Tampilkan postingan dengan label profile. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label profile. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 April 2008

Derita dan Perjuangan Putri Dr Sjahrir setelah Terkena Still's Disease yang Langka (3-Habis)

Terbiasa Mandiri, Tak Pernah Andalkan Nama Besar Ayah

Mengapa still’s disease tergolong penyakit yang sangat langka? Apa penyebabnya?
Benarkah penyakit itu lebih sering menyerang wanita?


AGUS WIRAWAN, Jakarta


Ketegaran Gita Rusminda dalam menghadapi penyakit yang langka dan dinyatakan tak bisa disembuhkan patut dijadikan contoh. Sejak dinyatakan sakit, dia tak pernah putus asa dan tak pernah menggantungkan hidup kepada orang lain, termasuk kedua orang tuanya.


"Aku sudah terbiasa mandiri sejak kecil," katanya, tegas, menjelang wawancara berakhir. Sebab, usai wawancara dengan Jawa Pos, Gita harus segera balik ke Singapura.


Jadwal Gita selama tiga hari di Jakarta memang sangat padat. Pada hari pertama dan kedua, dia harus menemui sejumlah pejabat di Indonesia terkait tugasnya sebagai general manager wilayah Asia dan Timur Tengah di AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) kantor perwakilan Singapura.


Sebuah prestasi yang tak bisa dianggap remeh, pada usia 26 tahun, Gita sudah berhasil menduduki jabatan bergengsi di perusahaan yang juga bergengsi.


Sebenarnya, bisa saja Gita mempermudah urusannya selama di Jakarta itu dengan mengandalkan nama besar ayahnya, Dr Sjahrir, ekonom yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang ekonomi.


Tapi, itu tidak dilakukan Gita. "Aku lebih banyak bergerak sendiri," katanya.


Gita menceritakan, ketika kebingungan mencari pekerjaan setelah lulus kuliah dari Jurusan Political Science, Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada 2004, dirinya tak mendapatkan bantuan sedikit pun dari sang ayah. "Ayah hanya berpesan, carilah pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu. Sebab, untuk hidup, kamu harus berusaha sendiri. Oh…thanks, Dad," papar Gita, menirukan nasihat ayahnya. Gita pun mencari pekerjaan sendiri.


Dan, saat ini Gita hidup mandiri di Singapura. Ketika tulisan ini diturunkan, dia sudah berada di Negeri Singa itu.


Dari Singapura kemarin, Gita menepis anggapan bahwa dirinya seorang perokok. Dia mengatakan sejak dulu tidak suka merokok. Tentang rokok yang ada di meja saat wawancara dengan Jawa Pos di Restoran Fountain Lounge, Hotel Grand Hyatt, di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Rabu lalu (23/4), Gita menduga rokok itu milik pengunjung lain yang datang sebelum dirinya. "Boleh tanya ayah- ibuku, deh," ujar wanita berambut sebahu itu karena sebelumnya Jawa Pos menduga rokok yang ada meja itu milik Gita.


Kamis sore lalu (24/4) Jawa Pos mendatangi rumah keluarga Sjahrir di Jl Sukabumi, sekitar 400 meter dari Masjid Sunda Kelapa, Menteng. Suasanan di rumah bercat putih itu sepi. Hanya ada seorang pembantu bernama Siti. "Bapak dan ibu sedang pergi," kata salah seorang penjaga rumah di pos penjagaan depan rumah Sjahrir.


Menurut informasi yang diterima Jawa Pos, Sjahrir sedang berada di Jambi. Hingga Jumat sore lalu (25/4) dia masih di sana. Ketika dikonfirmasi melalui SMS, Sjahrir mengatakan, selama ini Gita tidak pernah merokok. Dia menambahkan, Gita sangat menjaga kesehatan tubuh.


Lantas, apa sebenarnya still’s disease yang saat ini menyerang tubuh Gita? Menurut Dr Bimo Sasono SpOT FICS, penyakit yang diderita Gita awalnya adalah juvenile rheumatoid arthritis atau penyakit rematik pada anak-anak. Penyakit itu kemudian menyerang sistem kekebalan tubuh hingga menyebabkan kelainan.


"Rematik yang timbul awalnya hanya menyebabkan kelainan sendi," kata ahli bedah ortopedi di Orthopaedic Center Bawean Orthopaedic Spine, Surabaya, itu. "Namun, karena yang diserang sistem kekebalan tubuh, organ tubuh yang lain pun terkena imbasnya," lanjutnya.


Dalam sistem kekebalan tubuh, kata Bimo, terdapat antigen dan antibodi. Ketika keduanya diserang penyakit tersebut, terjadi gangguan di antara keduanya. "Akibatnya, persendian dan organ tubuh yang sehat diserang," ujarnya.


Pada penderita anak-anak, biasanya mereka cenderung berperawakan kurus dan pendek. Selain itu, terjadi pembengkakan di berbagai persendian. Misalnya, di persendian kaki, bahu, bahkan jari dan tangan. Hal itu menyebabkan persendian tak bisa bekerja sempurna. Akibatnya, penderita bisa sampai seperti lumpuh. "Mereka juga mengalami sakit pada sendi-sendi itu," katanya.


Semakin lama, lanjut Bimo, penyakit itu tidak hanya menyerang sendi, tapi juga organ vital yang lain. Termasuk jantung, paru-paru, ginjal, dan mata.


Apabila menyerang jantung, penyakit tersebut akan menyebabkan jantung bocor. Pada ginjal, penyakit itu bisa menyebabkan gagal ginjal. "Bahkan, kalau sudah sampai mata, bisa menyebabkan kebutaan," tuturnya.


Hal senada juga diungkapkan dr Yuliasih SpPD-KR. Menurut konsultan rematik di RS Husada Utama, Surabaya, itu, still’s disease adalah penyakit rematik yang terjadi pada anak-anak. "Penyakit yang disebut juga juvenile reumatoid artritis (JRA) tersebut merupakan penyakit genetik yang menyerang autoimun," ujarnya.


Penyakit itu ditandai panas badan tinggi hingga 40 derajat Celsius, nyeri, dan bengkak sendi. Selain itu, disertai dengan ruam atau bercak berwarna merah seperti daging ikan salmon. "Tapi, yang menjadi ciri khasnya adalah terjadi panas mendadak, kemudian langsung turun secara mendadak. Hal ini bisa terjadi dalam 24 jam," ujar Yuliasih. Saat panas turun, ruam tersebut akan hilang dengan sendirinya.


"Jika terjadi pada orang dewasa, (penyakit ini) disebut adult still’s disease. Begitu juga yang terjadi pada Gita," lanjutnya.


Karena penyakit genetik, gangguan tersebut sudah terjadi sejak lahir. Namun, itu baru bisa tampak ketika ada faktor pencetus. Ada beberapa faktor pencetus, antara lain, infeksi, stres, dan kelelahan fisik.


Jika faktor pencetus itu timbul pada usia tujuh tahun, misalnya, bisa saja still’s disease timbul pada usia itu. "Begitu juga, jika faktor pencetus timbul saat dewasa, penyakit tersebut juga timbul pada usia tersebut," kata Yuliasih.


Hingga kini, tingkat prevalensi still’s disease di Indonesia belum diketahui. Sebab, penyakit tersebut memang jarang ditemukan. Namun, untuk Amerika, prevalensinya bisa 6-8 per 100 ribu kelahiran.


Pada dasarnya, penyakit tersebut bisa dialami siapa saja. Namun, kata Yuliasih, penyakit itu lebih banyak diderita kaum wanita. "Hal ini disebabkan adanya faktor hormonal," ungkapnya.


Untuk benar-benar sembuh dari penyakit itu memang sulit. Apa yang bisa dilakukan sekarang ialah mengobati keluhan penyakit yang dirasakan. Itu dilakukan agar penderita bisa terus melakukan aktivitas sehari-hari.


Pengobatan still’s disease melalui pemberian obat oral. Namun, jika sudah berat (dikategorikan berat apabila penyakit sering kambuh dan sendi yang bengkak tidak kunjung sembuh), bisa diberikan terapi biologic agent. Yaitu, pemberian zat radang untuk menyembuhkan sendi yang bengkak. Biologic agent juga dilakukan untuk mengendalikan sel yang salah interpretasi.


Pengobatan tersebut bersifat meredakan gejala yang dialami. Bukan untuk menyembuhkan. Sebab, jika faktor pencetusnya timbul, penyakit itu akan kembali kambuh. "Intinya, pengendalian emosi, fisik, dan mental. Jika emosi terkontrol, tidak akan kambuh lagi. Hanya penderita sendiri yang bisa mengendalikan penyakitnya," ujar ibu satu putra itu. (aga/rth/kum)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10372

Jumat, 25 April 2008

Derita dan Perjuangan Putri Dr Sjahrir setelah Terkena Still’s Disease yang Langka (2)

Lupakan Rasa Sakit, Ikut Maraton 21 Kilometer
Meski dokter memvonis penyakitnya tidak bisa disembuhkan, Gita Rusminda tidak putus asa. Gadis 26 tahun putri ekonom Dr Sjahrir itu tetap bersemangat melanjutkan hidup. Pekerjaan seberat apa pun dia lakoni. Dia juga berencana menikah dalam waktu dekat.

AGUS WIRAWAN, Jakarta

Ngobrol satu jam dengan Gita tidak terasa lama karena dia sangat ramah. Awalnya, Gita menyedot sebatang rokok putihan. Tapi, begitu tahu Jawa Pos tidak merokok, dia langsung mematikan rokoknya.

"Oke, no problem... lebih baik saya tidak merokok," katanya ketika Jawa Pos mempersilakan dia melanjutkan merokoknya.

Sayang, hari itu Gita hanya bisa menyediakan waktu satu jam untuk Jawa Pos. Sebab, dia harus bersiap-siap balik ke Singapura.

"Tiba di sana (Singapura), saya harus menyiapkan perjalanan ke negara lain. Ke Thailand dan Filipina," ujar gadis kelahiran Boston, Amerika Serikat, pada 5 Oktober 1981 itu.

Meski menderita still’s disease -sejenis penyakit rematik yang tergolong langka sejak empat tahun lalu- Gita tidak ingin memperlihatkannya kepada orang lain.

Tatkala berbincang dengan Jawa Pos, Gita mengungkapkan, sesungguhnya dirinya merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh. Tulang-tulangnya seperti patah. "Tapi, aku udah biasa menahan sakit ini," katanya, enteng.

Gita menceritakan, setiap hari, setelah terkena penyakit itu, dia berlatih menggerakkan anggota badannya. Upaya ini membuat kondisi tubuhnya semakin kuat. "Awalnya, saya latihan jalan di sekitar apartemen. Lama-lama meningkat mengitari blok. Tanpa saya duga, saya akhirnya mampu berlari," tuturnya. "Jadi, berlari sambil merasakan sakit," imbuhnya, tertawa lepas.

Dokter di Amerika terkejut ketika mengetahui perkembangan Gita. "Wow, tidak ada seorang pun yang seperti kamu. Sungguh ini suatu mukzijat," ujar gadis yang saat ini bekerja di kantor perwakilan AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) di Singapura tersebut, menirukan dokternya.

Menurut Gita, kemajuan yang dia peroleh menyangkut kondisi tubuhnya terjadi berkat semangat hidup. "Jika tidak memiliki semangat, seorang penderita still’s disease pasti akan malas-malasan bergerak melawan sakit di dalam tubuhnya," katanya.

Penyakit langka Gita itu membuat sel darah putihnya kehilangan kemampuan membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dengan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan mengakibatkan peradangan serta nyeri sendi.

Menyadari kondisi fisiknya yang semakin kuat, keinginan Gita berkembang. Dia tidak ingin hari-harinya habis di apartemennya di Andover, Amerika. Gita lantas berniat mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya. Selanjutnya, Gita melamar ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit listrik, yaitu AES. Singkat cerita, dia diterima karena telah memenuhi semua persyaratan.

AES lantas menugasi Gita ke kantor cabang di Singapura. Di sana, dia menangani pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif di wilayah Asia dan Timur Tengah. Tiba di Singapura 17 Agustus 2005, awalnya Gita diberi tugas di bagian business development. Dia harus menjelaskan kepada klien tentang potensi pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif, salah satunya geotermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi).

Meski pendidikannya ilmu politik, Gita mengaku tidak kesulitan menjalankan pekerjaan itu. Sebab, selama kuliah di Universitas Chicago, dia mengambil kurikulum tambahan untuk mempelajarai ilmu-ilmu lain. "Seperti ilmu pengetahuan alam, sosial, biologi, mereka mengajari aku apa aja. Jadi lebih fleksibel dan bisa melakukan pekerjaan apa pun. Pekerjaan harus dipelajari saat itu, bukan di sekolah," tambah gadis yang mengaku tidak suka difoto tersebut.

Semangat hidup kembali berkobar di hati Gita ketika memulai pekerjaan di Singapura. Dia tidak ingin menyerah, meski setiap hari, setiap menit, dan setiap detik seluruh bagian tubuhnya bagai ditusuk-tusuk. Dia merasakan nyeri dan linu yang luar biasa.

"Aku sampai nggak bisa mengatakan yang mana-mana. Pokoknya di seluruh tubuhku. Aku menjadi terbiasa dengan rasa sakit ini, so it’s okey, " ungkapnya cuek.

Bagaimana cara melawan rasa sakit itu? "Tak ada yang bisa mengalahkan rasa sakit kecuali rasa sakit itu dianggap tidak ada," jawabnya, tegas.

Etos kerja yang tinggi, ditambah semangat untuk hidup, membuat Gita seolah lupa memikirkan penyakitnya. Siang-malam dia bekerja, terkadang harus pulang pukul 2 pagi, lantas bangun jam 5 pagi, lari-lari di sekitar apartemen, kemudian baru berangkat kerja lagi. Begitulah kegiatannya setiap hari di Singapura. "Ya kalau ada pekerjaan yang mesti diselesaikan sekarang, maka harus selesai sekarang. Apalagi kalau ada deadline-nya," cetusnya.

Lantaran begitu asyik bekerja, Gita tidak menyadari bahwa tubuhnya butuh istirahat. Dia lupa ada penyakit ganas yang siap menyerang tubuhnya jika sedang capek. Beberapa kali, ketika sedang berada di kantor, Gita tiba-tiba merasakan rasa sakit itu dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Tahu-tahu saya sudah di rumah sakit. Kepala berdarah karena berbenturan dengan meja saat aku pingsan," ceritanya.

Tapi, kondisi itu tidak menyurutkan langkah Gita. Menurut dia, masih banyak yang bisa dilakukan dalam hidupnya dan dia tidak ingin berhenti begitu saja di tengah jalan. Dia bahkan sering merasa tertantang melakukan sesuatu pekerjaan yang menurut orang lain sulit dilakukan. "Kalau di kantor ada yang bilang itu sulit, aku justru berpikir, itu akan jadi tantangan menarik buat aku, Oh yeah.. aku bisa kok," lanjutnya.

Sifat ambisisus itulah yang menurut orang tuanya bisa membahayakan jiwa Gita. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan Gita agar mengurangi aktivitasnya. Namun, Gita tidak bisa seperti itu. Menurut dia, hidup harus terus berjalan. "Kita tidak bisa berhenti begitu saja. Tapi, sekarang aku lebih moderat, pulang sore nonton TV, malam hang out, ya patuh lah ama orang tua, " paparnya.

Meski begitu, setiap sore, Gita tetap tidak bisa diam. Beberapa kegiatan dia jalani. Setiap pulang kantor, dia ikut kursus bahasa Jerman, Jepang, dan menjalani hobinya berlari dan berdansa. "Aku bisa berlari sekarang. Desember tahun lalu aku ikutan kejuaraan maraton 21 kilometer di Singapura," lanjutnya.

Bagaimana soal pacar? Gita tidak langsung merespons pertanyaan itu. Tapi, dia mengaku bahwa saat ini sedang berpacaran dengan seorang pria asal Malaysia, namun mempunyai garis keturunan dari Jawa, Indonesia.

Bahkan, hubungan mereka sudah serius dan berencana menikah Agustus mendatang. Apakah sang pacar sudah mengetahui penyakit Gita? "Dia tahu. Dia bisa menerima karena ibunya meninggal setelah terkena penyakit lupus, yang gejalanya hampir mirip dengan penyakitku," katanya seraya merahasiakan nama sang pacar.

Soal penyakitnya, Gita sama sekali tidak takut memberitahukan ke pacarnya yang sama-sama bekerja di Singapura itu. Menurut dia, kejujuran di awal akan lebih baik daripada diketahui belakangan. Selain itu, dia juga mengaku bukan tipe wanita yang takut ditinggalkan oleh pria. "Aku bukan tipe wanita seperti itu, yang kalau ditinggalkan pacar, seperti mau mati. Kalau marah sama dia (pacarnya), aku nggak punya kekhawatiran dia lantas meninggalkan aku, lalu menikah dengan orang lain."


Yang penting, menurut Gita, hidupnya harus tetap berarti buat orang lain. Meskipun dokter sudah memberi tahu bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan, hanya dikurangi rasa sakitnya. Hidup harus terus berjalan meskipun beriring dengan rasa sakit. Gita bahkan berniat mengambil kuliah lanjutan (master) di Amerika Serikat. "Saya akan ambil MBA di University of Pennsylvania. Mungkin sebentar lagi," lanjutnya.


