Meski dokter memvonis penyakitnya tidak bisa disembuhkan, Gita Rusminda tidak putus asa. Gadis 26 tahun putri ekonom Dr Sjahrir itu tetap bersemangat melanjutkan hidup. Pekerjaan seberat apa pun dia lakoni. Dia juga berencana menikah dalam waktu dekat.
AGUS WIRAWAN, Jakarta
Ngobrol satu jam dengan Gita tidak terasa lama karena dia sangat ramah. Awalnya, Gita menyedot sebatang rokok putihan. Tapi, begitu tahu Jawa Pos tidak merokok, dia langsung mematikan rokoknya.
"Oke, no problem... lebih baik saya tidak merokok," katanya ketika Jawa Pos mempersilakan dia melanjutkan merokoknya.
Sayang, hari itu Gita hanya bisa menyediakan waktu satu jam untuk Jawa Pos. Sebab, dia harus bersiap-siap balik ke Singapura.
"Tiba di sana (Singapura), saya harus menyiapkan perjalanan ke negara lain. Ke Thailand dan Filipina," ujar gadis kelahiran Boston, Amerika Serikat, pada 5 Oktober 1981 itu.
Meski menderita still’s disease -sejenis penyakit rematik yang tergolong langka sejak empat tahun lalu- Gita tidak ingin memperlihatkannya kepada orang lain.
Tatkala berbincang dengan Jawa Pos, Gita mengungkapkan, sesungguhnya dirinya merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh. Tulang-tulangnya seperti patah. "Tapi, aku udah biasa menahan sakit ini," katanya, enteng.
Gita menceritakan, setiap hari, setelah terkena penyakit itu, dia berlatih menggerakkan anggota badannya. Upaya ini membuat kondisi tubuhnya semakin kuat. "Awalnya, saya latihan jalan di sekitar apartemen. Lama-lama meningkat mengitari blok. Tanpa saya duga, saya akhirnya mampu berlari," tuturnya. "Jadi, berlari sambil merasakan sakit," imbuhnya, tertawa lepas.
Dokter di Amerika terkejut ketika mengetahui perkembangan Gita. "Wow, tidak ada seorang pun yang seperti kamu. Sungguh ini suatu mukzijat," ujar gadis yang saat ini bekerja di kantor perwakilan AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) di Singapura tersebut, menirukan dokternya.
Menurut Gita, kemajuan yang dia peroleh menyangkut kondisi tubuhnya terjadi berkat semangat hidup. "Jika tidak memiliki semangat, seorang penderita still’s disease pasti akan malas-malasan bergerak melawan sakit di dalam tubuhnya," katanya.
Penyakit langka Gita itu membuat sel darah putihnya kehilangan kemampuan membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dengan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan mengakibatkan peradangan serta nyeri sendi.
Menyadari kondisi fisiknya yang semakin kuat, keinginan Gita berkembang. Dia tidak ingin hari-harinya habis di apartemennya di Andover, Amerika. Gita lantas berniat mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya. Selanjutnya, Gita melamar ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit listrik, yaitu AES. Singkat cerita, dia diterima karena telah memenuhi semua persyaratan.
AES lantas menugasi Gita ke kantor cabang di Singapura. Di sana, dia menangani pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif di wilayah Asia dan Timur Tengah. Tiba di Singapura 17 Agustus 2005, awalnya Gita diberi tugas di bagian business development. Dia harus menjelaskan kepada klien tentang potensi pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif, salah satunya geotermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi).
Meski pendidikannya ilmu politik, Gita mengaku tidak kesulitan menjalankan pekerjaan itu. Sebab, selama kuliah di Universitas Chicago, dia mengambil kurikulum tambahan untuk mempelajarai ilmu-ilmu lain. "Seperti ilmu pengetahuan alam, sosial, biologi, mereka mengajari aku apa aja. Jadi lebih fleksibel dan bisa melakukan pekerjaan apa pun. Pekerjaan harus dipelajari saat itu, bukan di sekolah," tambah gadis yang mengaku tidak suka difoto tersebut.
Semangat hidup kembali berkobar di hati Gita ketika memulai pekerjaan di Singapura. Dia tidak ingin menyerah, meski setiap hari, setiap menit, dan setiap detik seluruh bagian tubuhnya bagai ditusuk-tusuk. Dia merasakan nyeri dan linu yang luar biasa.
"Aku sampai nggak bisa mengatakan yang mana-mana. Pokoknya di seluruh tubuhku. Aku menjadi terbiasa dengan rasa sakit ini, so it’s okey, " ungkapnya cuek.
