sekitar apartemen. Lama-lama meningkat mengitari blok. Tanpa saya duga, saya akhirnya mampu berlari," tuturnya. "Jadi, berlari sambil merasakan sakit," imbuhnya, tertawa lepas.

Dokter di Amerika terkejut ketika mengetahui perkembangan Gita. "Wow, tidak ada seorang pun yang seperti kamu. Sungguh ini suatu mukzijat," ujar gadis yang saat ini bekerja di kantor perwakilan AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) di Singapura tersebut, menirukan dokternya.

Menurut Gita, kemajuan yang dia peroleh menyangkut kondisi tubuhnya terjadi berkat semangat hidup. "Jika tidak memiliki semangat, seorang penderita still’s disease pasti akan malas-malasan bergerak melawan sakit di dalam tubuhnya," katanya.

Penyakit langka Gita itu membuat sel darah putihnya kehilangan kemampuan membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dengan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan mengakibatkan peradangan serta nyeri sendi.

Menyadari kondisi fisiknya yang semakin kuat, keinginan Gita berkembang. Dia tidak ingin hari-harinya habis di apartemennya di Andover, Amerika. Gita lantas berniat mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya. Selanjutnya, Gita melamar ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit listrik, yaitu AES. Singkat cerita, dia diterima karena telah memenuhi semua persyaratan.

AES lantas menugasi Gita ke kantor cabang di Singapura. Di sana, dia menangani pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif di wilayah Asia dan Timur Tengah. Tiba di Singapura 17 Agustus 2005, awalnya Gita diberi tugas di bagian business development. Dia harus menjelaskan kepada klien tentang potensi pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif, salah satunya geotermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi).

Meski pendidikannya ilmu politik, Gita mengaku tidak kesulitan menjalankan pekerjaan itu. Sebab, selama kuliah di Universitas Chicago, dia mengambil kurikulum tambahan untuk mempelajarai ilmu-ilmu lain. "Seperti ilmu pengetahuan alam, sosial, biologi, mereka mengajari aku apa aja. Jadi lebih fleksibel dan bisa melakukan pekerjaan apa pun. Pekerjaan harus dipelajari saat itu, bukan di sekolah," tambah gadis yang mengaku tidak suka difoto tersebut.

Semangat hidup kembali berkobar di hati Gita ketika memulai pekerjaan di Singapura. Dia tidak ingin menyerah, meski setiap hari, setiap menit, dan setiap detik seluruh bagian tubuhnya bagai ditusuk-tusuk. Dia merasakan nyeri dan linu yang luar biasa.

"Aku sampai nggak bisa mengatakan yang mana-mana. Pokoknya di seluruh tubuhku. Aku menjadi terbiasa dengan rasa sakit ini, so it’s okey, " ungkapnya cuek.

Bagaimana cara melawan rasa sakit itu? "Tak ada yang bisa mengalahkan rasa sakit kecuali rasa sakit itu dianggap tidak ada," jawabnya, tegas.

Etos kerja yang tinggi, ditambah semangat untuk hidup, membuat Gita seolah lupa memikirkan penyakitnya. Siang-malam dia bekerja, terkadang harus pulang pukul 2 pagi, lantas bangun jam 5 pagi, lari-lari di sekitar apartemen, kemudian baru berangkat kerja lagi. Begitulah kegiatannya setiap hari di Singapura. "Ya kalau ada pekerjaan yang mesti diselesaikan sekarang, maka harus selesai sekarang. Apalagi kalau ada deadline-nya," cetusnya.

Lantaran begitu asyik bekerja, Gita tidak menyadari bahwa tubuhnya butuh istirahat. Dia lupa ada penyakit ganas yang siap menyerang tubuhnya jika sedang capek. Beberapa kali, ketika sedang berada di kantor, Gita tiba-tiba merasakan rasa sakit itu dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Tahu-tahu saya sudah di rumah sakit. Kepala berdarah karena berbenturan dengan meja saat aku pingsan," ceritanya.

Tapi, kondisi itu tidak menyurutkan langkah Gita. Menurut dia, masih banyak yang bisa dilakukan dalam hidupnya dan dia tidak ingin berhenti begitu saja di tengah jalan. Dia bahkan sering merasa tertantang melakukan sesuatu pekerjaan yang menurut orang lain sulit dilakukan. "Kalau di kantor ada yang bilang itu sulit, aku justru berpikir, itu akan jadi tantangan menarik buat aku, Oh yeah.. aku bisa kok," lanjutnya.

Sifat ambisisus itulah yang menurut orang tuanya bisa membahayakan jiwa Gita. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan Gita agar mengurangi aktivitasnya. Namun, Gita tidak bisa seperti itu. Menurut dia, hidup harus terus berjalan. "Kita tidak bisa berhenti begitu saja. Tapi, sekarang aku lebih moderat, pulang sore nonton TV, malam hang out, ya patuh lah ama orang tua, " paparnya.

Meski begitu, setiap sore, Gita tetap tidak bisa diam. Beberapa kegiatan dia jalani. Setiap pulang kantor, dia ikut kursus bahasa Jerman, Jepang, dan menjalani hobinya berlari dan berdansa. "Aku bisa berlari sekarang. Desember tahun lalu aku ikutan kejuaraan maraton 21 kilometer di Singapura," lanjutnya.

Bagaimana soal pacar? Gita tidak langsung merespons pertanyaan itu. Tapi, dia mengaku bahwa saat ini sedang berpacaran dengan seorang pria asal Malaysia, namun mempunyai garis keturunan dari Jawa, Indonesia.

Bahkan, hubungan mereka sudah serius dan berencana menikah Agustus mendatang. Apakah sang pacar sudah mengetahui penyakit Gita? "Dia tahu. Dia bisa menerima karena ibunya meninggal setelah terkena penyakit lupus, yang gejalanya hampir mirip dengan penyakitku," katanya seraya merahasiakan nama sang pacar.

Soal penyakitnya, Gita sama sekali tidak takut memberitahukan ke pacarnya yang sama-sama bekerja di Singapura itu. Menurut dia, kejujuran di awal akan lebih baik daripada diketahui belakangan. Selain itu, dia juga mengaku bukan tipe wanita yang takut ditinggalkan oleh pria. "Aku bukan tipe wanita seperti itu, yang kalau ditinggalkan pacar, seperti mau mati. Kalau marah sama dia (pacarnya), aku nggak punya kekhawatiran dia lantas meninggalkan aku, lalu menikah dengan orang lain."


Yang penting, menurut Gita, hidupnya harus tetap berarti buat orang lain. Meskipun dokter sudah memberi tahu bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan, hanya dikurangi rasa sakitnya. Hidup harus terus berjalan meskipun beriring dengan rasa sakit. Gita bahkan berniat mengambil kuliah lanjutan (master) di Amerika Serikat. "Saya akan ambil MBA di University of Pennsylvania. Mungkin sebentar lagi," lanjutnya.


Mengenai hubungan dengan keluarga, dia mengatakan sangat sayang kepada dua orang tuanya. Namun, dia jarang pulang ke Indonesia. Sekitar tiga bulan sekali baru pulang. Itu pun hanya 3-4 hari di Jakarta. "Nggak tahu ya, mungkin karena saya sudah terbiasa hidup sendiri. Makanya, tidak terlalu kangen dengan orang tua. Tapi, kalau aku lagi ada masalah, pasti mereka datang," jelasnya. (bersambung/kum)


Sumber:http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10367

Gita Rusminda, Putri Dr Syahrir yang Tetap Tegar meski Sakit Setiap Hari di Sekujur Tubuh

Saya Merasa Berjalan dengan Tulang Patah
Umur Gita Rusminda masih muda, baru 26 tahun. Tapi, putri bungsu Dr Syahrir, ekonom yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ini terkena penyakit langka. Setiap hari, dia merasa tulang-tulangnya nyeri, bahkan seperti mau patah. Meski demikian, penyakit itu tidak membuat dirinya menyerah untuk terus berkarir di level internasional.

AGUS WIRAWAN, Jakarta

Dia cantik. Dia juga cerdas. Gaya bicaranya lugas. Penampilannya pun modis. Wanita itu adalah Gita, putri bungsu di antara dua bersaudara pasangan Syahrir-Kartini Panjaitan.

Kemarin pagi sekitar pukul 09.30, Jawa Pos menemui dia di restoran Fountain Lounge, Hotel Grand Hyatt, di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat. Sebenarnya, ingin sekali wawancara dilakukan di rumah orang tuanya, di Jl Teuku Cik Di Tiro, Jakarta. Tapi, permintaan itu dia tolak secara halus. Dia lebih suka ditemui di luar rumah orang tuanya.

Pagi itu, ketika Jawa Pos baru tiba, Gita sudah duduk menunggu. Di mejanya tersaji secangkir kopi panas. Dia memegang sebatang rokok di tangan kanannya.

Wajahnya terlihat segar dengan memakai setelan blus dan rok hitam, dipadu syal melingkar di leher.

Sebelum memulai pembicaraan, Gita terlebih dahulu meminta maaf jika lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Sejak lahir, dia memang hidup di Amerika Serikat, ikut ayahnya yang menempuh pendidikan di negeri Paman Sam itu.

"Saya sebenarnya sedang sakit. Sekujur tubuh ini sakit luar biasa," katanya. Ketika dia berkata seperti itu, Jawa Pos awalnya tidak percaya. Sebab, dia tidak terlihat merintih. Wajahnya pun tidak mencerminkan sedang meringis kesakitan. Bahkan, ketika mengambil minuman, gadis 26 tahun itu berjalan cepat. "Saya sudah terbiasa menahan sakit seperti ini…," ujarnya.

Kemarin adalah hari terakhir Gita berada di Jakarta. Dia saat ini bekerja di kantor perwakilan AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) di Singapura. Sudah tiga hari Gita berada di Jakarta untuk urusan pekerjaannya.

Hari pertama dan kedua, menurut Gita, dirinya sangat sibuk karena harus bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah dan pengusaha di Indonesia. Dalam pertemuan itu, dia mempresentasikan potensi pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal di Indonesia.

Wanita kelahiran Boston 5 Oktober 1981 itu saat ini menjabat regional manager AES untuk wilayah Asia dan Timur Tengah. Terkait dengan tugasnya itu, dia lebih banyak melakukan perjalanan ke beberapa negara. "Aku sudah di Amerika sejak lahir," ujarnya, memulai bercerita.

Saat kecil, Gita bersekolah di Cambridge Massachusetts. Dia pernah ikut pulang ke Indonesia bersama sang ayah selama tiga tahun. Ketika itu, dia bersekolah di SMP Tarakanita, Jakarta. Menjelang naik kelas III SMP, Gita kembali melanjutkan sekolah ke Amerika. Di sana, dia masuk preparatory school selama empat tahun hingga lulus high school (SMA).

Ketika kembali ke Amerika itu, Gita menyewa apartemen kecil di Andover. "Sejak itu, aku harus tinggal sendirian," ceritanya.

Seperti halnya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika, Gita juga melakukan pekerjaan sampingan (part time) untuk menambah uang makan. Beberapa pekerjaan pernah dia jalani, antara lain, menjadi asisten profesor hingga menjadi baby sitter. "Aku harus punya extra money (uang tambahan). Orang tuaku selalu bilang, kalau kamu pingin senang-senang, gunakan uangmu sendiri," tuturnya.

Lulus high school, Gita melanjutkan kuliah di Universitas Chicago. Jurusannya Political Science dan lulus pada awal 2004. Namun, tiga bulan setelah kelulusannya itu, petaka datang. Saat itu, ketika bangun tidur, Gita tiba-tiba tidak bisa menggerakkan anggota badannya. Setiap kali ingin bergerak, dia merasakan sakit yang luar biasa. Ketika dia paksakan untuk bergerak, dia pun pingsan. "Aku nggak tahu. Katanya, saat itu pingsan sehari. Rasanya sakit sekali. Tubuhku demam sampai 104 Fahrenheit. Paru-paruku juga gagal. Ketika sadar, aku sudah di rumah sakit dengan beberapa tabung oksigen di sekelilingku," paparnya.

Selama dua bulan di RS, dokter yang merawat tak tahu penyakit Gita. "Menurutku, saat itu mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku. Karena penyakitnya memang langka, tidak semua orang tahu. Di Amerika atau Singapura saja, mungkin cuma segelintir orang yang kena," tuturnya.

Gita menduga, mungkin di Indonesia ada juga beberapa orang yang terkena penyakit yang diketahui bernama Still’s Disease itu.

Dalam diagnosis dokter, kata Gita, sel-sel darah putihnya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan menyebabkan peradangan serta nyeri sendi.

Ketika dirawat di RS selama dua bulan itu, pada satu bulan pertama, Gita sengaja tak memberi tahu kedua orang tuanya di Jakarta. Dia tidak ingin ayah dan ibunya khawatir terhadap kondisi yang dialaminya. "Saat itu aku berpikir, biarlah kutanggung sendiri."

Tapi, setelah dipikir-pikir, Gita merasa harus lapor ke orang tuanya. Apalagi, saat itu dokter memperkirakan Gita bakal lumpuh dan umurnya tak akan panjang. "Khawatir terjadi apa-apa denganku, akhirnya kuberi tahu ayah dan ibu."

Begitu mendapat kabar, Syahrir dan istrinya langsung ke Amerika. "Mereka sangat marah karena aku tidak terbuka. Tapi setelah tahu penyakitku, mereka tidak lagi marah, tapi bilang kamu pasti sembuh," lanjutnya.

Hampir tiga bulan, Gita tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya di rumah sakit tersebut. Kehidupannya sangat tergantung orang lain. Bahkan, untuk mandi sekalipun, dia harus meminta tolong seseorang. Berbagai pengobatan dia jalani. "Obat-obatnya sih sama dengan obat penyakit Lupus, cuma ini lebih berat. Karena kalau capek, aku langsung pingsan," tambahnya.

Setelah masa tiga bulan lewat, Gita mulai belajar berjalan. Meski tulang-tulangnya terasa remuk, Gita bertekad kuat untuk bisa kembali berjalan seperti semula. Saat itu, untuk berjalan dalam jarak lima meter saja, Gita harus melakukannya dalam lima menit. Sangat pelan. "Rasanya seperti berjalan dengan seluruh tulang yang sudah patah. Sungguh sangat menyakitkan, tapi saya harus tetap berusaha," ucapnya, tegar.

Akhirnya, Gita baru bisa berjalan tegap pada bulan kedelapan. Sejak saat itu, dia tinggal di apartemennya untuk memulihkan kesehatannya. Dokter menyarankan agar Gita tidak bekerja dulu agar cepat pulih. Sejak saat itu pekerjaan Gita hanya membaca dan menonton TV untuk mengusir kebosanan. Namun, dia merasa tidak betah hidup seperti itu terus-menerus. "Aku sebenarnya nggak kuat kalau hanya diam seperti itu," tuturnya.

Meski telah menjalani pengobatan hampir setahun, penyakit Gita tidak lantas hilang. Rasa sakit seperti rematik di persendiannya itu berlangsung setiap hari, hingga saat ini. Tapi, Gita harus mengabaikan rasa sakit itu karena tidak ingin dikasihani orang lain. "Kalau Anda pernah patah tulang, seperti itulah rasanya setiap hari. Kalau rating sakitnya 10, mungkin di hari biasa skornya cuma 3-4 saja. Kalau 10, aku langsung masuk rumah sakit. Setiap hari seperti itu, sekarang juga," jelasnya.(bersambung)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10362

Angkot Tembus Atap Rumah

LUPA NGEREM: Kondisi angkot jurusan Johar-Banyumanik, Semarang Selatan, yang disopiri Maryadi saat menimpa atap rumah Emi Wongsosudiro, warga Karanganyar Ledok, Candisari, Semarang.

SEMARANG - Mobil angkot yang nangkring di atap rumah di Semarang kemarin bukan iklan sebuah bank yang populer beberapa waktu lalu. Juga bukan atraksi sirkus. Itu peristiwa kecelakaan yang nyaris membawa celaka enam penumpang dan dua pemilik rumah.