Mengenai hubungan dengan keluarga, dia mengatakan sangat sayang kepada dua orang tuanya. Namun, dia jarang pulang ke Indonesia. Sekitar tiga bulan sekali baru pulang. Itu pun hanya 3-4 hari di Jakarta. "Nggak tahu ya, mungkin karena saya sudah terbiasa hidup sendiri. Makanya, tidak terlalu kangen dengan orang tua. Tapi, kalau aku lagi ada masalah, pasti mereka datang," jelasnya. (bersambung/kum)


Sumber:http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10367

Gita Rusminda, Putri Dr Syahrir yang Tetap Tegar meski Sakit Setiap Hari di Sekujur Tubuh

Saya Merasa Berjalan dengan Tulang Patah
Umur Gita Rusminda masih muda, baru 26 tahun. Tapi, putri bungsu Dr Syahrir, ekonom yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ini terkena penyakit langka. Setiap hari, dia merasa tulang-tulangnya nyeri, bahkan seperti mau patah. Meski demikian, penyakit itu tidak membuat dirinya menyerah untuk terus berkarir di level internasional.

AGUS WIRAWAN, Jakarta

Dia cantik. Dia juga cerdas. Gaya bicaranya lugas. Penampilannya pun modis. Wanita itu adalah Gita, putri bungsu di antara dua bersaudara pasangan Syahrir-Kartini Panjaitan.

Kemarin pagi sekitar pukul 09.30, Jawa Pos menemui dia di restoran Fountain Lounge, Hotel Grand Hyatt, di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat. Sebenarnya, ingin sekali wawancara dilakukan di rumah orang tuanya, di Jl Teuku Cik Di Tiro, Jakarta. Tapi, permintaan itu dia tolak secara halus. Dia lebih suka ditemui di luar rumah orang tuanya.

Pagi itu, ketika Jawa Pos baru tiba, Gita sudah duduk menunggu. Di mejanya tersaji secangkir kopi panas. Dia memegang sebatang rokok di tangan kanannya.

Wajahnya terlihat segar dengan memakai setelan blus dan rok hitam, dipadu syal melingkar di leher.

Sebelum memulai pembicaraan, Gita terlebih dahulu meminta maaf jika lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Sejak lahir, dia memang hidup di Amerika Serikat, ikut ayahnya yang menempuh pendidikan di negeri Paman Sam itu.

"Saya sebenarnya sedang sakit. Sekujur tubuh ini sakit luar biasa," katanya. Ketika dia berkata seperti itu, Jawa Pos awalnya tidak percaya. Sebab, dia tidak terlihat merintih. Wajahnya pun tidak mencerminkan sedang meringis kesakitan. Bahkan, ketika mengambil minuman, gadis 26 tahun itu berjalan cepat. "Saya sudah terbiasa menahan sakit seperti ini…," ujarnya.

Kemarin adalah hari terakhir Gita berada di Jakarta. Dia saat ini bekerja di kantor perwakilan AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) di Singapura. Sudah tiga hari Gita berada di Jakarta untuk urusan pekerjaannya.

Hari pertama dan kedua, menurut Gita, dirinya sangat sibuk karena harus bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah dan pengusaha di Indonesia. Dalam pertemuan itu, dia mempresentasikan potensi pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal di Indonesia.

Wanita kelahiran Boston 5 Oktober 1981 itu saat ini menjabat regional manager AES untuk wilayah Asia dan Timur Tengah. Terkait dengan tugasnya itu, dia lebih banyak melakukan perjalanan ke beberapa negara. "Aku sudah di Amerika sejak lahir," ujarnya, memulai bercerita.

Saat kecil, Gita bersekolah di Cambridge Massachusetts. Dia pernah ikut pulang ke Indonesia bersama sang ayah selama tiga tahun. Ketika itu, dia bersekolah di SMP Tarakanita, Jakarta. Menjelang naik kelas III SMP, Gita kembali melanjutkan sekolah ke Amerika. Di sana, dia masuk preparatory school selama empat tahun hingga lulus high school (SMA).

Ketika kembali ke Amerika itu, Gita menyewa apartemen kecil di Andover. "Sejak itu, aku harus tinggal sendirian," ceritanya.

Seperti halnya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika, Gita juga melakukan pekerjaan sampingan (part time) untuk menambah uang makan. Beberapa pekerjaan pernah dia jalani, antara lain, menjadi asisten profesor hingga menjadi baby sitter. "Aku harus punya extra money (uang tambahan). Orang tuaku selalu bilang, kalau kamu pingin senang-senang, gunakan uangmu sendiri," tuturnya.