Bagaimana cara melawan rasa sakit itu? "Tak ada yang bisa mengalahkan rasa sakit kecuali rasa sakit itu dianggap tidak ada," jawabnya, tegas.
Etos kerja yang tinggi, ditambah semangat untuk hidup, membuat Gita seolah lupa memikirkan penyakitnya. Siang-malam dia bekerja, terkadang harus pulang pukul 2 pagi, lantas bangun jam 5 pagi, lari-lari di sekitar apartemen, kemudian baru berangkat kerja lagi. Begitulah kegiatannya setiap hari di Singapura. "Ya kalau ada pekerjaan yang mesti diselesaikan sekarang, maka harus selesai sekarang. Apalagi kalau ada deadline-nya," cetusnya.
Lantaran begitu asyik bekerja, Gita tidak menyadari bahwa tubuhnya butuh istirahat. Dia lupa ada penyakit ganas yang siap menyerang tubuhnya jika sedang capek. Beberapa kali, ketika sedang berada di kantor, Gita tiba-tiba merasakan rasa sakit itu dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Tahu-tahu saya sudah di rumah sakit. Kepala berdarah karena berbenturan dengan meja saat aku pingsan," ceritanya.
Tapi, kondisi itu tidak menyurutkan langkah Gita. Menurut dia, masih banyak yang bisa dilakukan dalam hidupnya dan dia tidak ingin berhenti begitu saja di tengah jalan. Dia bahkan sering merasa tertantang melakukan sesuatu pekerjaan yang menurut orang lain sulit dilakukan. "Kalau di kantor ada yang bilang itu sulit, aku justru berpikir, itu akan jadi tantangan menarik buat aku, Oh yeah.. aku bisa kok," lanjutnya.
Sifat ambisisus itulah yang menurut orang tuanya bisa membahayakan jiwa Gita. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan Gita agar mengurangi aktivitasnya. Namun, Gita tidak bisa seperti itu. Menurut dia, hidup harus terus berjalan. "Kita tidak bisa berhenti begitu saja. Tapi, sekarang aku lebih moderat, pulang sore nonton TV, malam hang out, ya patuh lah ama orang tua, " paparnya.
Meski begitu, setiap sore, Gita tetap tidak bisa diam. Beberapa kegiatan dia jalani. Setiap pulang kantor, dia ikut kursus bahasa Jerman, Jepang, dan menjalani hobinya berlari dan berdansa. "Aku bisa berlari sekarang. Desember tahun lalu aku ikutan kejuaraan maraton 21 kilometer di Singapura," lanjutnya.
Bagaimana soal pacar? Gita tidak langsung merespons pertanyaan itu. Tapi, dia mengaku bahwa saat ini sedang berpacaran dengan seorang pria asal Malaysia, namun mempunyai garis keturunan dari Jawa, Indonesia.
Bahkan, hubungan mereka sudah serius dan berencana menikah Agustus mendatang. Apakah sang pacar sudah mengetahui penyakit Gita? "Dia tahu. Dia bisa menerima karena ibunya meninggal setelah terkena penyakit lupus, yang gejalanya hampir mirip dengan penyakitku," katanya seraya merahasiakan nama sang pacar.
Soal penyakitnya, Gita sama sekali tidak takut memberitahukan ke pacarnya yang sama-sama bekerja di Singapura itu. Menurut dia, kejujuran di awal akan lebih baik daripada diketahui belakangan. Selain itu, dia juga mengaku bukan tipe wanita yang takut ditinggalkan oleh pria. "Aku bukan tipe wanita seperti itu, yang kalau ditinggalkan pacar, seperti mau mati. Kalau marah sama dia (pacarnya), aku nggak punya kekhawatiran dia lantas meninggalkan aku, lalu menikah dengan orang lain."
Yang penting, menurut Gita, hidupnya harus tetap berarti buat orang lain. Meskipun dokter sudah memberi tahu bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan, hanya dikurangi rasa sakitnya. Hidup harus terus berjalan meskipun beriring dengan rasa sakit. Gita bahkan berniat mengambil kuliah lanjutan (master) di Amerika Serikat. "Saya akan ambil MBA di University of Pennsylvania. Mungkin sebentar lagi," lanjutnya.
Mengenai hubungan dengan keluarga, dia mengatakan sangat sayang kepada dua orang tuanya. Namun, dia jarang pulang ke Indonesia. Sekitar tiga bulan sekali baru pulang. Itu pun hanya 3-4 hari di Jakarta. "Nggak tahu ya, mungkin karena saya sudah terbiasa hidup sendiri. Makanya, tidak terlalu kangen dengan orang tua. Tapi, kalau aku lagi ada masalah, pasti mereka datang," jelasnya. (bersambung/kum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar