Senin, 14 April 2008

Pilihan Solusi dengan Euthanasia



Langit masih pekat... Kala senja yang memerah terengah menyongsong pungkasan hari. Mega berarak menghias bias-bias langit Jogja. Daun-daun akasia jatuh kering bertebaran ke sana kemari terbelai semilir angin yang mengoyak hampa. Gugur dan tersapu begitu saja.


Suatu senja yang syahdu, terdengar lantunan murottal masjid seberang melafadzkan kalimatullah. Hhh… Ada teduh yang menyeruak ke permukaan hati kala ayat-ayat itu diperdengarkan. Ada kerinduan yang membuncah mengelana di ruang-ruang jiwa yang selama ini mati.


Rey tercenung beberapa jenak. Ditatapnya lekat sepasang mata indah di hadapannya. Ingin dia menyelami lebih jauh mata yang kian layu itu. Ingin berbaur dengan buliran-buliran air yang kadang menggenang di pelupuk mata itu. Mata itu kini menggariskan seulas senyum lewat kerlingnya.


Angin sore masih berembus, menyibak derai-derai rambut Asa yang kian menipis. Asa yang kadang harus menangis sebelum menjalani kemoterapinya. Dia tak berani membayangkan rambut-rambutnya rontok dan lama-kelamaan habis. Kini rambut hitam panjangnya memang mulai rontok.


"Euthanasia," gumam Asa tiba-tiba. Hati Rey sedikit bergetar mendengar kata itu. Kata yang benar-benar mengusik malam-malam Rey dua tahun lalu. "Kau tak sedang berpikir melakukannya, kan?" tanya Rey sambil menutupi cemasnya.


"Kau takut aku akan meninggalkanmu?" Rey mengangguk. Asa tersenyum puas mendapati jawaban Rey. "Kematianku sudah diatur, kenapa aku nekat mendahului kehendak-Nya dengan merencanakan kematianku sendiri?" tanya Asa pada dirinya, mengingat betapa gigihnya dia dulu meminta euthanasia. Dia tersenyum getir membayangkan Izrail mencabut nyawanya. "Sekarang, aku tak takut mati karena aku telah menemukanmu. Lebih hebatnya, aku telah menemukan Yang Memberiku Hidup, Yang Memberiku Penyakit," ujarnya.


Rey tersenyum kaku. Ada haru yang memenuhi rongga jiwanya. Jika tak takut melihat Asa sedih, dia pasti telah menangis. Dia membayangkan jika euthanasia itu benar-benar terjadi.



Dua tahun lalu.

Kampus itu telah sepi. Hanya segelintir aktivis kampus terlihat sibuk. "Euthanasia?" Rey terbelalak.


"Ya, kau mahasiswa kedokteran pasti tahu tentang hal itu."

"Kau tidak berniat melakukannya, kan ?"

"Kau tahu, aku lelah dengan hidupku. Terlebih, saat aku mendapati kenyataan bahwa penyakit ganas sedang menggerogoti tubuhku."


"Tapi, kita sedang berjuang mengupayakan kesembuhanmu. Kau harus optimistis. Asa, ayahku akan membawamu ke Singapura!"

"Tapi, aku telah mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Mungkin penyakit inilah yang akan membawaku pada kematian hingga aku benar-benar berpisah dengan kehidupan yang melelahkan ini. Tapi, aku juga tidak sanggup terlalu lama merasakan sakitnya. Euthanasialah jalan keluarnya."


"Dari mana kau dapat pikiran seperti itu? Benar-benar gila! Jelas-jelas itu bertentangan dengan agama. Negara pun tidak mengizinkan euthanasia. Itu sama saja dengan bunuh diri. Tolong lupakan rencanamu itu." Rey mencoba meyakinkan Asa.


"Aku hanya ingin mengakhiri penderitaanku dengan tenang, tanpa kurasakan lagi sakit seperti ini."

"Asa, di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita. Kau harus bersyukur dengan keadaanmu sekarang."


"Sudahlah, Rey. Aku yang menjalani hidupku dan aku yang merasakan sakitku. Kenapa kamu harus ikut campur?" Asa beranjak dari duduknya. Rey meraih tangannya.

"Kau harus janji tidak akan membicarakan masalah ini lagi. Aku nggak akan membiarkanmu seperti ini lagi."


"Kau tak berhak, Rey. Akulah yang memegang kemudi hidupku. Jika aku lelah dan merasa nggak sanggup lagi, apa aku harus bertahan?"

"Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu, Asa. Betapa mudahnya kamu mengambil keputusan konyol itu."


"Tapi, itu juga demi kemanusiaan, Rey. Aku harus melakukannya, dengan atau tanpa izinmu!" Rey tertunduk lesu, tak habis pikir dengan apa yang baru saja dikatakan Asa. Euthanasia, suntik mati! Ah, dia memang benar-benar sakit! Mungkin penyakitnya sudah sampai ke saraf dan meracuni otaknya.


Asa meninggalkan ruang praktikum itu dengan segenap kecewa. Ya, dia tahu Rey pasti tak setuju dengan idenya. Yang dia sesalkan, kedatangannya ternyata sia-sia. Dia tak berhasil mengorek info tentang euthanasia. Padahal, dia berharap Rey yang sebentar lagi menamatkan pendidikan dokternya itu akan memberinya gambaran mengenai euthanasia.


Masalah Rey setuju atau tidak, dia tak peduli. Rey tak punya andil dalam hidup Asa. Rey yang dengan mudahnya memberikan semangat-semangat hidup tak pernah merasakan sakit dan penderitaannya. Seakan-akan, hidup yang dilaluinya begitu mudah. Asa tersenyum dalam bekunya, mencibir Rey dengan segala ucapan-ucapan klisenya.


Masih di kampus itu, pergelaran teater baru saja usai. Asa dan Rey menyusuri malam di jalan-jalan Jogja. Sebenarnya, Rey tak enak jika harus berjalan dengan gadis itu. Tapi, tentu dia tak tega membiarkannya pulang sendirian.


"Selamat, pertunjukan yang menarik. Kau berbakat menjadi sutradara," ucap Rey membuka pembicaraan.

"Hanya sebuah seni yang kudedikasikan untuk hidupku."

"Juga untuk orang-orang di sekelilingmu."

"Tidak. Seni untuk semua kebohongan dan dusta."

"Egois."

"Apa kau pikir kedua tangan ayahmu, dokter terkenal itu, mampu menyembuhkan kanker otakku?"


"Jika Allah menghendaki, tidak ada yang mustahil dalam hidupmu." Rey menghentikan langkah, menatap Asa.

"Tapi, Dia memang menghendakiku mati karena penyakit ini. Aku memilih mati daripada menderita seperti ini."


"Kau pintar, Asa. Tapi sayang, kau tak punya mata hati. Padahal, mata hati itulah yang akan menuntun langkahmu dalam keadaan apa pun. Saat di ambang maut pun."

