Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 April 2008

Batu-Batu Bercahaya

Sabar adalah manusia got, begitu orang-orang menjulukinya. Sabar telah menyusuri semua sungai di kota ini,sungai yang mengalir dari hulu hingga sungai dan kalikali mati yang menyempit di balik gedung-gedung jangkung dan rumahrumah toko yang berjejal membuang segala kotoran.


Air dari sungai itu mengalir lambat pada tempat yang dangkal di selangkangan kakinya setiap hari, bau anyir dari lumpur menjadi makanannya paling bergizi.


Hari-hari Sabar menelusuri kali kecil dimulai dari belakang sebuah rumah sakit tua yang airnya berwarna hitam kehijauan, sampah kotoran rumah sakit itu dilempar sembarangan, jarum suntik berkarat pernah beberapa kali menghunjam kakinya,kapas dan perban penuh darah terkadang mengambang di permukaan kali, tapi di sinilah pertama dia mendapatkan rezekinya ketika ayakannya menjaring sepotong gigi palsu tua dari perak.


Hari demi hari ayakan Sabar yang berkarat meraup pasir bercampur batu, beling, dan sesekali potongan kuningan atau alumunium, yang lalu dikumpulkannya di karung. Sedikit demi sedikit benda-benda itu terkumpul hingga layak untuk ditukar menjadi rupiah ke pengepul besi bekas. Sabar senantiasa berharap mendapatkan barang berharga dari pekerjaannya, cincin atau giwang yang terbuat dari emas.


Tapi sampai kini dia tak pernah menemukan, kecuali pernah dulu dia mendapat anting-anting kecil yang biasa dipakai balita,terbuat dari emas muda,yang lalu dijualnya ke toko mas di sebuah pasar yang dihargai beberapa puluh ribu rupiah,itu adalah penghasilan terbesarnya sejak dia menjadi manusia got selain gigi palsu yang dia temukan saat pertama kali terjun di kali.


Lalu bertahun-tahun dia tak ingin berhenti membawa ayakannya turun ke kali,di bawah permukaan air hitam itu dia seperti melihat sesuatu yang bening bernama harapan bahwa suatu saat dia akan mendapat barang yang berharga selain potongan-potongan besi atau kuningan. Karena baginya, jika Allah menakdirkan untuknya rezeki, maka tak ada yang bisa menghalanginya.


Lagi pula yang diharapkan Sabar tak berlebihan,cukup untuk bisa pulang kampung membawa sekadar oleh-oleh dan beristirahat seminggu dua minggu tidak turun ke kali. Tapi adakah yang begitu ceroboh hingga benda berharga miliknya terjatuh, lalu dibawa air ke kali? Sungai-sungai atau yang biasa disebut kali yang merayap di tengah kepadatan penghuni kota terasa mengalir sabar seperti hidup yang dijalaninya, Sabar si pengayak got yang tekun dan teliti hingga sebiji peniti pun tak luput dari matanya.Apa yang sudah dia dapat memang tak ada artinya.


Potongan- potongan besi tanpa harga, sempalan benda-benda elektronik, barang- barang berkarat yang malah sangat berbahaya bila menusuk kakinya karena bisa menyebabkan tetanus. Tapi kesadaran menjadi orang yang sia-sia di rimba kota perlahan berhasil disingkirkannya jika tidak mendapatkan benda berharga seperti dalam angan-angannya. Kini dia sudah merasa cukup dengan potongan-potongan kuningan atau alumunium saja untuk dikumpulkan.


Dan menjadikan dirinya tawakal menjalani kehidupan. Hal yang selalu disukuri Sabar pula adalah inayah Allah yang selalu membimbingnya untuk tak pernah berhenti bersujud. Bila sudah terdengar azan,Sabar pasti akan menghentikan pekerjaannya itu,dia akan mencari tempat salat untuk berjamaah.Sabar tak pernah berani meninggalkan salat walau satu waktu pun.


