Jumat, 25 April 2008

Gita Rusminda, Putri Dr Syahrir yang Tetap Tegar meski Sakit Setiap Hari di Sekujur Tubuh

Saya Merasa Berjalan dengan Tulang Patah
Umur Gita Rusminda masih muda, baru 26 tahun. Tapi, putri bungsu Dr Syahrir, ekonom yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ini terkena penyakit langka. Setiap hari, dia merasa tulang-tulangnya nyeri, bahkan seperti mau patah. Meski demikian, penyakit itu tidak membuat dirinya menyerah untuk terus berkarir di level internasional.

AGUS WIRAWAN, Jakarta

Dia cantik. Dia juga cerdas. Gaya bicaranya lugas. Penampilannya pun modis. Wanita itu adalah Gita, putri bungsu di antara dua bersaudara pasangan Syahrir-Kartini Panjaitan.

Kemarin pagi sekitar pukul 09.30, Jawa Pos menemui dia di restoran Fountain Lounge, Hotel Grand Hyatt, di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat. Sebenarnya, ingin sekali wawancara dilakukan di rumah orang tuanya, di Jl Teuku Cik Di Tiro, Jakarta. Tapi, permintaan itu dia tolak secara halus. Dia lebih suka ditemui di luar rumah orang tuanya.

Pagi itu, ketika Jawa Pos baru tiba, Gita sudah duduk menunggu. Di mejanya tersaji secangkir kopi panas. Dia memegang sebatang rokok di tangan kanannya.

Wajahnya terlihat segar dengan memakai setelan blus dan rok hitam, dipadu syal melingkar di leher.

Sebelum memulai pembicaraan, Gita terlebih dahulu meminta maaf jika lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Sejak lahir, dia memang hidup di Amerika Serikat, ikut ayahnya yang menempuh pendidikan di negeri Paman Sam itu.

"Saya sebenarnya sedang sakit. Sekujur tubuh ini sakit luar biasa," katanya. Ketika dia berkata seperti itu, Jawa Pos awalnya tidak percaya. Sebab, dia tidak terlihat merintih. Wajahnya pun tidak mencerminkan sedang meringis kesakitan. Bahkan, ketika mengambil minuman, gadis 26 tahun itu berjalan cepat. "Saya sudah terbiasa menahan sakit seperti ini…," ujarnya.

Kemarin adalah hari terakhir Gita berada di Jakarta. Dia saat ini bekerja di kantor perwakilan AES (Alternative Energy Source, sebuah perusahaan pembangkit listrik tenaga alternatif dari Amerika) di Singapura. Sudah tiga hari Gita berada di Jakarta untuk urusan pekerjaannya.

Hari pertama dan kedua, menurut Gita, dirinya sangat sibuk karena harus bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah dan pengusaha di Indonesia. Dalam pertemuan itu, dia mempresentasikan potensi pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal di Indonesia.

Wanita kelahiran Boston 5 Oktober 1981 itu saat ini menjabat regional manager AES untuk wilayah Asia dan Timur Tengah. Terkait dengan tugasnya itu, dia lebih banyak melakukan perjalanan ke beberapa negara. "Aku sudah di Amerika sejak lahir," ujarnya, memulai bercerita.

Saat kecil, Gita bersekolah di Cambridge Massachusetts. Dia pernah ikut pulang ke Indonesia bersama sang ayah selama tiga tahun. Ketika itu, dia bersekolah di SMP Tarakanita, Jakarta. Menjelang naik kelas III SMP, Gita kembali melanjutkan sekolah ke Amerika. Di sana, dia masuk preparatory school selama empat tahun hingga lulus high school (SMA).

Ketika kembali ke Amerika itu, Gita menyewa apartemen kecil di Andover. "Sejak itu, aku harus tinggal sendirian," ceritanya.

Seperti halnya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika, Gita juga melakukan pekerjaan sampingan (part time) untuk menambah uang makan. Beberapa pekerjaan pernah dia jalani, antara lain, menjadi asisten profesor hingga menjadi baby sitter. "Aku harus punya extra money (uang tambahan). Orang tuaku selalu bilang, kalau kamu pingin senang-senang, gunakan uangmu sendiri," tuturnya.