"Apa maksudmu aku tak punya mata hati?" Langkah Asa kini terhenti. Menatap Rey dengan penuh tanya.


"Hidup ini indah, Asa, jika kamu mau membuka mata hatimu. Ada banyak hal yang nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kebahagiaan, kenyamanan, dan cinta."

"Siapa bilang aku tak punya mata hati? Di hidupku, ada seni dan sastra yang kujiwai dengan hati. Tapi, sebentar lagi kanker otak akan merenggutnya. Perlahan, otakku tak akan lagi mampu menuruti jiwaku. Aku nggak akan bisa menulis puisi lagi, script-script teater. Aku akan kehilangan jiwaku. Lalu, apa artinya hidup?"


"Tanya pada diri kamu, apa yang paling kau rindukan saat ini? Terlalu lama kau lupakan Dia, yang memberimu hidup, yang memberimu penyakit. Dia yang memberimu limpahan harta yang kau hamburkan setiap malam di klub-klub laknat itu. Kini, Dia menegurmu. Dia tak mau kau lebih lama mengonsumsi hidup yang terdengar manis itu. Sekarang, apa kau ingin menghabisi waktu yang tersisa sedemikian singkat ini? Asa, euthanasia bukan jalan keluar. Ia akan makin menambah dosamu," kata Rey panjang lebar.


***


Asa menerawang langit yang bertabur bintang gemintang. Air matanya tiba-tiba meleleh. Separo hatinya beterbangan ke masa-masa sebelum dia divonis kanker otak stadium lanjut. Klub malam, alkohol, dugem, sex, dan pil-pil itu. Hatinya nanar mengingat masa lalunya sendiri. Sementara, hati yang lainnya larut dalam hamparan langit malam yang seakan tak mampu lagi menampung dosanya. Teringat ujar guru mengajinya dulu di TPA semasa kecil, tentang surga dan neraka. Jika mati, akankah dia menderita lagi di neraka? Sedangkan dia sudah merasa tak kuat dengan penderitaanya di dunia?

Ya, dia harus berubah.


***


Waktu kian menari di tepian hari. Saat hidup adalah kenyataan terindah yang terpupuh sempurna di bait-bait syair kuasa-Nya. Saat raga dan hati adalah lakon yang pasti akan tersenyum penuh kemenangan.


Asa itu cerah lagi, tak jadi meredup seiring senja yang membayang. Sinar-sinar itu membias di antara mentari yang setia terbit. Mata hatinya mencoba membaca setiap isyarat Rabb-nya.


"Tak ada yang tahu skenario indah-Nya. Kaulah klimaks dari segala pencarianku. Aku ingin menggenapkan separo dien-ku dengan melewatkan sisa umurmu denganku," ujar Rey kala itu, setelah acara wisuda berakhir. Asa merasa tak pantas mendapatkan lelaki seindah Rey.


***


Azan magrib membuyarkan kisah dua tahun silam. Kini, dinikmatinya senyum Asa yang terpagut di hadapannya. Rasanya bagi Rey, tidak ada lagi kebahagiaan selain melihat Asa tersenyum. Senyum di senja itu akhirnya menutup kisah hidup Asa. Dia telah mengembuskan napas untuk terakhir kalinya.
(Sekarwidya Prabanastiti)

Penulis adalah pelajar SMAN 1 Magetan.


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=336088

Sepasang Mata Indah


"Hei, lihat deh, cewek bule itu. Cantik ya?"

"Tapi, matanya kok nggak cokelat, biru, atau hijau ya? Lihat, orang tuanya aja warna matanya biru,"

"Bukan anak kandung kali,"


Seribu satu bisikan selalu didengar oleh Shasa dari mulut-mulut usil. Shasa adalah putri dari pasangan berdarah Barat yang tinggal di Indonesia. Shasa terlahir dengan kesempurnaan. Hanya dua hal yang selalu membuat mahasiswi berparas cantik dan berotak encer itu kosong dan aneh. Tidak ada cinta dalam keluarganya. Ditambah lagi, bisikan nakal dari mulut orang-orang usil tentang matanya.


Aku anak siapa? Kenapa mataku tak sama dengan mama dan papa? Enak saja mulut-mulut sial itu berkata kalau aku bukan anak kandung! Mereka pikir aku tidak tahu apa yang mereka katakan? Aku tahu! Aku bingung, apakah selama ini aku terlalu bodoh sehingga tak menyadari hal ini...


Shasa menangis sambil menorehkan isi hatinya ke dalam diary. Tak pernah sekali pun Shasa sesedih ini saat mendengar bisikan usil itu. Apa salahnya mata hitam? Toh, hitam juga warna mutiara dan itu indah.


Itulah yang selama ini Shasa pikirkan. Tapi kali ini, semuanya sungguh berbeda. Kata-kata tersebut tak mampu membendung amarah dan kesedihannya. Satu kalimat yang baru saja dia dengar tadi benar-benar membuatnya merasa bodoh.


***


Esoknya, Shasa bertekad menemukan jawaban atas segala kegalauan. Pagi ini juga, dia akan bertanya langsung kepada orang tuanya. Sayang, melihat sikap kedua orang tuanya yang selalu dingin setiap hari, Shasa memilih mengurungkan niat. Mungkin lebih baik tutup mulut daripada harus berhadapan dengan tatapan dingin mereka.


Tempat parkir mobil di kampus Shasa tampak berbeda pagi ini. Ada sedan merah mencolok yang menempati salah satu lahan kosong di sana. Punya siapa itu? Tanya Shasa dalam hati. Dia memang baru sebulan kuliah di kampus tersebut. Tapi, kalau untuk urusan mobil apa saja yang biasa parkir di parkiran itu, dia jelas hafal. Belum pernah Shasa melihat sedan merah tersebut.


"Eh, katanya ada mahasiswa baru ya?"
"Beritanya sih gitu. Oya, katanya lagi, mahasiswa baru itu bule lho! Pasti cakep, apalagi kalau matanya biru," Shasa mendengar dua orang mahasiswi berbisik-bisik di belakangnya. Shasa teringat sedan merah itu. "Mungkin mobil tersebut milik mahasiswa baru," batin Shasa. Saat teringat percakapan dua orang tadi tentang mata biru, kesedihan Shasa kembali terbayang.


***


Jam empat sore. Kuliah hari ini baru saja selesai. Ketika hendak mengeluarkan mobil, Shasa melihat sosok bule berjalan menuju sedan merah itu. Benar kata mereka, dia punya mata biru. Shasa benar-benar terkesima melihat mata mahasiswa baru tersebut. Mata mahasiswa itu memancarkan sesuatu bagi Shasa. Sesuatu yang tidak pernah terpancar dari mata kedua orang tuanya. Mungkin cinta. Selama ini, Shasa sama sekali belum merasakan apa itu cinta.