Angkot jenis Toyota Kijang dengan rute Johar-Banyumanik tersebut meluncur tanpa kendali di Jalan Karanganyar Ledok pada Kamis kemarin (24/4). Kecelakaan itu diduga disebabkan keteledoran sang sopir.

Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 12.30 itu berawal ketika sopir angkot bernama Maryadi, 47, berhenti di jalan menurun. Salah seorang penumpang minta turun. Maryadi menghentikan kendaraannya di jalan pada kemiringan (kondisi jalan menurun) sekitar 30 derajat.

Begitu berhenti, Maryadi membantu menurunkan barang belanjaan penumpang bernama Ny Didik, 45. Sial, sopir warga Kampung Sleko RT 1 RW 11 itu lupa menarik tuas rem tangan angkotnya. Akibatnya, kendaraan itu meluncur deras di jalan menurun itu.

Bisa dibayangkan betapa paniknya enam penumpang angkot tersebut. Mereka menjerit dalam angkot yang meluncur tanpa sopir. Sisi kiri jalan memang lebih rendah ketimbang jalan raya. Bahkan, atap rumah warga di situ lebih rendah daripada bahu jalan.

Setelah meluncur lebih dari seratus meter, angkot oranye itu lompat ke atap rumah Emi Wongsosudiro, 76, di Karanganyar Ledok no 586 RT 4 RW 4, Kelurahan Karanganyar Gunung, Kecamatan Candisari. Posisi rumah tersebut memang lebih rendah dan berjarak hanya sekitar 1,5 meter dari sisi tebing jalan.

Bodi mobil nahas tersebut menjebol atap rumah dan bagian depan menerobos dapur. Reruntuhan kayu dan genting rumah yang ambrol sempat menimpa dua penghuni rumah. Selain itu, enam penumpang dewasa dan seorang anak mengalami luka-luka dalam peristiwa tersebut.

Menurut saksi mata bernama Jubaedah, 50, putri Emi, saat kejadian, dirinya sedang mencuci piring di dapur. Tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh di luar.

"Saya kira gempa. Karena penasaran, saya lari keluar, tahu-tahu di dapur terdengar suara lebih keras lagi," kisahnya.

Setelah dilihat, ternyata sebuah mobil angkot menerobos masuk ke dapur melalui atap rumahnya. Jubaedah pun bersyukur karena saat itu langsung lari keluar rumah.

"Kalau saya tetap di dapur, entah bagaimana jadinya. Lihat saja, ruangan dapur rusak semua," katanya, sambil menunjuk angkot yang nangkring di atap rumahnya dengan moncong menembus atap.

Dia lebih kaget lagi karena di angkot tersebut penuh penumpang. "Ada sekitar lima orang dan seorang anak kecil. Mereka berteriak histeris dan segera keluar," ungkapnya.

Dia mengaku tak sempat menolong penumpang karena sibuk mengurusi ayah dan ibunya, Emi dan Sadiyah. Pasangan suami istri itu mengalami luka di tangan dan pungung akibat terkena reruntuhan tembok.

"Saya saat itu sedang duduk di ruang tamu. Saat atap dan tembok ambrol, saya tak sempat menghindar," tutur Emi.

Maryadi pun menuturkan bahwa angkotnya berhenti karena dirinya membantu menurunkan barang belanjaan penumpang. "Saya ikut turun membantu membawakan belanjaan. Penumpang yang lain berada di dalam," kata pria yang masih terlihat shock tersebut. Saat itu, mesin angkot dalam keadaan hidup. "Saya kaget dan mencoba naik untuk mengerem. Namun, mobil terus ngelondor. Apalagi, jalanan menurun," imbuhnya.

Enam penumpang yang terluka adalah Ivana W. Arisokha, 26, warga Gombel Lama; Ny Triyono, 60, dan Djunaedi, 50, keduanya warga Karanganyar Ledok; Ny Suratmin, 60, warga Jangli; Elvianingsih, 34, warga Jatingaleh; serta Ny Nawarti, 24, warga Jalan Durian, yang mengalami luka paling parah di bagian kepala.

Kapolres Semarang Selatan AKBP Imran Yunus melalui Kanitlaka Iptu Agni Wisnu Brata mengatakan, pihaknya menduga kecelakaan terjadi akibat pengemudi lalai. "Dari keterangan para penumpang, sebelum kejadian mesin dibiarkan dalam keadaan hidup," ungkapnya. (ric/jpnn/tof)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10371

Kamis, 24 April 2008

Pendekatan Budaya Negara Asia Afrika

PADA peringatan "Golden Jubilee" (Ulang Tahun Emas) Konferensi Asia Afrika tahun 2005 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan agar momentum ini tidak hanya dimaknai sekadar acar seremonial, tetapi dengan menyatukan tekad dan upaya untuk mewujudkan terciptanya kerja sama kemitraan strategis baru Asia Afrika. Pada intinya, Presiden menegaskan pentingnya semangat baru Asia Afrika. Karena kalau kita melakukan perenungan, ternyata penjajahan telah kembali bercokol di muka bumi ini, tidak saja melalui senjata, namun melalui perang budaya. Melalui budaya itu, tanpa kita sadari sudah membelenggu kemerdekaan kita.


Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mungkinkah pendekatan budaya dapat meningkatkan kepedulian masyarakat di negara-negara Asia Afrika terhadap arti pentingnya KAA yang dilaksanakan 53 tahun lalu. Atau dengan kata lain, mungkinkah kemitraan strategis baru Asia Afrika dapat dicapai dengan pendekatan budaya?