Sebelumnya dia akan berwudu sesempurna mungkin, dia sadar seharian dirinya berkubang di aliran limbah pekat, dibenamkan oleh najis. Air yang mengalir di kali bisa jadi air bekas mencuci daging babi, atau bekas mandi dua orang penzina di losmen tempat pelacur murahan menanti lelaki hidung belang, sedangkan air kali itu saja sudah jelas-jelas adalah kotor dan najis.


Orang-orang menjulukinya manusia got, bahkan ketika dia sudah berada di dalam masjid. Satu dua orang yang mengenal siapa dirinya berbisikbisik seolah dia tak pantas berada di antara orang-orang di masjid.Memang rasanya aneh,kokmanusia yang keluar dari got bisa menjalankan salat.


Ketika dia salat menghadap Tuhannya, dia pasrah akan dirinya sebagai hamba, dia berdoa demi akhirat dan memohon suatu hari nanti bisa pulang kampung membawa oleh-oleh untuk anak dan istrinya yang sudah hampir sepuluh tahun tak pernah di-jenguknya, benda-benda yang didapatnya selama ini pun hanya untuk makan demi menyambung hidupnya sendiri,tak bisa dibelikan tiket kereta api pulang ke kampungnya,konon pula membeli oleh-oleh.


Sabar merasa dirinya begitu dekat dengan-Nya, hidayah yang mungkin tidak dimiliki banyak orang yang selalu berada di tempat yang bersih dan nyaman. Allah menuntunnya ke jalan yang dibentangkan-Nya, jalan yang penuh cahaya. Dia bersujud,memuji dan menyebut nama-Nya dengan ikhlas dan sabar.


Orang-orang yang mengenal dirinya boleh saja risi melihatnya berada di masjid, walau dia selalu menyembunyikan dirinya di pojok belakang,di balik tiang-tiang selasar atau di samping rak sepatu agar tak terlihat oleh orang yang mengenali dirinya. Sabar selalu ingat akan sebuah khotbah Jumat suatu hari di masjid besar di pinggiran kota, bahwa salatlah yang membedakan orang-orang mukmin dan orang-orang kafir.Orang yang tidak salat lebih hina dari seekor anjing.


Siapa yang mendirikan salat berarti dia menegakkan agama Allah. Amal wudu dan salat orang-orang yang beriman akan naik ke langit berupa cahaya-cahaya mahaindah,kemudian para malaikat yang melihat cahaya itu bertanya-tanya heran. “Cahaya indah apakah itu?” “Hai para malaikat berbarislah! Ini adalah cahaya seorang mukmin yang sedang salat menghadap-Ku! Muliakanlah dia!” Sabar sangat yakin dia memiliki cahaya-cahaya mahaindah itu.


Sabar adalah manusia berkubang najis, terik matahari memanggang tubuhnya setiap hari. Allah dan bala tentara malaikatnya telah lama melihat Sabar tersaruk-saruk melata di arus kali hitam yang berkelok-kelok merayapi tubuh kota demi mempertahankan hidup dan salatnya, dia tidak memakan uang yang haram. Tubuhnya makin menua dan lelah, tak satu hari pun dia berhenti sujud dengan memuji selalu nama-nama-Nya yang maha agung dan indah.


*** Di sebuah kali yang dangkal dengan air kecokelatan, sehabis banjir yang cukup besar melanda kota menjadikan hari ini kali sedikit bersih dari sampah. Sabar berharap mendapatkan banyak rezeki yang dibawa arus dari hulu.


Dia terus mengayak sejak pagi hari,beberapa potongan alumunium dan tembaga didapatkannya. Sendok, garpu dan potongan-potongan kabel seperti biasa bermunculan.Hingga dia kelelahan dan harus beristirahat. Sabar yang menua sangat cepat lelah kini. Dia tertidur di bawah sebuah pohon di pinggir sebuah got yang melintangi hiruk-pikuk kota.


Tubuhnya teronggok dibuai mimpi…. Tiba-tiba muncul sesosok makhluk dari atas pohon yang melindungi Sabar dari terik matahari, makhluk itu tersenyum membangunkan Sabar dan berkata: “Hai Sabar… aku diperintahkan Allah mengangkat sebuah tempat air bekas tentara kompeni yang lama terpendam di lumpur. Di dalam tempat air itu banyak permata dan mutiara berharga yang disembunyikan pemiliknya, dia seorang tentara Belanda yang licik dan serakah.


Dia sudah lama mengumpulkan benda-benda berharga yang didapatnya dari sultan-sultan dan orang-orang bermata sipit, dia ingin membawanya jika dia pulang ke negerinya, tapi pecah perang hebat. Kapten itu terluka di jalan dan membuang tempat air itu ke sungai untuk suatu saat akan diambilnya kembali, tapi dia keburu mati.Tempat air itu kemudian kami kuasai dan kami sembunyikan dari pandangan manusia… Hingga Allah mengizinkannya untukmu….” Sabar tetap tertidur…. “Hai Sabar… nyenyak sekali tidurmu.


Kini kau begitu tua dan kurus, Allah mengizinkan benda itu untuk kau miliki….” Lalu makhluk yang membisikkan itu mengguncang guncang tubuh sabar hingga sabar terbangun.Sabar tersentak, dia merasa malaikat baru saja berkata dengan marah dan meniupkan angin kencang ke telinganya bahkan sampai mengguncang-guncang tubuhnya.


Sabar langsung istigfar berkali-kali.Rupanya bayangan matahari sudah memanjang bertanda waktu zuhur telah lama lewat. Sabar bersyukur malaikat telah berbaik hati membangunkannya walau dengan cara yang kasar dan marah-marah. Sabar bergegas ke masjid dan sepanjang jalan masih terus istigfar mohon ampun karena menyesal telah keenakan tidur hingga telinganya tak menangkap lantunan azan.


*** Beberapa hari kemudian, dalam bimbingan malaikat, ayakan Sabar menyentuh benda yang keras dan berat, dia berusaha mengayak lebih dalam mengangkat benda itu,setelah diangkat ke permukaan, tampaklah sebuah tempat air yang biasa dipakai tentara, tempat air itu bertuliskan bahasa asing yang tidak dia mengerti, kecuali tahun dan tanggal yang sudah tertinggal begitu jauh di belakang.


Entah kenapa kali ini Sabar merasa jantungnya berdebar kencang memerhatikan benda yang didapatnya, segera dimasukkannya tempat air yang berat itu ke dalam karungnya,lalu dia cepat meninggalkan kali dan pulang. Di gubuk liar sewaannya, terus dengan dada berdebar dia membuka tutup tempat air tentara yang sudah berkarat itu dengan susah payah, dia harus memukul dan memalu benda itu berkali kali dengan martil hingga tetangga-tetangga di kiri kanan gubuknya berteriak-teriak agar Sabar menghentikan pekerjaannya itu.


Sabar tak peduli, dia sungguh tak sabar ingin mengetahui benda apa yang ada di dalam tempat air itu. Dan ketika tutup itu akhirnya terbuka, Sabar segera mengeluarkan isinya, suaranya bagaikan pasir dan kerikil yang dicurahkan. Sabar tercengang tak percaya, permata dan mutiara berkilauan beraneka cahaya terhampar di tangannya.


Dia teringat tentang khotbah Jumat yang pernah didengarnya bahwa amal wudu dan salat orang-orang beriman akan naik ke langit berupa cahaya- cahaya maha indah. Mungkinkah cahaya amal wudu dan salatnya telah berubah menjadi batu-batu bercahaya…?


GANDA PEKASIH

gandapekasih@yahoo.com

Menulis cerpen, novel, dan skenario. Bukunya yang best seller berjudul Cinta Wanita Berhati Cahaya. Saat ini tinggal di Jakarta.


Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/cerpen-puisi/batu-batu-bercahaya-3.html

Senin, 14 April 2008

Pilihan Solusi dengan Euthanasia



Langit masih pekat... Kala senja yang memerah terengah menyongsong pungkasan hari. Mega berarak menghias bias-bias langit Jogja. Daun-daun akasia jatuh kering bertebaran ke sana kemari terbelai semilir angin yang mengoyak hampa. Gugur dan tersapu begitu saja.