Sampai di rumah, perasaan berbunga-bunga Shasa hilang ketika melihat mamanya menangis tersedu-sedu sambil memeluk foto seseorang. Papanya hanya menenggak tequila di sudut ruangan.


Shasa mendekati mama dan berusaha memeluknya. Bukan pelukan balasan yang dia terima, mama Shasa malah membentak-bentak Shasa. "Pergi kau pembawa petaka!" bentak sang Mama sambil mendorong Shasa hingga tersungkur ke lantai. Karena terlalu takut akan sikap sang Mama, Shasa berlari ke kamar tanpa menghiraukan buku-bukunya yang jatuh berserakan di ruang tengah.


Di dalam kamar, Shasa kembali menangis. Dia bingung tentang apa yang sedang terjadi. Esoknya, Shasa memutuskan tidak sarapan. Dia pergi kuliah begitu saja tanpa berbicara apa pun kepada orang tuanya.


"Tunggu!" ujar mama Shasa, mencegah Shasa yang hendak meninggalkan ruang makan. "Semalam mama baca diary-mu. Sepertinya, kamu memang sudah harus tahu," nada bicara mama Shasa terdengar dingin dan pilu. "Kau memang bukan anakku. Kau pembawa petaka! Kau yang membuat Anyta kecilku meninggal!" mama Shasa mulai menangis setelah mengatakan itu.


Lutut Shasa terasa sangat lemas mendengar ucapan Mama. Shasa terpukul dengan kejadian itu. Selama di kampus, pikirannya tidak konsentrasi. Dia bahkan menabrak seseorang saat keluar kelas. "Sorry, aku nggak lihat kamu di situ. Aku John, kamu?" kata orang yang baru saja menabrak Shasa sambil menjulurkan tangan.


Astaga! Ini kan mahasiswa baru yang bermata biru itu! Hati Shasa berdegup keras saat hendak menjabat tangan John. "Mm... nggak apa-apa kok, aku juga nggak lihat kamu. Aku Shasa," ujarnya.


Suatu awal yang bagus. Selama ini, Shasa tidak punya teman untuk menemani minum kopi, bercanda, dan sharing. John merupakan orang yang tepat untuk memenuhi kekosongan jiwa Shasa. Perlahan-lahan, Shasa mampu melupakan kebingungan tentang dirinya, orang tua, dan Anyta. Apa pun hubungan mereka, Shasa tak peduli.


Sayang, kebahagiaan Shasa harus dibayar mahal. Suatu hari, John pingsan. Keluarga John bercerita kepada Shasa bahwa John sudah lama mengidap leukemia. Sekarang, dia koma. Shasa shock. Orang yang mampu membuat hidupnya berarti itu kini tergeletak lemas di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan S

Perjalanan Penuh Liku Dede Yusuf Menuju Kursi Wagub Jawa Barat

Untuk Biaya Kampanye, Gadaikan Vila di Puncak

Perjalanan aktor Dede Yusuf hingga dicalonkan sebagai wakil gubernur dalam pilkada Jawa Barat mendampingi Ahmad Heryawan penuh liku. Dia pernah diremehkan internal partainya. Selain itu, dua kali namanya ditolak ketika ditawarkan kepada calon lain.


ADANG D. BOKIN, Jakarta


Siapa yang tak kenal Dede Yusuf. Namanya cukup populer. Selain sebagai bintang sinetron dan layar lebar, putra artis senior Rahayu Effendi itu juga dikenal sebagai bintang iklan obat sakit kepala.


Aktivitasnya merambah dunia politik setelah terpilih menjadi anggota DPR dari PAN untuk periode 2004-2009. Di DPR, dia duduk di komisi VII yang membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup.


Di kalangan wartawan, sosok Dede dikenal ramah. Meski kerap membintangi sinetron dan film bertema laga, sikap sehari-harinya tidak mencerminkan sebagai bintang laga. Tutur kata pemegang dan-IV taekwondo itu sopan dan halus.


Ketika namanya mulai masuk dalam bursa cawagub (calon wakil gubernur) di pilkada Jawa Barat, banyak orang meremehkan. "Yang meremehkan dia bahkan dari internal partai sendiri," ungkap salah seorang aktivis PAN yang mengaku kerap di-curhat-i Dede.


Banyak pengurus PAN, mulai pusat sampai daerah, menganggap Dede hanya mencari sensasi. Bahkan, ada yang mengungkit-ungkit latar belakang akademis Dede yang drop out dari Fakultas Teknik Universitas Trisakti Jakarta.


"Pukulan telak dirasakan dia (Dede) ketika Ketua MPP PAN Amien Rais secara terbuka menyatakan tidak mendukung Dede," katanya.


Amien, tutur dia, justru merestui Iwan Sulandjana (pasangan Danny Setiawan). Kata Amien waktu itu, Dede dianggap tidak pantas memimpin Jawa Barat. Ketua MPP PAN Jawa Barat Amir Mahfud juga terang-terangan mendukung Dany Setiawan-Iwan Sulandjana.


Satu hal yang membesarkan Dede saat itu, dia didukung oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Pria yang akrab disebut dengan inisial SB itu sejak awal all out mendukung pencalonan Dede. "Di jajaran DPP, tinggal saya sendirian yang mendukung Dede," kata SB suatu ketika.


Banyak pengurus DPP PAN yang menilai Dede tidak punya kecakapan. Selain itu, dia diremehkan karena dianggap tidak punya dana kampanye.


Sehari menjelang pencoblosan, ada kader PAN di Ciamis -daerah asal Dede Yusuf- yang mengirim SMS (pesan singkat). Isinya:
"Saya dari DPC Ciamis, kalau nggak punya uang tak usah nyalon. Kami kapok".


Dede mengakui, dia maju sebagai cawagub bukan karena punya modal banyak uang. Dia maju semata-mata untuk merespons suara masyarakat, khususnya kawula muda dan ibu-ibu. "Jangankan anggaran kampanye, uang saksi saja tak ada. Saya tak punya saksi di TPS-TPS karena tak bisa bayar saksi," ucap pria kelahiran 14 September 1966 itu.


Dana saksi sebenarnya tidak besar, Rp 50 ribu per orang. Tapi, kalau dikalikan seluruh TPS di Jawa Barat, dibutuhkan sekitar Rp 3,4 miliar.


Untuk mendanai kampanyenya, Dede mengaku terpaksa menggadaikan sebuah vilanya di Puncak, Bogor. Untung, SB tidak hanya menyokong habis-habisan secara politis. Pengusaha asal Pekalongan itu juga menggelontorkan uang untuk mendukung kemenangan kadernya.


"Saya menitipkan sebagian dana zakat ke Dede Yusuf untuk disampaikan ke masyarakat," kata SB.


Zakat titipan SB itu, saat keliling Jawa Barat, oleh Dede diberikan kepada fakir miskin, yatim piatu, yayasan-yayasan sosial, dan lembaga keagamaan.