Dalam kaitan inilah Pemerintah Provinsi Jawa Barat saat ini sedang mengusulkan pembangunan "Kampung Budaya Asia Afrika", suatu daerah wisata yang terdiri atas anjungan negara-negara Asia Afrika yang memiliki kekhasan masing-masing.


Dalam usulan itu disebutkan, tempat wisata tersebut memiliki luas sedikitnya 150 hektare. Masing-masing anjungan kira-kira menempati areal satu hektare. Sisanya antara lain akan dijadikan convention center dan bisa juga dilengkapi dengan hotel dan mal. Pada tahap awal, ide kampung budaya tersebut setidaknya diharapkan dapat didukung oleh 10 negara Asia Afrika.


Akan tetapi, hal yang lebih penting dari ide pembangunan KBAA adalah bukan segi fisik, melainkan roh dari kampung budaya tersebut. Dari tempat itu diharapkan "Semangat Bandung" makin terpancar di antara bangsa-bangsa Asia Afrika. Di tempat itu mereka membicarakan banyak hal, termasuk kerja sama ekonomi dan bisnis dalam upaya memajukan bangsa-bangsa Asia Afrika.


Dari sisi kepentingan nasional, ada aspek lain yang mengemuka, yakni perlunya memanfaatkan brand image Bandung sebagai "ibu kota Asia Afrika". Selama ini seolah-olah nama besar Bandung yang pernah menjadi tempat bersejarah bagi bangsa-bangsa Asia Afrika terabaikan.


Sebagai perbandingan, negara lain di Asia seperti Malaysia telah menghabiskan dana yang sangat besar untuk menciptakan citra baru negara itu sebagai "The Truly Asia". Demikian juga dengan Korea Selatan yang berkeinginan mencitrakan negaranya sebagai pusat kebudayaan Asia.


Pada saatnya nanti, KBAA tentu diharapkan dapat mendatangkan banyak wisatawan asing ke Indonesia. Datangnya wisatawan mancanegara itu akan bermakna sebagai diplomasi kebudayaan, di samping sebagai income generator. Selain juga sangat penting untuk menumbuhkan dinamika pariwisata, khususnya di Jawa Barat. ***


H.I. Budhyana

Penulis, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=20218


Link Terkait: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=20217

Menggagas Dialog Islam-Barat

Belakangan ini, berbagai bentuk pelecehan dan penodaan terhadap Islam datang silih berganti. Mulai dari kasus Salman Rushdie dengan bukunya The Satanic Verses, sampai ke tindakan seorang warga Denmark yang membuat karikatur Nabi Muhammad. Setelah itu, ulah politikus Belanda Geert Wilders yang memojokkan Islam dengan tayangan film hasil besutannya "Fitna".


Peristiwa tersebut telah mencoreng hubungan mesra antara Islam dan Barat, baik dalam tataran kerukunan hidup antarumat beragama atau hubungan diplomatik antara negara-negara Islam dan Barat.


Paradigma Barat


Kalau dicermati, rentetan peristiwa yang terjadi muncul akibat kesalahpahaman antara Islam dan Barat. Barat selama ini tidak mendapatkan deskripsi yang utuh tentang Islam sebagaimana disinyalir oleh seorang orientalis barat William Montgomery Watt dalam bukunya Der Islam. Ia menyatakan, "Riset objektif yang telah berlangsung sejak 150 tahun, belum mampu menampilkan wajah Islam yang benar di hadapan barat."


Hampir sebagian masyarakat Barat selama ini mengidentikkan Islam dengan kekerasan dan kebiadaban. Mereka menuduh Islam sebagai biang keterbelakangan dan kemunduran. Pengidentikan ini diopinikan terus oleh Barat melalui media massa, industri perfilman, dan institusi pendidikan.


Atas dasar ini, maka dialog peradaban adalah satu-satunya solusi untuk menjembatani perbedaan paradigma Barat terhadap Islam. Hal itu akan terlaksana jika masing-masing pihak mau untuk sama-sama saling menghormati dan mengakui hak asasi manusia tanpa membedakan warna kulit, ras, dan agama.


Tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations yang memprediksi pertarungan peradaban antara Islam dan Barat menjadi terbantahkan. Karena tidak semua pertarungan melibatkan dua peradaban tetapi terkadang muncul dari intern satu peradaban seperti yang terjadi pada Perang Dunia I dan II. Faktor penyebabnya lebih pada kepentingan politik dan ketamakan untuk menguasai sumber daya alam suatu bangsa.


Kadangkala, pertarungan juga muncul karena sikap segelintir orang yang memahami agama secara parsial sehingga menimbulkan aksi teror dan kekerasan.


Titik temu


Dialog merupakan cara damai dan terbaik untuk menyelesaikan krisis peradaban. Peluang untuk melakukannya masih terbuka lebar, karena terdapat titik temu yang bisa dijadikan landasan untuk saling menghormati dan memahami.


Ajaran masing-masing agama meyakini keberadaan Allah sebagai zat yang menciptakan segala sesuatu. Allah menyeru manusia untuk beriman, berbuat baik, dan meyakini adanya surga dan neraka. Itu menjadi spirit bagi umat beragama untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan.


Juga seruan masing-masing agama untuk mewujudkan nilai-nilai universal seperti keadilan, toleransi, dan persamaan hak sudah menjadi ajaran yang wajib dipatuhi oleh setiap pemeluk agama tanpa terkecuali.