Suatu senja yang syahdu, terdengar lantunan murottal masjid seberang melafadzkan kalimatullah. Hhh… Ada teduh yang menyeruak ke permukaan hati kala ayat-ayat itu diperdengarkan. Ada kerinduan yang membuncah mengelana di ruang-ruang jiwa yang selama ini mati.


Rey tercenung beberapa jenak. Ditatapnya lekat sepasang mata indah di hadapannya. Ingin dia menyelami lebih jauh mata yang kian layu itu. Ingin berbaur dengan buliran-buliran air yang kadang menggenang di pelupuk mata itu. Mata itu kini menggariskan seulas senyum lewat kerlingnya.


Angin sore masih berembus, menyibak derai-derai rambut Asa yang kian menipis. Asa yang kadang harus menangis sebelum menjalani kemoterapinya. Dia tak berani membayangkan rambut-rambutnya rontok dan lama-kelamaan habis. Kini rambut hitam panjangnya memang mulai rontok.


"Euthanasia," gumam Asa tiba-tiba. Hati Rey sedikit bergetar mendengar kata itu. Kata yang benar-benar mengusik malam-malam Rey dua tahun lalu. "Kau tak sedang berpikir melakukannya, kan?" tanya Rey sambil menutupi cemasnya.


"Kau takut aku akan meninggalkanmu?" Rey mengangguk. Asa tersenyum puas mendapati jawaban Rey. "Kematianku sudah diatur, kenapa aku nekat mendahului kehendak-Nya dengan merencanakan kematianku sendiri?" tanya Asa pada dirinya, mengingat betapa gigihnya dia dulu meminta euthanasia. Dia tersenyum getir membayangkan Izrail mencabut nyawanya. "Sekarang, aku tak takut mati karena aku telah menemukanmu. Lebih hebatnya, aku telah menemukan Yang Memberiku Hidup, Yang Memberiku Penyakit," ujarnya.


Rey tersenyum kaku. Ada haru yang memenuhi rongga jiwanya. Jika tak takut melihat Asa sedih, dia pasti telah menangis. Dia membayangkan jika euthanasia itu benar-benar terjadi.



Dua tahun lalu.

Kampus itu telah sepi. Hanya segelintir aktivis kampus terlihat sibuk. "Euthanasia?" Rey terbelalak.


"Ya, kau mahasiswa kedokteran pasti tahu tentang hal itu."

"Kau tidak berniat melakukannya, kan ?"

"Kau tahu, aku lelah dengan hidupku. Terlebih, saat aku mendapati kenyataan bahwa penyakit ganas sedang menggerogoti tubuhku."


"Tapi, kita sedang berjuang mengupayakan kesembuhanmu. Kau harus optimistis. Asa, ayahku akan membawamu ke Singapura!"

"Tapi, aku telah mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Mungkin penyakit inilah yang akan membawaku pada kematian hingga aku benar-benar berpisah dengan kehidupan yang melelahkan ini. Tapi, aku juga tidak sanggup terlalu lama merasakan sakitnya. Euthanasialah jalan keluarnya."


"Dari mana kau dapat pikiran seperti itu? Benar-benar gila! Jelas-jelas itu bertentangan dengan agama. Negara pun tidak mengizinkan euthanasia. Itu sama saja dengan bunuh diri. Tolong lupakan rencanamu itu." Rey mencoba meyakinkan Asa.


"Aku hanya ingin mengakhiri penderitaanku dengan tenang, tanpa kurasakan lagi sakit seperti ini."

"Asa, di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita. Kau harus bersyukur dengan keadaanmu sekarang."


"Sudahlah, Rey. Aku yang menjalani hidupku dan aku yang merasakan sakitku. Kenapa kamu harus ikut campur?" Asa beranjak dari duduknya. Rey meraih tangannya.

"Kau harus janji tidak akan membicarakan masalah ini lagi. Aku nggak akan membiarkanmu seperti ini lagi."


"Kau tak berhak, Rey. Akulah yang memegang kemudi hidupku. Jika aku lelah dan merasa nggak sanggup lagi, apa aku harus bertahan?"

"Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu, Asa. Betapa mudahnya kamu mengambil keputusan konyol itu."


"Tapi, itu juga demi kemanusiaan, Rey. Aku harus melakukannya, dengan atau tanpa izinmu!" Rey tertunduk lesu, tak habis pikir dengan apa yang baru saja dikatakan Asa. Euthanasia, suntik mati! Ah, dia memang benar-benar sakit! Mungkin penyakitnya sudah sampai ke saraf dan meracuni otaknya.


Asa meninggalkan ruang praktikum itu dengan segenap kecewa. Ya, dia tahu Rey pasti tak setuju dengan idenya. Yang dia sesalkan, kedatangannya ternyata sia-sia. Dia tak berhasil mengorek info tentang euthanasia. Padahal, dia berharap Rey yang sebentar lagi menamatkan pendidikan dokternya itu akan memberinya gambaran mengenai euthanasia.


Masalah Rey setuju atau tidak, dia tak peduli. Rey tak punya andil dalam hidup Asa. Rey yang dengan mudahnya memberikan semangat-semangat hidup tak pernah merasakan sakit dan penderitaannya. Seakan-akan, hidup yang dilaluinya begitu mudah. Asa tersenyum dalam bekunya, mencibir Rey dengan segala ucapan-ucapan klisenya.


Masih di kampus itu, pergelaran teater baru saja usai. Asa dan Rey menyusuri malam di jalan-jalan Jogja. Sebenarnya, Rey tak enak jika harus berjalan dengan gadis itu. Tapi, tentu dia tak tega membiarkannya pulang sendirian.


"Selamat, pertunjukan yang menarik. Kau berbakat menjadi sutradara," ucap Rey membuka pembicaraan.

"Hanya sebuah seni yang kudedikasikan untuk hidupku."

"Juga untuk orang-orang di sekelilingmu."

"Tidak. Seni untuk semua kebohongan dan dusta."

"Egois."

"Apa kau pikir kedua tangan ayahmu, dokter terkenal itu, mampu menyembuhkan kanker otakku?"


"Jika Allah menghendaki, tidak ada yang mustahil dalam hidupmu." Rey menghentikan langkah, menatap Asa.

"Tapi, Dia memang menghendakiku mati karena penyakit ini. Aku memilih mati daripada menderita seperti ini."


"Kau pintar, Asa. Tapi sayang, kau tak punya mata hati. Padahal, mata hati itulah yang akan menuntun langkahmu dalam keadaan apa pun. Saat di ambang maut pun."

"Apa maksudmu aku tak punya mata hati?" Langkah Asa kini terhenti. Menatap Rey dengan penuh tanya.


"Hidup ini indah, Asa, jika kamu mau membuka mata hatimu. Ada banyak hal yang nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kebahagiaan, kenyamanan, dan cinta."

"Siapa bilang aku tak punya mata hati? Di hidupku, ada seni dan sastra yang kujiwai dengan hati. Tapi, sebentar lagi kanker otak akan merenggutnya. Perlahan, otakku tak akan lagi mampu menuruti jiwaku. Aku nggak akan bisa menulis puisi lagi, script-script teater. Aku akan kehilangan jiwaku. Lalu, apa artinya hidup?"


"Tanya pada diri kamu, apa yang paling kau rindukan saat ini? Terlalu lama kau lupakan Dia, yang memberimu hidup, yang memberimu penyakit. Dia yang memberimu limpahan harta yang kau hamburkan setiap malam di klub-klub laknat itu. Kini, Dia menegurmu. Dia tak mau kau lebih lama mengonsumsi hidup yang terdengar manis itu. Sekarang, apa kau ingin menghabisi waktu yang tersisa sedemikian singkat ini? Asa, euthanasia bukan jalan keluar. Ia akan makin menambah dosamu," kata Rey panjang lebar.