"Oleh SB, kami (Heryawan-Dede, Red) ini disebut calon duafa. Tapi, doa para duafa itulah justru yang mendorong kemenangan kami," ujar Dede.


Yang meremehkan Dede tak hanya politisi di partainya. Dua calon gubernur yang bertarung dalam pilkada Jabar (Danny Setiawan dan Agum Gumelar) juga tak memasukkan Dede ke dalam hitungan. Itu dibuktikan saat pencarian pasangan sebelum mendaftar ke KPU Jabar. Ceritanya begini.


Setelah mengantongi surat keputusan (SK) sebagai cawagub dari DPP PAN, hampir dua bulan lamanya Dede belum menemukan jodoh. SB sempat mengontak Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla untuk menawarkan Dede agar dipasangkan dengan Danny Setiawan yang diusung Golkar.


"Silakan Kak Ucu tanya lembaga survei, Danny akan sulit menang kalau tidak berpasangan dengan Dede Yusuf," begitu SB mengontak Kalla, seperti ditirukan sumber yang sangat dekat dengan SB.


Saat itu Kalla menjawab akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Danny. Belakangan Wapres menolak secara halus tawaran SB. Alasannya, polling Dede rendah sehingga tidak bisa dipasangkan dengan Danny. Kalla malah mengajak SB agar PAN mendukung Danny-Iwan Sulandjana.


SB tak patah arang. Dia kemudian mempertemukan Dede dengan Agum Gumelar di Hotel Dharmawangsa. Di hadapan SB, Agum mengaku senang berpasangan dengan Dede karena yakin menang. Tapi, setelah pertemuan itu, tak ada kabar berita dari Agum.


Belakangan Agum lebih memilih Nu’man dari PPP. Dede dianggap tidak menjual karena hanya berlatar belakang artis. Padahal, yang dibutuhkan Agum adalah tokoh yang berpengalaman di pemerintahan.


Ditolak Danny dan Agum, SB lalu mengontak Presiden PKS Tifatul Sembiring. Dia menawarkan Dede berpasangan dengan Ahmad Heryawan. "Ustad, saya yakin pasangan muda ini akan menang," begitu SB merayu Tifatul.


Awalnya, Tifatul mengaku tak bisa menerima Dede karena Heryawan sudah diberi harapan akan berpasangan dengan Danny. Tifatul menolak halus dengan mengatakan bahwa usul SB mendadak, sedangkan pencalonan di PKS sudah berlangsung jauh hari sebelumnya.


Belakangan, sikap PKS berubah 180 derajat setelah Heryawan ditendang Danny. Dengan mediator Chandra Wijaya dan Adang Durahman, beberapa hari sebelum pendaftaran ke KPUD, Heryawan dan Dede bertemu. Setelah itu, keduanya menghadap SB di Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan.


Dalam pertemuan tersebut, disepakati koalisi PKS-PAN. Yang sempat dipersoalkan dalam koalisi itu, siapa yang akan menjadi cagub? SB bingung memutuskan. Dilihat dari umur, Heryawan maupun Dede sama-sama 41 tahun. "Tapi, saya tiga bulan lebih tua lho," ujar Heryawan saat itu.


"Karena Heryawan lebih tua, Anda yang cagub. Dede harus rela menjadi cawagub saja," ujar SB kepada kedua calon tersebut. Heryawan dan Dede hanya tertawa. Keduanya lalu bersalaman dan menyatakan siap maju dalam pilgub lewat paket Heryawan-Dede dengan singkatan Hade. Akhirnya, pasangan tersebut berhasil unggul sementara. Semua versi quick count memenangkan pasangan tersebut. Begitu juga, data terakhir di KPU Jabar. (kum)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10311

Pasangan Muda Menang

HADE MENANG: Pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf setelah hasil quick count yang mengunggulkan mereka diumumkan kemarin.

Pilgub Jabar, Kalla Ucapkan Selamat ke Ahmad Heryawan - Dede Yusuf

JAKARTA - Jawa Barat bakal mempunyai gubernur baru. Hasil pemilihan gubernur yang berlangsung kemarin menempatkan pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade) unggul. Semua lembaga yang melakukan quick count (penghitungan cepat) menunjukkan pasangan yang diusung duet PKS-PAN itu sebagai pemenang.


Hasil (lihat grafis) tersebut sangat mengejutkan. Sebab, sebelum pencoblosan, berbagai polling menyatakan bahwa pasangan paling populer adalah Agum Gumelar-Nu’man (Aman) yang diusung PDIP dan PPP. Tapi, perolehan suara pasangan itu sementara tertinggal dari Hade.


Di lihat dari basis politik, keunggulan Hade itu di luar "matematika" politik. Jawa Barat adalah basis Golkar di Pulau Jawa. Tapi, dalam pencoblosan kemarin, suara yang diraih pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana (Da’i) justru tertinggal jauh. Padahal, Danny adalah incumbent gubernur.


Walaupun kalah di basisnya, Golkar sudah legawa menerima hasil itu. Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla sudah melempar handuk dengan mengucapkan selamat kepada pasangan Hade. Menurut Ketua DPP PKS Bidang Humas Ahmad Mabruri, Kalla sudah memberikan ucapan selamat kepada Presiden PKS Tifatul Sembiring lewat SMS.


"Sdr Tifatul, Ass ww. Selamat atas kemenangan Hade di Jabar. Wass JK," kata Mabruri menirukan isi pesan singkat itu kemarin malam. Menurut dia, ucapan selamat tersebut bisa diartikan sebagai pengakuan Kalla atas kekalahan kadernya dalam pilgub Jabar, yakni Danny Setiawan.


Kemenangan Hade itu benar-benar di luar perhitungan. Mereka hanya dianggap sebagai underdog. Buktinya, Heryawan maupun Dede pernah ditolak Danny Setiawan saat melamar posisi calon gubernur. Mereka juga ditolak Agum Gumelar.


Saat berkampanye pasangan Hade selalu memunculkan isu pemimpin muda dan perubahan. Maklum, keduanya sama-sama berusia 41 tahun. Jauh lebih muda daripada saingannya. Danny menapak usia 58 tahun, sedangkan pasangannya, Iwan, 55 tahun. Sedangkan Agum berusia 63 tahun, sedangkan pasangannya, Nu’man, 53 tahun.


Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai, kekalahan Danny Setiawan lebih dipengaruhi faktor kekecewaan masyarakat terhadap calon incumbent itu. Sosok Agum Gumelar juga dianggap sebagai bagian dari wajah lama. "Siapa pun calon di luar mereka berdua (Danny dan Agum, Red) memang bisa menang asalkan populer dan mesin politiknya bisa mengakselerasi," katanya.


Apalagi, jelas dia, Hade benar-benar terlihat sebagai figur muda. "Jadi, pemilih pemuda mungkin ngeblok ke mereka," ujarnya.