Lulus high school, Gita melanjutkan kuliah di Universitas Chicago. Jurusannya Political Science dan lulus pada awal 2004. Namun, tiga bulan setelah kelulusannya itu, petaka datang. Saat itu, ketika bangun tidur, Gita tiba-tiba tidak bisa menggerakkan anggota badannya. Setiap kali ingin bergerak, dia merasakan sakit yang luar biasa. Ketika dia paksakan untuk bergerak, dia pun pingsan. "Aku nggak tahu. Katanya, saat itu pingsan sehari. Rasanya sakit sekali. Tubuhku demam sampai 104 Fahrenheit. Paru-paruku juga gagal. Ketika sadar, aku sudah di rumah sakit dengan beberapa tabung oksigen di sekelilingku," paparnya.

Selama dua bulan di RS, dokter yang merawat tak tahu penyakit Gita. "Menurutku, saat itu mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku. Karena penyakitnya memang langka, tidak semua orang tahu. Di Amerika atau Singapura saja, mungkin cuma segelintir orang yang kena," tuturnya.

Gita menduga, mungkin di Indonesia ada juga beberapa orang yang terkena penyakit yang diketahui bernama Still’s Disease itu.

Dalam diagnosis dokter, kata Gita, sel-sel darah putihnya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan menyebabkan peradangan serta nyeri sendi.

Ketika dirawat di RS selama dua bulan itu, pada satu bulan pertama, Gita sengaja tak memberi tahu kedua orang tuanya di Jakarta. Dia tidak ingin ayah dan ibunya khawatir terhadap kondisi yang dialaminya. "Saat itu aku berpikir, biarlah kutanggung sendiri."

Tapi, setelah dipikir-pikir, Gita merasa harus lapor ke orang tuanya. Apalagi, saat itu dokter memperkirakan Gita bakal lumpuh dan umurnya tak akan panjang. "Khawatir terjadi apa-apa denganku, akhirnya kuberi tahu ayah dan ibu."

Begitu mendapat kabar, Syahrir dan istrinya langsung ke Amerika. "Mereka sangat marah karena aku tidak terbuka. Tapi setelah tahu penyakitku, mereka tidak lagi marah, tapi bilang kamu pasti sembuh," lanjutnya.

Hampir tiga bulan, Gita tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya di rumah sakit tersebut. Kehidupannya sangat tergantung orang lain. Bahkan, untuk mandi sekalipun, dia harus meminta tolong seseorang. Berbagai pengobatan dia jalani. "Obat-obatnya sih sama dengan obat penyakit Lupus, cuma ini lebih berat. Karena kalau capek, aku langsung pingsan," tambahnya.

Setelah masa tiga bulan lewat, Gita mulai belajar berjalan. Meski tulang-tulangnya terasa remuk, Gita bertekad kuat untuk bisa kembali berjalan seperti semula. Saat itu, untuk berjalan dalam jarak lima meter saja, Gita harus melakukannya dalam lima menit. Sangat pelan. "Rasanya seperti berjalan dengan seluruh tulang yang sudah patah. Sungguh sangat menyakitkan, tapi saya harus tetap berusaha," ucapnya, tegar.

Akhirnya, Gita baru bisa berjalan tegap pada bulan kedelapan. Sejak saat itu, dia tinggal di apartemennya untuk memulihkan kesehatannya. Dokter menyarankan agar Gita tidak bekerja dulu agar cepat pulih. Sejak saat itu pekerjaan Gita hanya membaca dan menonton TV untuk mengusir kebosanan. Namun, dia merasa tidak betah hidup seperti itu terus-menerus. "Aku sebenarnya nggak kuat kalau hanya diam seperti itu," tuturnya.

Meski telah menjalani pengobatan hampir setahun, penyakit Gita tidak lantas hilang. Rasa sakit seperti rematik di persendiannya itu berlangsung setiap hari, hingga saat ini. Tapi, Gita harus mengabaikan rasa sakit itu karena tidak ingin dikasihani orang lain. "Kalau Anda pernah patah tulang, seperti itulah rasanya setiap hari. Kalau rating sakitnya 10, mungkin di hari biasa skornya cuma 3-4 saja. Kalau 10, aku langsung masuk rumah sakit. Setiap hari seperti itu, sekarang juga," jelasnya.(bersambung)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10362