***


Asa menerawang langit yang bertabur bintang gemintang. Air matanya tiba-tiba meleleh. Separo hatinya beterbangan ke masa-masa sebelum dia divonis kanker otak stadium lanjut. Klub malam, alkohol, dugem, sex, dan pil-pil itu. Hatinya nanar mengingat masa lalunya sendiri. Sementara, hati yang lainnya larut dalam hamparan langit malam yang seakan tak mampu lagi menampung dosanya. Teringat ujar guru mengajinya dulu di TPA semasa kecil, tentang surga dan neraka. Jika mati, akankah dia menderita lagi di neraka? Sedangkan dia sudah merasa tak kuat dengan penderitaanya di dunia?

Ya, dia harus berubah.


***


Waktu kian menari di tepian hari. Saat hidup adalah kenyataan terindah yang terpupuh sempurna di bait-bait syair kuasa-Nya. Saat raga dan hati adalah lakon yang pasti akan tersenyum penuh kemenangan.


Asa itu cerah lagi, tak jadi meredup seiring senja yang membayang. Sinar-sinar itu membias di antara mentari yang setia terbit. Mata hatinya mencoba membaca setiap isyarat Rabb-nya.


"Tak ada yang tahu skenario indah-Nya. Kaulah klimaks dari segala pencarianku. Aku ingin menggenapkan separo dien-ku dengan melewatkan sisa umurmu denganku," ujar Rey kala itu, setelah acara wisuda berakhir. Asa merasa tak pantas mendapatkan lelaki seindah Rey.


***


Azan magrib membuyarkan kisah dua tahun silam. Kini, dinikmatinya senyum Asa yang terpagut di hadapannya. Rasanya bagi Rey, tidak ada lagi kebahagiaan selain melihat Asa tersenyum. Senyum di senja itu akhirnya menutup kisah hidup Asa. Dia telah mengembuskan napas untuk terakhir kalinya.
(Sekarwidya Prabanastiti)

Penulis adalah pelajar SMAN 1 Magetan.


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=336088

Sepasang Mata Indah


"Hei, lihat deh, cewek bule itu. Cantik ya?"

"Tapi, matanya kok nggak cokelat, biru, atau hijau ya? Lihat, orang tuanya aja warna matanya biru,"

"Bukan anak kandung kali,"


Seribu satu bisikan selalu didengar oleh Shasa dari mulut-mulut usil. Shasa adalah putri dari pasangan berdarah Barat yang tinggal di Indonesia. Shasa terlahir dengan kesempurnaan. Hanya dua hal yang selalu membuat mahasiswi berparas cantik dan berotak encer itu kosong dan aneh. Tidak ada cinta dalam keluarganya. Ditambah lagi, bisikan nakal dari mulut orang-orang usil tentang matanya.


Aku anak siapa? Kenapa mataku tak sama dengan mama dan papa? Enak saja mulut-mulut sial itu berkata kalau aku bukan anak kandung! Mereka pikir aku tidak tahu apa yang mereka katakan? Aku tahu! Aku bingung, apakah selama ini aku terlalu bodoh sehingga tak menyadari hal ini...


Shasa menangis sambil menorehkan isi hatinya ke dalam diary. Tak pernah sekali pun Shasa sesedih ini saat mendengar bisikan usil itu. Apa salahnya mata hitam? Toh, hitam juga warna mutiara dan itu indah.


Itulah yang selama ini Shasa pikirkan. Tapi kali ini, semuanya sungguh berbeda. Kata-kata tersebut tak mampu membendung amarah dan kesedihannya. Satu kalimat yang baru saja dia dengar tadi benar-benar membuatnya merasa bodoh.


***


Esoknya, Shasa bertekad menemukan jawaban atas segala kegalauan. Pagi ini juga, dia akan bertanya langsung kepada orang tuanya. Sayang, melihat sikap kedua orang tuanya yang selalu dingin setiap hari, Shasa memilih mengurungkan niat. Mungkin lebih baik tutup mulut daripada harus berhadapan dengan tatapan dingin mereka.