Di luar itu, mesin politik Golkar dan PDIP tidak begitu berjalan. Padahal, kata Qodari, perolehan suara Partai Golkar di Jawa Barat mencapai 29,4 persen dan PDIP 16,7 persen pada Pemilu 2004. Sementara itu, PKS berada di posisi ketiga dengan perolehan suara 11,4 persen. Kemudian, PPP memperoleh 9,9 persen dan Partai Demokrat meraup 8,3 persen suara.


"Seperti biasa, saya dengar PKS memang lebih aktif," ungkapnya. Karena itu, mereka bisa mengangkat popularitas Hade yang awalnya jauh di bawah popularitas dua pasangan lainnya.


Sekjen PDIP Pramono Anung juga melihat fenomena kaum muda yang mendongkrak pasangan Heryawan-Dede. "Masyarakat memang menaruh harapan pada orang muda," tegas Pram, panggilan Pramono.


PDIP, kata dia, akan melakukan evaluasi menyeluruh atas kekalahan jagonya, Agum-Nu’man. Sebab, setelah Jabar, masih akan berjalan pilgub lain di sejumlah daerah, seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Bali.


Di tempat terpisah, Presiden PKS Tifatul Sembiring menuturkan, sejak awal, partainya memang fokus menyosialisasikan Hade di sejumlah kabupaten-kota yang terbukti menjadi kantong massa PKS. Misalnya, Bekasi, Cianjur, Kota Bandung, Sukabumi, Depok, dan Bogor. "Di situ, pilkada bupati atau wali kota juga dimenangkan PKS," katanya.


Dia membantah bahwa dalam masa kampanye, sosok Dede Yusuf dianggap lebih ditonjolkan daripada Ahmad Heryawan. "Keduanya sama-sama kami tonjolkan," tegasnya.


Tifatul menyebutkan, sosok Ahmad Heryawan cukup dikenal di Bandung sebagai Ketum Persatuan Umat Islam (PUI) yang model politiknya mirip Masyumi. Namun, PUI tidak menganut politik aliran. Sebab, anggotanya berasal dari berbagai golongan. "Popularitas PUI di Jabar itu mirip NU di Jatim," ungkapnya.


Sementara itu, kata dia, Dede Yusuf cukup familier di kalangan anak muda. "Jadi, keduanya merupakan kombinasi yang cukup menarik," ujarnya.


Pengamat politik dari The Habibie Center Andrinof A. Chaniago berpandangan, kemenangan Hade mengindikasikan besarnya kerinduan masyarakat kepada tokoh-tokoh baru dan menguatnya rasa jenuh terhadap status quo. Padahal, Hade tidak mempunyai pengalaman sama sekali dalam pemerintahan. "Masyarakat hanya ingin suasana baru, walaupun tidak ada jaminan suasana baru itu akan terwujud dengan terpilihnya sosok baru," ungkapnya.


Menurut dia, politisi harus memetik pelajaran berharga dari pilgub Jabar. "Posisi incumbent atau besarnya pengikut partai terbukti tidak bisa diandalkan," tegasnya.


Sementara itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung menilai kekalahan calon Golkar di Jawa Barat merupakan bukti buruknya konsolidasi para elite di tingkat pusat. Hal tersebut, menurut dia, sangat berpengaruh pada kinerja kader Partai Golkar di tataran akar rumput.


Padahal, tambah mantan menteri perumahan rakyat itu, dari komposisi pemilihan cagub dan cawagub, pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana sangat ideal. "Yang satu incumbent dan pasangannya dari latar belakang TNI cukup bagus," jelasnya. Karena itu, Akbar menyimpulkan kekalahan tersebut sebagai kegagalan pimpinan Partai Golkar memotivasi kader di daerah untuk bekerja keras. (pri/cak/jpnn/mk/tof)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10315

Minggu, 13 April 2008

Anak Pertama Autis, Anak Kedua Jenius




Pasangan Ngudi dan Illy Yudiono punya tantangan hidup yang unik. Putra pertama mereka, Catra, 15, adalah anak autis yang duduk di bangku kelas 1 SMP. Si bungsu, Caka, 13, masuk kategori "genius" dan sekarang hampir lulus dari bangku SMP. Bagaimana keluarga ini hidup dan mengatasi keadaan bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.


Sejak berkenalan, hidup Yudi Ðpanggilan NgudiÐ dan Illy termasuk penuh dengan penantian dan kesabaran.


Begitu menikah, Yudi dan Illy memang tak bisa menetap tenang di Surabaya. Yudi, yang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi, dipindahtugaskan ke Bali oleh kantornya. Di Pulau Dewata, dia ikut mengerjakan sebuah proyek bendungan.


Illy, lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, ikut tinggal dua tahun di Bali. Kemudian mereka pindah lagi ke Malang (tiga bulan), Jakarta, dan Palembang.


Selama hidup berpindah-pindah itu, kekhawatiran mulai dirasakan Illy. "Memasuki masa dua tahun pernikahan, saya sudah cemas. Kenapa kok belum hamil-hamil," ungkapnya


Pasangan itu pun mulai mencoba berbagai macam cara. Mulai yang medis seperti suntik ampul pada masa subur hingga yang nonmedis seperti paranormal, dukun, tabib, serta kiai. Bahkan, yang termasuk "tidak masuk akal" pun mereka jalani.


"Kami pernah berobat ke seorang tabib Iraq. Kami disuruh minum madu putih dicampur abu kertas bertulisan ayat-ayat Alquran," ungkap Yudi, alumnus teknik sipil Universitas Brawijaya, Malang. "Nggak tahu yah, waktu itu kami doyan saja. Mungkin karena sudah sangat ingin punya anak," katanya.


Bertahun-tahun Yudi dan Illy berusaha. "Gaji saya pada 1989Ð1990 hanya Rp 400 ribu. Hampir semuanya habis untuk suntikan ampul Illy," ungkap Yudi, yang kala itu sempat pula memikirkan kemungkinan bayi tabung.


"Entah bagaimana kami bertahan waktu itu. Yang jelas, kami berusaha untuk dicukup-cukupkan," imbuh Illy, putri almarhum guru besar Fakultas Hukum Unair Prof Dr H M. Koesnoe SH.


Pada 1991, Yudi dan Illy sempat putus asa. Dokter akhirnya menyebut Illy "tidak mungkin hamil". Sebab, kandungannya alergi benda-benda asing.


Pasrah, pasangan itu mendapat saran untuk datang ke seorang bidan di Palembang. Bidan itu, kata Illy, asli Jombang. Dia memijit Illy dan Yudi bergantian. Rutin selama tiga bulan. Tak lama setelah itu, pasangan tersebut mendapatkan jawaban. Illy hamil.


Awalnya, Illy tak menyadari bahwa dirinya hamil. "Maklum, belum pernah mengalami sebelumnya," katanya lantas tertawa. Kehamilan Illy tersebut disadari saat dirinya dan suami menjenguk orang tua di Surabaya.