Di samping itu, ajaran masing-masing agama menyeru untuk terciptanya perdamaian dan terwujudnya keadilan untuk seluruh umat manusia. Kesemuanya sama-sama mengecam segala bentuk tindak kekerasan dalam mewujudkan tujuan.


Sarana


Dialog dengan sendirinya tidak akan mencapai hasil maksimal kecuali didasarkan pada kemauan dan keseriusan kedua belah pihak untuk sama-sama saling menghormati budaya dan mengakui hak asasi manusia secara sama. Terdapat sarana-sarana penting yang bisa menciptakan kondisi tersebut.


Pertama, pendidikan. Pendidikan berperan penting dalam mengubah stigma masyarakat terhadap suatu problematika. Kekeliruan cara pandang Barat terhadap Islam muncul disebabkan oleh ketidaktahuan atau kesengajaan pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan adanya hubungan harmonis antara Islam dan Barat.


Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan iklim saling memahami dan menghormati peradaban lain. Rancangan kurikulum pendidikan semestinya bukan bertujuan sebatas pengenalan terhadap peradaban dan kebudayaan masing-masing tetapi lebih jauh untuk menanamkan kesadaran pentingnya nilai-nilai kesamaan. Peradaban boleh berbeda tetapi kerja sama dan penghormatan kepada budaya lain harus dikembangkan.


Menghormati peradaban lain bukan berarti menerima atau menolak, tetapi mengenal dan memahami sikap, tujuan, dan kondisi pembentuknya, karena pada akhirnya peradaban adalah hasil karya manusia yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan dengan cara dan sarana yang berbeda-beda. Nilai-nilai seperti ini yang mesti ditanamkan pada semua level pendidikan.


Kedua, media (baik cetak atau elektronik). Arus globalisasi telah membuat dunia menjadi kecil. Semua peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dengan mudah bisa diakses. Media mampu menembus batas-batas ruang dan waktu. Pengaruhnya dalam membentuk opini umum sangat dahsyat. Bukti sederhana adalah isu Islamphobia yang selalu diembuskan media barat untuk memutarbalikkan fakta dan sejarah Islam.


Pendeskripsian Islam secara sepihak tentu bertentangan dengan budaya saling menghormati dan pengakuan terhadap HAM. Sudah sepatutnya Barat menata ulang sistem pemberitaannya terhadap Islam. Dan itu akan berjalan sesuai dengan tujuannya jika dikontrol dengan baik.


Ketiga, organisasi internasional. Peran organisasi internasional seperti PBB sangat dibutuhkan untuk menciptakan budaya saling menghormati antarperadaban. PBB bisa lebih mengefektifkan semua badan-badan di bawahnya seperti UNESCO untuk mempromosikan peran dan kontribusi berbagai peradaban dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dunia. Sehingga, setiap peradaban layak dihormati dan pada waktu yang sama dijadikan sebagai sarana untuk menyebarkan perdamaian dunia.


Dialog antarperadaban bukan sekadar basa basi atau retorika formal. Tetapi bisa efektif apabila dibangun atas kemauan serius dari kedua belah pihak untuk mencapai perdamaian, keadilan, dan kesepahaman. Hal itu menuntut sikap kemanusian untuk menembus tembok-tembok fanatisme, kebencian, kekerasan, luka sejarah, dan kekeliruan persepsi.


Semua itu akan terealisasi dengan niat tulus dan kemauan serius dari kedua peradaban untuk bersama-sama saling memanfaatkan titik temu agar tercapai tujuan dan sasarannya. Keberhasilan dialog akan menentukan masa depan peradaban dunia. Jaminan perdamaian, stabilitas internasional, dan kerja sama yang erat terletak di pundak para pemimpin dan rakyat. Pada akhirnya, dialog diharapkan menjadi solusi dari krisis multidimensi yang mengganggu hubungan antarkedua peradaban.***


L. Supriadi

Penulis, mahasiswa program doktoral di Univ. Islam Omdurman Sudan. Sekarang berdomisili di Kairo Mesir.


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=20256

Rabu, 23 April 2008

Batu-Batu Bercahaya

Sabar adalah manusia got, begitu orang-orang menjulukinya. Sabar telah menyusuri semua sungai di kota ini,sungai yang mengalir dari hulu hingga sungai dan kalikali mati yang menyempit di balik gedung-gedung jangkung dan rumahrumah toko yang berjejal membuang segala kotoran.


Air dari sungai itu mengalir lambat pada tempat yang dangkal di selangkangan kakinya setiap hari, bau anyir dari lumpur menjadi makanannya paling bergizi.


Hari-hari Sabar menelusuri kali kecil dimulai dari belakang sebuah rumah sakit tua yang airnya berwarna hitam kehijauan, sampah kotoran rumah sakit itu dilempar sembarangan, jarum suntik berkarat pernah beberapa kali menghunjam kakinya,kapas dan perban penuh darah terkadang mengambang di permukaan kali, tapi di sinilah pertama dia mendapatkan rezekinya ketika ayakannya menjaring sepotong gigi palsu tua dari perak.


Hari demi hari ayakan Sabar yang berkarat meraup pasir bercampur batu, beling, dan sesekali potongan kuningan atau alumunium, yang lalu dikumpulkannya di karung. Sedikit demi sedikit benda-benda itu terkumpul hingga layak untuk ditukar menjadi rupiah ke pengepul besi bekas. Sabar senantiasa berharap mendapatkan barang berharga dari pekerjaannya, cincin atau giwang yang terbuat dari emas.


Tapi sampai kini dia tak pernah menemukan, kecuali pernah dulu dia mendapat anting-anting kecil yang biasa dipakai balita,terbuat dari emas muda,yang lalu dijualnya ke toko mas di sebuah pasar yang dihargai beberapa puluh ribu rupiah,itu adalah penghasilan terbesarnya sejak dia menjadi manusia got selain gigi palsu yang dia temukan saat pertama kali terjun di kali.


Lalu bertahun-tahun dia tak ingin berhenti membawa ayakannya turun ke kali,di bawah permukaan air hitam itu dia seperti melihat sesuatu yang bening bernama harapan bahwa suatu saat dia akan mendapat barang yang berharga selain potongan-potongan besi atau kuningan. Karena baginya, jika Allah menakdirkan untuknya rezeki, maka tak ada yang bisa menghalanginya.


Lagi pula yang diharapkan Sabar tak berlebihan,cukup untuk bisa pulang kampung membawa sekadar oleh-oleh dan beristirahat seminggu dua minggu tidak turun ke kali. Tapi adakah yang begitu ceroboh hingga benda berharga miliknya terjatuh, lalu dibawa air ke kali? Sungai-sungai atau yang biasa disebut kali yang merayap di tengah kepadatan penghuni kota terasa mengalir sabar seperti hidup yang dijalaninya, Sabar si pengayak got yang tekun dan teliti hingga sebiji peniti pun tak luput dari matanya.Apa yang sudah dia dapat memang tak ada artinya.


Potongan- potongan besi tanpa harga, sempalan benda-benda elektronik, barang- barang berkarat yang malah sangat berbahaya bila menusuk kakinya karena bisa menyebabkan tetanus. Tapi kesadaran menjadi orang yang sia-sia di rimba kota perlahan berhasil disingkirkannya jika tidak mendapatkan benda berharga seperti dalam angan-angannya. Kini dia sudah merasa cukup dengan potongan-potongan kuningan atau alumunium saja untuk dikumpulkan.


Dan menjadikan dirinya tawakal menjalani kehidupan. Hal yang selalu disukuri Sabar pula adalah inayah Allah yang selalu membimbingnya untuk tak pernah berhenti bersujud. Bila sudah terdengar azan,Sabar pasti akan menghentikan pekerjaannya itu,dia akan mencari tempat salat untuk berjamaah.Sabar tak pernah berani meninggalkan salat walau satu waktu pun.


Sebelumnya dia akan berwudu sesempurna mungkin, dia sadar seharian dirinya berkubang di aliran limbah pekat, dibenamkan oleh najis. Air yang mengalir di kali bisa jadi air bekas mencuci daging babi, atau bekas mandi dua orang penzina di losmen tempat pelacur murahan menanti lelaki hidung belang, sedangkan air kali itu saja sudah jelas-jelas adalah kotor dan najis.


Orang-orang menjulukinya manusia got, bahkan ketika dia sudah berada di dalam masjid. Satu dua orang yang mengenal siapa dirinya berbisikbisik seolah dia tak pantas berada di antara orang-orang di masjid.Memang rasanya aneh,kokmanusia yang keluar dari got bisa menjalankan salat.


Ketika dia salat menghadap Tuhannya, dia pasrah akan dirinya sebagai hamba, dia berdoa demi akhirat dan memohon suatu hari nanti bisa pulang kampung membawa oleh-oleh untuk anak dan istrinya yang sudah hampir sepuluh tahun tak pernah di-jenguknya, benda-benda yang didapatnya selama ini pun hanya untuk makan demi menyambung hidupnya sendiri,tak bisa dibelikan tiket kereta api pulang ke kampungnya,konon pula membeli oleh-oleh.


Sabar merasa dirinya begitu dekat dengan-Nya, hidayah yang mungkin tidak dimiliki banyak orang yang selalu berada di tempat yang bersih dan nyaman. Allah menuntunnya ke jalan yang dibentangkan-Nya, jalan yang penuh cahaya. Dia bersujud,memuji dan menyebut nama-Nya dengan ikhlas dan sabar.


Orang-orang yang mengenal dirinya boleh saja risi melihatnya berada di masjid, walau dia selalu menyembunyikan dirinya di pojok belakang,di balik tiang-tiang selasar atau di samping rak sepatu agar tak terlihat oleh orang yang mengenali dirinya. Sabar selalu ingat akan sebuah khotbah Jumat suatu hari di masjid besar di pinggiran kota, bahwa salatlah yang membedakan orang-orang mukmin dan orang-orang kafir.Orang yang tidak salat lebih hina dari seekor anjing.


Siapa yang mendirikan salat berarti dia menegakkan agama Allah. Amal wudu dan salat orang-orang yang beriman akan naik ke langit berupa cahaya-cahaya mahaindah,kemudian para malaikat yang melihat cahaya itu bertanya-tanya heran. “Cahaya indah apakah itu?” “Hai para malaikat berbarislah! Ini adalah cahaya seorang mukmin yang sedang salat menghadap-Ku! Muliakanlah dia!” Sabar sangat yakin dia memiliki cahaya-cahaya mahaindah itu.


Sabar adalah manusia berkubang najis, terik matahari memanggang tubuhnya setiap hari. Allah dan bala tentara malaikatnya telah lama melihat Sabar tersaruk-saruk melata di arus kali hitam yang berkelok-kelok merayapi tubuh kota demi mempertahankan hidup dan salatnya, dia tidak memakan uang yang haram. Tubuhnya makin menua dan lelah, tak satu hari pun dia berhenti sujud dengan memuji selalu nama-nama-Nya yang maha agung dan indah.


*** Di sebuah kali yang dangkal dengan air kecokelatan, sehabis banjir yang cukup besar melanda kota menjadikan hari ini kali sedikit bersih dari sampah. Sabar berharap mendapatkan banyak rezeki yang dibawa arus dari hulu.


Dia terus mengayak sejak pagi hari,beberapa potongan alumunium dan tembaga didapatkannya. Sendok, garpu dan potongan-potongan kabel seperti biasa bermunculan.Hingga dia kelelahan dan harus beristirahat. Sabar yang menua sangat cepat lelah kini. Dia tertidur di bawah sebuah pohon di pinggir sebuah got yang melintangi hiruk-pikuk kota.


Tubuhnya teronggok dibuai mimpi…. Tiba-tiba muncul sesosok makhluk dari atas pohon yang melindungi Sabar dari terik matahari, makhluk itu tersenyum membangunkan Sabar dan berkata: “Hai Sabar… aku diperintahkan Allah mengangkat sebuah tempat air bekas tentara kompeni yang lama terpendam di lumpur. Di dalam tempat air itu banyak permata dan mutiara berharga yang disembunyikan pemiliknya, dia seorang tentara Belanda yang licik dan serakah.


Dia sudah lama mengumpulkan benda-benda berharga yang didapatnya dari sultan-sultan dan orang-orang bermata sipit, dia ingin membawanya jika dia pulang ke negerinya, tapi pecah perang hebat. Kapten itu terluka di jalan dan membuang tempat air itu ke sungai untuk suatu saat akan diambilnya kembali, tapi dia keburu mati.Tempat air itu kemudian kami kuasai dan kami sembunyikan dari pandangan manusia… Hingga Allah mengizinkannya untukmu….” Sabar tetap tertidur…. “Hai Sabar… nyenyak sekali tidurmu.


Kini kau begitu tua dan kurus, Allah mengizinkan benda itu untuk kau miliki….” Lalu makhluk yang membisikkan itu mengguncang guncang tubuh sabar hingga sabar terbangun.Sabar tersentak, dia merasa malaikat baru saja berkata dengan marah dan meniupkan angin kencang ke telinganya bahkan sampai mengguncang-guncang tubuhnya.


Sabar langsung istigfar berkali-kali.Rupanya bayangan matahari sudah memanjang bertanda waktu zuhur telah lama lewat. Sabar bersyukur malaikat telah berbaik hati membangunkannya walau dengan cara yang kasar dan marah-marah. Sabar bergegas ke masjid dan sepanjang jalan masih terus istigfar mohon ampun karena menyesal telah keenakan tidur hingga telinganya tak menangkap lantunan azan.


*** Beberapa hari kemudian, dalam bimbingan malaikat, ayakan Sabar menyentuh benda yang keras dan berat, dia berusaha mengayak lebih dalam mengangkat benda itu,setelah diangkat ke permukaan, tampaklah sebuah tempat air yang biasa dipakai tentara, tempat air itu bertuliskan bahasa asing yang tidak dia mengerti, kecuali tahun dan tanggal yang sudah tertinggal begitu jauh di belakang.


Entah kenapa kali ini Sabar merasa jantungnya berdebar kencang memerhatikan benda yang didapatnya, segera dimasukkannya tempat air yang berat itu ke dalam karungnya,lalu dia cepat meninggalkan kali dan pulang. Di gubuk liar sewaannya, terus dengan dada berdebar dia membuka tutup tempat air tentara yang sudah berkarat itu dengan susah payah, dia harus memukul dan memalu benda itu berkali kali dengan martil hingga tetangga-tetangga di kiri kanan gubuknya berteriak-teriak agar Sabar menghentikan pekerjaannya itu.


Sabar tak peduli, dia sungguh tak sabar ingin mengetahui benda apa yang ada di dalam tempat air itu. Dan ketika tutup itu akhirnya terbuka, Sabar segera mengeluarkan isinya, suaranya bagaikan pasir dan kerikil yang dicurahkan. Sabar tercengang tak percaya, permata dan mutiara berkilauan beraneka cahaya terhampar di tangannya.


Dia teringat tentang khotbah Jumat yang pernah didengarnya bahwa amal wudu dan salat orang-orang beriman akan naik ke langit berupa cahaya- cahaya maha indah. Mungkinkah cahaya amal wudu dan salatnya telah berubah menjadi batu-batu bercahaya…?


GANDA PEKASIH

gandapekasih@yahoo.com

Menulis cerpen, novel, dan skenario. Bukunya yang best seller berjudul Cinta Wanita Berhati Cahaya. Saat ini tinggal di Jakarta.


Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/cerpen-puisi/batu-batu-bercahaya-3.html

Aku Menyerah pada Kelemahanku

cintaku kandas diterpa badai

sisakan puing-puing harapan

bergetar dalam labirin hatiku

semaikan benih-benih keikhlasan

mengakar di taman jiwaku


kini aku tahu

aku bukanlah pangeran untukmu

aku hanyalah hamba-Nya yang lemah

tak memiliki apapun kecuali segenggam harapan

yang kusimpan dalam ruang batinku


namun harapan itu telah sirna

terbawa angin kepastian

menumbuhkan keikhlasan yang telah mengakar

aku menyerah pada kelemahanku