Lulus high school, Gita melanjutkan kuliah di Universitas Chicago. Jurusannya Political Science dan lulus pada awal 2004. Namun, tiga bulan setelah kelulusannya itu, petaka datang. Saat itu, ketika bangun tidur, Gita tiba-tiba tidak bisa menggerakkan anggota badannya. Setiap kali ingin bergerak, dia merasakan sakit yang luar biasa. Ketika dia paksakan untuk bergerak, dia pun pingsan. "Aku nggak tahu. Katanya, saat itu pingsan sehari. Rasanya sakit sekali. Tubuhku demam sampai 104 Fahrenheit. Paru-paruku juga gagal. Ketika sadar, aku sudah di rumah sakit dengan beberapa tabung oksigen di sekelilingku," paparnya.

Selama dua bulan di RS, dokter yang merawat tak tahu penyakit Gita. "Menurutku, saat itu mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku. Karena penyakitnya memang langka, tidak semua orang tahu. Di Amerika atau Singapura saja, mungkin cuma segelintir orang yang kena," tuturnya.

Gita menduga, mungkin di Indonesia ada juga beberapa orang yang terkena penyakit yang diketahui bernama Still’s Disease itu.

Dalam diagnosis dokter, kata Gita, sel-sel darah putihnya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justru menyerang jaringan tubuh yang sehat dan menyebabkan peradangan serta nyeri sendi.

Ketika dirawat di RS selama dua bulan itu, pada satu bulan pertama, Gita sengaja tak memberi tahu kedua orang tuanya di Jakarta. Dia tidak ingin ayah dan ibunya khawatir terhadap kondisi yang dialaminya. "Saat itu aku berpikir, biarlah kutanggung sendiri."

Tapi, setelah dipikir-pikir, Gita merasa harus lapor ke orang tuanya. Apalagi, saat itu dokter memperkirakan Gita bakal lumpuh dan umurnya tak akan panjang. "Khawatir terjadi apa-apa denganku, akhirnya kuberi tahu ayah dan ibu."

Begitu mendapat kabar, Syahrir dan istrinya langsung ke Amerika. "Mereka sangat marah karena aku tidak terbuka. Tapi setelah tahu penyakitku, mereka tidak lagi marah, tapi bilang kamu pasti sembuh," lanjutnya.

Hampir tiga bulan, Gita tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya di rumah sakit tersebut. Kehidupannya sangat tergantung orang lain. Bahkan, untuk mandi sekalipun, dia harus meminta tolong seseorang. Berbagai pengobatan dia jalani. "Obat-obatnya sih sama dengan obat penyakit Lupus, cuma ini lebih berat. Karena kalau capek, aku langsung pingsan," tambahnya.

Setelah masa tiga bulan lewat, Gita mulai belajar berjalan. Meski tulang-tulangnya terasa remuk, Gita bertekad kuat untuk bisa kembali berjalan seperti semula. Saat itu, untuk berjalan dalam jarak lima meter saja, Gita harus melakukannya dalam lima menit. Sangat pelan. "Rasanya seperti berjalan dengan seluruh tulang yang sudah patah. Sungguh sangat menyakitkan, tapi saya harus tetap berusaha," ucapnya, tegar.

Akhirnya, Gita baru bisa berjalan tegap pada bulan kedelapan. Sejak saat itu, dia tinggal di apartemennya untuk memulihkan kesehatannya. Dokter menyarankan agar Gita tidak bekerja dulu agar cepat pulih. Sejak saat itu pekerjaan Gita hanya membaca dan menonton TV untuk mengusir kebosanan. Namun, dia merasa tidak betah hidup seperti itu terus-menerus. "Aku sebenarnya nggak kuat kalau hanya diam seperti itu," tuturnya.

Meski telah menjalani pengobatan hampir setahun, penyakit Gita tidak lantas hilang. Rasa sakit seperti rematik di persendiannya itu berlangsung setiap hari, hingga saat ini. Tapi, Gita harus mengabaikan rasa sakit itu karena tidak ingin dikasihani orang lain. "Kalau Anda pernah patah tulang, seperti itulah rasanya setiap hari. Kalau rating sakitnya 10, mungkin di hari biasa skornya cuma 3-4 saja. Kalau 10, aku langsung masuk rumah sakit. Setiap hari seperti itu, sekarang juga," jelasnya.(bersambung)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10362

Tidak ada komentar:

Posting Komentar