Jadilah seluruh keluarga bersukacita, dan meminta satu-satunya putri di keluarga Koesnoe itu bed rest selama sebulan. "Bahagianya minta ampun, yang ditunggu-tunggu enam tahun datang," ujar Illy.


Kelahiran anak pertama mereka, Aditya Prajna Catra Mahottama, sungguh menegangkan. Catra lahir caesar di Palembang pada 11 Juli 1992. Beratnya 2,9 kilogram, dengan panjang 50 cm.


Yudi yang saat itu sudah berusia 34 tahun membawa segala macam peralatan rekam ke rumah sakit. Video dan kamera lengkap dia bawa. Momen-momen tersebut dia abadikan dengan detail, Catra disambut bak pangeran.


Kebahagiaan itu kian bertambah. Tiga belas bulan kemudian, Illy hamil lagi. Dulu satu susah didapat, kini tak disangka dua bakal ada di tangan. "Dua puluh dua bulan setelah Catra lahir, kami memiliki anak kedua," jelasnya.


Aditya Cakasana Janottama, anak kedua itu, juga lahir caesar di Palembang pada 7 Mei 1994. Berat dan panjangnya sama dengan si sulung. Mulai dari situlah album-album keluarga Yudiono dipenuhi foto-foto kedua bocah lucu tersebut. Padahal, selama enam tahun menikah, Illy mengaku tak pernah mau difoto. "Saya bilang nggak usah, nunggu anak-anak saja dulu," katanya lantas tertawa.


Karena itu, tak heran, album keluarga yang jumlahnya puluhan dipenuhi dengan pose-pose Catra-Caka, seperti yang disaksikan Jawa Pos di Jalan Sri Ikana Surabaya, rumah eyang mereka.


Catra Belum Bicara, Caka Sudah Membaca

Tapi, keceriaan keluarga itu sempat tersendat. Pada usia tiga tahun, Catra belum bisa bicara selain papa dan diii. Saat itu, Yudi (dan keluarga) yang ditugaskan di Ujung Pandang (Makassar) mulai waswas, namun tak ada kecurigaan apa pun. Mereka justru mulai serius bertanya-tanya ketika si bungsu Caka mulai aktif dan terlihat pintar.


Bayangkan, pada usia dua tahun, Caka sudah lancar membaca dan menulis. Dia paling suka melahap informasi, buku apa pun dia baca. Pada usianya yang sekecil itu, dia mulai suka mengoleksi benda dan buku (saat duduk di kelas IV, IQ-nya mencapai 156).


Perkembangan Caka itu jelas berlawanan dengan sang kakak, Catra. Padahal, dari segi fisik, Catra lebih besar. "Dia (Catra, Red) tidak bisa ngomong, sulit beradaptasi," tegas Yudi.


Bayangkan saja, mempunyai dua anak dengan perilaku yang amat berbeda. Si kakak belum bisa berbicara dan paling suka merobek kertas (terkadang juga menangis dan tertawa sendiri). Si adik tergila-gila buku dan selalu bertanya ini-itu.


Mulailah Yudi berkonsultasi dan bertanya. Akhirnya, jawaban itu ditemukan di Surabaya.


Pada 1997, Catra "divonis" autis. Yudi dan Illy mengaku tak tahu apa-apa mengenai autis. "Kami shock, ngeri sekali, tidak mengerti autis. Kami pikir anak kami idiot," kata Yudi.


Pada titik itulah, pasangan tersebut memutuskan kembali berjuang. Illy akhirnya menetap di Surabaya demi Catra dan Caka, sedangkan Yudi masih harus melanjutkan tugas di Ujung Pandang dan Manado.


Bersama, mereka mencari segala informasi mengenai autisme. Orang tua Illy, almarhum Koesnoe dan Badariyah, kini 72, amat mendukung. Tak pernah keduanya membeda-bedakan cucunya.


Kolega-kolega Koesnoe di Belanda, Prancis, dan AS ikut membantu menyediakan informasi. Mereka mengirimkan berbagai literatur mengenai autisme kepada Illy. Dari situ, mulailah Illy belajar persoalan autisme. "Saya harus menerapi Catra delapan jam sehari," katanya.


Terapi itu adalah "kegiatan bergerak." Misalnya, meloncat, bertepuk tangan, serta menirukan gerakan-gerakan tangan lain. Kala itu, Catra kuat meloncat-loncat hingga sejam tanpa henti. "Anak-anak autis memang seperti itu. Tenaga mereka besar karena otaknya tak dipakai (bekerja)," ungkapnya. Terapi dimaksudkan agar Catra lelah dan dapat tidur nyenyak. Illy mendatangkan empat terapis untuk anaknya.


Di saat-saat terapi itu, meski tak pernah menyerah, Illy sering sedih dan menangis. Illy paling tak kuasa menahan tangis bila melihat almarhum ayahnya mengelus Catra sayang dengan tuturan, "Mosok engko sampek joko kowe gak iso ngomong, le?" (Masa sampai dewasa nanti kamu tetap tak bisa bicara, nak? Red).


Begitu khawatirnya Koesnoe terhadap sang cucu, pada awal 1998, dia meminta agar Yudi berhenti dari pekerjaannya. Bukan sekadar untuk membantu merawat Catra, Koesnoe meminta agar Yudi mendirikan sekolah autis. Dengan demikian, pendidikan Catra bisa terjaga, sekaligus punya sumbangan kepada masyarakat.


Permintaan tersebut seolah menjadi permintaan terakhir Koesnoe. Sebab, seminggu setelah Yudi keluar dari perusahaan (9 Mei 1998), Koesnoe meninggal.


Segala upaya itu tidak sia-sia. Catra mampu berkembang pesat, dan sekarang sudah duduk di bangku kelas 1 sebuah SMP swasta reguler. Pertumbuhan Caka juga tidak terhambat. Bahkan, pada usia 13 tahun, Caka sudah duduk di bangku kelas 3 akselerasi SMPN 1 Surabaya. Tahun ini juga dia masuk SMA.


Sekolah autis yang didirikan Yudi dan Illy, bernama Cakra, sampai sekarang telah tumbuh dan berkembang. Sekarang telah melayani 350 anak autis, 50 di antaranya berhasil masuk ke SD reguler.


Sekarang, Yudi dan Illy sudah berusia 49 dan 44 tahun. Mereka mengaku sangat mensyukuri kehidupan yang telah mereka jalani ini.