Tempat parkir mobil di kampus Shasa tampak berbeda pagi ini. Ada sedan merah mencolok yang menempati salah satu lahan kosong di sana. Punya siapa itu? Tanya Shasa dalam hati. Dia memang baru sebulan kuliah di kampus tersebut. Tapi, kalau untuk urusan mobil apa saja yang biasa parkir di parkiran itu, dia jelas hafal. Belum pernah Shasa melihat sedan merah tersebut.


"Eh, katanya ada mahasiswa baru ya?"
"Beritanya sih gitu. Oya, katanya lagi, mahasiswa baru itu bule lho! Pasti cakep, apalagi kalau matanya biru," Shasa mendengar dua orang mahasiswi berbisik-bisik di belakangnya. Shasa teringat sedan merah itu. "Mungkin mobil tersebut milik mahasiswa baru," batin Shasa. Saat teringat percakapan dua orang tadi tentang mata biru, kesedihan Shasa kembali terbayang.


***


Jam empat sore. Kuliah hari ini baru saja selesai. Ketika hendak mengeluarkan mobil, Shasa melihat sosok bule berjalan menuju sedan merah itu. Benar kata mereka, dia punya mata biru. Shasa benar-benar terkesima melihat mata mahasiswa baru tersebut. Mata mahasiswa itu memancarkan sesuatu bagi Shasa. Sesuatu yang tidak pernah terpancar dari mata kedua orang tuanya. Mungkin cinta. Selama ini, Shasa sama sekali belum merasakan apa itu cinta.


Sampai di rumah, perasaan berbunga-bunga Shasa hilang ketika melihat mamanya menangis tersedu-sedu sambil memeluk foto seseorang. Papanya hanya menenggak tequila di sudut ruangan.


Shasa mendekati mama dan berusaha memeluknya. Bukan pelukan balasan yang dia terima, mama Shasa malah membentak-bentak Shasa. "Pergi kau pembawa petaka!" bentak sang Mama sambil mendorong Shasa hingga tersungkur ke lantai. Karena terlalu takut akan sikap sang Mama, Shasa berlari ke kamar tanpa menghiraukan buku-bukunya yang jatuh berserakan di ruang tengah.


Di dalam kamar, Shasa kembali menangis. Dia bingung tentang apa yang sedang terjadi. Esoknya, Shasa memutuskan tidak sarapan. Dia pergi kuliah begitu saja tanpa berbicara apa pun kepada orang tuanya.


"Tunggu!" ujar mama Shasa, mencegah Shasa yang hendak meninggalkan ruang makan. "Semalam mama baca diary-mu. Sepertinya, kamu memang sudah harus tahu," nada bicara mama Shasa terdengar dingin dan pilu. "Kau memang bukan anakku. Kau pembawa petaka! Kau yang membuat Anyta kecilku meninggal!" mama Shasa mulai menangis setelah mengatakan itu.


Lutut Shasa terasa sangat lemas mendengar ucapan Mama. Shasa terpukul dengan kejadian itu. Selama di kampus, pikirannya tidak konsentrasi. Dia bahkan menabrak seseorang saat keluar kelas. "Sorry, aku nggak lihat kamu di situ. Aku John, kamu?" kata orang yang baru saja menabrak Shasa sambil menjulurkan tangan.


Astaga! Ini kan mahasiswa baru yang bermata biru itu! Hati Shasa berdegup keras saat hendak menjabat tangan John. "Mm... nggak apa-apa kok, aku juga nggak lihat kamu. Aku Shasa," ujarnya.


Suatu awal yang bagus. Selama ini, Shasa tidak punya teman untuk menemani minum kopi, bercanda, dan sharing. John merupakan orang yang tepat untuk memenuhi kekosongan jiwa Shasa. Perlahan-lahan, Shasa mampu melupakan kebingungan tentang dirinya, orang tua, dan Anyta. Apa pun hubungan mereka, Shasa tak peduli.