"Tuhan itu adil. Kalau saya punya dua anak kayak Catra, mungkin kami akan kelelahan. Tapi, kalau kami punya dua anak kayak Caka, mungkin kami akan takabur. Jadi, Tuhan itu adil memberi kami yang seimbang," tutur Illy. "Kami tidak pernah merasa kesusahan untuk merawat kedua anak ini. Kalau Catra, kami suka karena dia awet lucunya. Kalau Caka, dia gesit dan banyak orang bilang pintar," ujarnya. (anita rachman/aza)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=335883

Sabtu, 12 April 2008

Kunci Ka'bah Dijual Seharga Rp166,4 Miliar

LONDON(SINDO) – Rumah pelelangan Bonham, London, berhasil melelang kunci Kakbah yang berusia 900 tahun seharga 9,2 juta poundsterling atau setara Rp166,4 miliar.


Kunci ini adalah satu dari 58 sampel yang ada di tangan pribadi. Ke-58 kunci lainnya kini sudah dimuseumkan. Kunci ini terbuat dari perunggu sepanjang 37 cm. ”Hasil penjualan lelang ini lebih banyak dibandingkan dengan penghasilan tahunan Departemen Islam tahun 2007, menandakan peningkatan permintaan terhadap seni Islam,” ujar Kepala Departemen Seni Islam London Edward Gibbs. Humas Bonhams, Julian Roup, mengatakan, kunci tersebut dibuat untuk dipersembahkan kepada para khalifah, dimulai dari Khalifah Abbasid di Baghdad.


Kunci ini, ujar dia, dibuat pada abad ke-12. Menurut dia, penjualan kunci ini telah memecahkan rekor baru dalam pelelangan karya seni Islam. Dia menyatakan bersyukur bahwa di tengah- tengah kesuraman ekonomi global, para pembeli India, Rusia, dan China masih membuat pasar seni Islam tetap hidup.


”Sesuatu yang menakjubkan mengetahui pasar seni Islam di London cukup diminati,” ujarnya. Roup juga mengatakan seorang investor yang enggan disebutkan namanya membeli lembaran Alquran yang dibuat pada abad ke-7 seharga 2,5 juta poundsterling ( Rp42,2 miliar setelah 20 kali penawaran. Barang-barang yang berbau Islam ini dilelang tanpa menyebabkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya.


Padahal, sebelumnya para pendukung Mahatma Gandhi menghentikan pelelangan dokumen Gandhi yang dipercaya milik Guru Gobind Singh. Sebab, beberapa koleksi benda antik India dalam pelelangan internasional telah punah.


Hal ini karena para kolektor menyembunyikannya di Eropa. Koleksi India yang juga dilelang adalah prasasti dalam naskah nasta’liq di atas pisau Shah Jahan, termasuk surat resmi istana Moghul yang menyebutkan tanggal dan tempat lahir dan payung kerajaan (simbol kerajaan Tuhan di Asia kuno).


Semua koleksi ini berhubungan dengan Shah Jahan. Dia adalah raja ke-5 dari kerajaan Mughal. Pisau dengan prasasti tersebut dibuat di Akbarabad. Kemungkinan pisau ini dibuat ketika Shah Jahan berusia 39 tahun. Rumah pelelangan Bonhams mengatakan, pisau ini adalah koleksi yang paling penting yang pernah dikoleksi Jacques Desenfans, seorang Belgia yang sangat tertarik dengan Islam, India, dan sejarah serta budaya Asia Tenggara.


Dia menghabiskan lebih dari 50 tahun untuk mengumpulkan koleksinya. Koleksinya menyita perhatian publik ketika dia mengunjungi Shah secara pribadi di rumahnya pada 1969. Kepala Departemen India dan Islam di Bonhams mengatakan, sebuah kehormatan besar untuk bisa menjual artifak India yang sangat luar biasa karena sangat jarang ada di pasaran. (BBC/Rtr/rahma regina)


Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/kunci-kakbah-dijual-seharga-rp166-4-m.html

Jumat, 11 April 2008

Secangkir Kopi Hangat

Fairuz mendengarkan obrolan ibu-ibu tetangga barunya. Dia paling muda di antara mereka. Sesekali ia tersenyum atau tertawa kecil menanggapi. Baginya itu bukan obrolan biasa. Dari mereka terpetik juga sebuah masukan yang baik. Sesuatu yang selama ini belum diketahuinya.

Tadinya ia hanya bermaksud mengantar kue ke rumah Ibu Desy. Ia baru saja selesai memasaknya. Ternyata di situ sudah ada Ibu Wina, Ibu Hesty dan Ibu Nani. Ia tidak diizinkan pergi. Mereka menyuruhnya duduk dan mengobrol. Dalam sekejap, kue yang ia bawa telah berpindah ke mulut mereka masing-masing.

"Sebelum saya menikah dengan Bapak si Dodo, sering dia bawa saya makan di Restauran. Pokoknya aneka macam jajanan pernah kami coba. Setelah menikah sampai punya anak tiga, dalam setahun aja belum tentu kami makan di luar!" Ibu Desy menggambarkan sosok suaminya. "Memang begitulah lelaki, Bu. Penilaian kita sebelum menikah bisa berbeda dengan setelah kita menikah. Apalagi setelah punya anak," tambah Ibu Wina.

"Ya, ialah. Kita, para isteri dapat mengetahui karakter suami kita sendiri setelah menikah dengannya. Di dalam kancah rumah tanggalah akan terbongkar semua karakternya. Tidak mungkin disembunyikan lagi seperti waktu pacaran," Ibu Hesty menimpali. "Apalagi yang mau disembunyikannya. Namanya juga sudah satu atap, satu tempat tidur, satu nafas pula," sahut Ibu Nani sambil tertawa, diikuti ibu-ibu lain. Tak terkecuali Fairuz.

Sejak kepindahannya beberapa minggu lalu, baru kali ini ia bisa berada satu ruangan dan mengobrol dengan ibu-ibu di sekitar rumahnya. Biasanya ia hanya berbasa-basi dan bertegur sapa. Setiap hari dia disibukkan urusan mengatur dan menyusun barang-barangnya, yang dibawa dari rumah kontrakan lama.

Fairuz merasa senang dengan bahan yang mereka obrolkan. Sesuatu yang memang benar-benar dialami. Bukannya cerita mengada-ada atau menggosip. Kalau itu, jelas-jelas ia tak suka. Apalagi kalau suaminya tahu, pastilah ia akan marah. "Suami saya seringkali membuat saya kesal. Sudahlah dia pulang larut malam, tak bawa uang pula. Sampai di tempat tidur, minta dilayani. Karena saya kesal, saya serahkan saja saya mau diapainnya. Saya sudah tak tahu apa-apa lagi," cerita Ibu Nani.

"Apa dia tidak marah, Ibu seperti itu?" Fairuz balik bertanya. Keningnya berkerut. "Rus, kita harus bisa ngasih pelajaran sama suami kita. Toh untuk kebaikan kita bersama. Seharian kita mengurus anak dan rumah tangga. Jangan dia mau enaknya saja. Dalam rumah tangga, kita kan harus saling berbagi dan memahami," lanjut Ibu Nani.

"Kalau suami saya lain lagi. Dia tidak pernah memeluk dan melakukan hal yang romantis, kecuali untuk berhubungan intim. Sebagai wanita, saya kan juga ingin dimanja. Bukan hanya sebagai sebuah barang yang dibutuhkan, maka dipakai. Lantas kalau tidak dibutuhkan, tidak dianggap. Hubungan yang romantis di antara suami isteri, bukan harus melulu di tempat tidur. Kita bisa ciptakan banyak hal di luar itu," giliran Ibu Hesty bercerita panjang lebar. Dia sudah sepuluh tahun menikah, anaknya dua orang.

"Apa suami Ibu bisa mengerti kemudian?" tanya Fairuz ingin tahu. Ibu-Ibu yang lain ikut menunggu jawaban Ibu Hesty.
"Yah... perlahan-lahan saya bicarakan padanya. Sampai pernah saya mengetes dia. Saya tidur di kamar sebelah. Akhirnya kami berbaikan, sampai sekarang."

Fairuz dan ibu-ibu yang lain tampak manggut-manggut mendengar cerita Ibu Hesty. Ternyata tiap wanita tak pernah sepi dari problematika di dalam rumah tangga. Mungkin kalau para isteri dikumpulkan, akan sangat banyaklah permasalahan yang mereka bawa dari rumah tangga mereka masing-masing.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Pertemuan tak terencana itu pun bubar dengan damai.

"Dek, tolong buatkan abang kopi ya. Taruh di dalam kamar." Deg. Jantung Fairuz berdebar. Bukan karena Faisal menyuruh sesuatu yang tak bisa ia lakukan. Apalah susahnya membuat secangkir kopi hangat. Namun, kali ini ada yang menganggu pikirannya. Sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Faisal.

Setiap kali Faisal meminta dibuatkan secangkir kopi hangat, itu sebuah pertanda Faisal ingin membuka pintu kemesraan dengannya. Ia sudah sangat paham. Padahal baru saja Fairuz merasa kesal dibuatnya. Sudah tiga bulan Faisal berjanji membelikannya sebuah liontin emas. Ada saja kendalanya. Bulan pertama, harus membayar uang sekolah adiknya. Bulan kedua, harus membetulkan seng yang bocor di rumah bapak. Bulan ini, harus membiayai perobatan ibu.

Anehnya, pada saat Faisal tahu hatinya lagi kesal, di situ pulalah ia ingin bemesraan dengannya. Seolah-olah untuk menghilangkan rasa kesalnya. Membuatnya merasa nyaman. Tidak lagi memikirkan tentang masalah yang mereka hadapi. Selama ini memang Fairuz menganggapnya sebagai hal yang wajar, namun hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

"Menyelesaikan masalah dengan berhubungan intim, bukan jalan keluar yang baik. Itu suatu kesalahan besar!" bisiknya pada dirinya sendiri, dan akan ia tegaskan pula pada suaminya.

Di dapur, saat membuatkan kopi, Fairuz bertekad, bila nanti Faisal mulai menyentuhnya, ia akan tepiskan tangannya. Saat tubuh Faisal mendekat ke arahnya, ia akan menjauh darinya. Fairuz pun masuk ke dalam kamar.

"Makasih ya, Sayang. Sini, dekat abang," raut wajah Faisal cerah seperti bulan purnama. Sebaliknya, hati Fairuz berdebar menjalankan rencananya.

"Lho, kok malah menjauh dari abang?"
Tangan Fairuz diraih. Cepat Fairuz menepisnya.
"Bang, kenapa sih setiap Fai kesal, Abang selalu berusaha menghilangkan kesal Fai dengan cara ini. Lama kelamaan Fai tidak suka, Bang. Seolah-olah abang menggampangkan saja perasaan Fai. Tidak memedulikan apa yang Fai inginkan."

Faisal terpana. Sekonyong-konyong Fairuz berubah menjadi seorang hakim di sebuah pengadilan, yang sedang membacakan tuntutannya kepada seorang terdakwa.

Mata Fairuz menyorot tajam, dadanya turun naik seperti orang yang sedang menunjukkan kemarahan. Padahal biasanya, bila Faisal menyentuhnya, maka ia pun akan menunjukkan kemanjaannya sebagai seorang isteri kepada suaminya. Lalu mereka akan larut dalam kemesraan yang dalam. Kini Faisal benar-benar tak dapat mempercayai kenyataan, yang baru saja berlangsung di hadapannya!

Faisal terdiam. Tidak bicara sepatah kata pun. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. Ia keluar dari kamar, membawa kopi yang baru diminum sedikit. Sementara Fairuz tak bisa memejamkan mata di tempat tidurnya.

Besoknya, Faisal tidak menggendongnya saat ia bangun tidur. Tidak ada percakapan hangat dan gurauan, yang disertai pelukan di meja makan. Fairuz memperhatikan dengan ekor matanya, suaminya hanya makan sedikit. Seperti orang tidak berselera. Wajahnya tampak kuyu.

Ketika melepas suaminya di depan pintu, Fairuz merasakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Tiba-tiba ia merasakan hal yang aneh. Ia merasa asing. Sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Lebih baik tidak merasakan hal ini, batinnya.

Seharusnya ia biarkan semuanya berlangsung seperti apa adanya. Tidak perlu suaminya tahu apa yang menjadi kekesalan hatinya. Kenapa tidak ia biarkan suaminya menyentuh dan menciumnya? Apa ia punya hak untuk menolak?

Ia hanya seorang perempuan, datang dari kampung. Semua keluarganya tinggal di kampung. Faisal telah membawanya ke kota. Tentu saja ia tidak sama dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi tetangganya. Baik dari segi pemikiran, maupun latar belakang kehidupan. Sikapnya pada Faisal tidak mencerminkan kesabaran seorang wanita. Ia tidak biasa memberontak. Ibunya selalu mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan.

Malam harinya ia tidak sanggup melihat wajah suaminya. Hatinya didera rasa malu. Sedari tadi ia hanya di kamar, seolah disibukkan sesuatu. Tak terasa sebutir air mata menuruni pipinya yang mulus. Ia menangis. Menahankan perasaan rindu pada suaminya. Dia yang memulai semua ini, dia merasa harus dia pulalah yang mengakhirinya.

Pada saat Fairuz akan ke luar dari kamar, saat yang sama Faisal menuju ke dalam kamar. Tabrakan dua tubuh itu tak dapat dielakkan. Mereka terjatuh. Tangan Faisal terhimpit di bawah tubuh Fairuz. Jarak mereka sangat dekat. Fairuz memejamkan matanya. Sesaat merasakan desah nafas suaminya di wajahnya. Ia merindukan segalanya dari suaminya.

Kemudian mereka pun berdialog. Berupaya memecahkan perseteruan yang telah mendera mereka. Dan, menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. (Rina Mahfuzah Nst)

Sumber: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=329284&kat_id=364