Sayang, kebahagiaan Shasa harus dibayar mahal. Suatu hari, John pingsan. Keluarga John bercerita kepada Shasa bahwa John sudah lama mengidap leukemia. Sekarang, dia koma. Shasa shock. Orang yang mampu membuat hidupnya berarti itu kini tergeletak lemas di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan S

Jumat, 11 April 2008

Secangkir Kopi Hangat

Fairuz mendengarkan obrolan ibu-ibu tetangga barunya. Dia paling muda di antara mereka. Sesekali ia tersenyum atau tertawa kecil menanggapi. Baginya itu bukan obrolan biasa. Dari mereka terpetik juga sebuah masukan yang baik. Sesuatu yang selama ini belum diketahuinya.

Tadinya ia hanya bermaksud mengantar kue ke rumah Ibu Desy. Ia baru saja selesai memasaknya. Ternyata di situ sudah ada Ibu Wina, Ibu Hesty dan Ibu Nani. Ia tidak diizinkan pergi. Mereka menyuruhnya duduk dan mengobrol. Dalam sekejap, kue yang ia bawa telah berpindah ke mulut mereka masing-masing.

"Sebelum saya menikah dengan Bapak si Dodo, sering dia bawa saya makan di Restauran. Pokoknya aneka macam jajanan pernah kami coba. Setelah menikah sampai punya anak tiga, dalam setahun aja belum tentu kami makan di luar!" Ibu Desy menggambarkan sosok suaminya. "Memang begitulah lelaki, Bu. Penilaian kita sebelum menikah bisa berbeda dengan setelah kita menikah. Apalagi setelah punya anak," tambah Ibu Wina.

"Ya, ialah. Kita, para isteri dapat mengetahui karakter suami kita sendiri setelah menikah dengannya. Di dalam kancah rumah tanggalah akan terbongkar semua karakternya. Tidak mungkin disembunyikan lagi seperti waktu pacaran," Ibu Hesty menimpali. "Apalagi yang mau disembunyikannya. Namanya juga sudah satu atap, satu tempat tidur, satu nafas pula," sahut Ibu Nani sambil tertawa, diikuti ibu-ibu lain. Tak terkecuali Fairuz.

Sejak kepindahannya beberapa minggu lalu, baru kali ini ia bisa berada satu ruangan dan mengobrol dengan ibu-ibu di sekitar rumahnya. Biasanya ia hanya berbasa-basi dan bertegur sapa. Setiap hari dia disibukkan urusan mengatur dan menyusun barang-barangnya, yang dibawa dari rumah kontrakan lama.

Fairuz merasa senang dengan bahan yang mereka obrolkan. Sesuatu yang memang benar-benar dialami. Bukannya cerita mengada-ada atau menggosip. Kalau itu, jelas-jelas ia tak suka. Apalagi kalau suaminya tahu, pastilah ia akan marah. "Suami saya seringkali membuat saya kesal. Sudahlah dia pulang larut malam, tak bawa uang pula. Sampai di tempat tidur, minta dilayani. Karena saya kesal, saya serahkan saja saya mau diapainnya. Saya sudah tak tahu apa-apa lagi," cerita Ibu Nani.

"Apa dia tidak marah, Ibu seperti itu?" Fairuz balik bertanya. Keningnya berkerut. "Rus, kita harus bisa ngasih pelajaran sama suami kita. Toh untuk kebaikan kita bersama. Seharian kita mengurus anak dan rumah tangga. Jangan dia mau enaknya saja. Dalam rumah tangga, kita kan harus saling berbagi dan memahami," lanjut Ibu Nani.

"Kalau suami saya lain lagi. Dia tidak pernah memeluk dan melakukan hal yang romantis, kecuali untuk berhubungan intim. Sebagai wanita, saya kan juga ingin dimanja. Bukan hanya sebagai sebuah barang yang dibutuhkan, maka dipakai. Lantas kalau tidak dibutuhkan, tidak dianggap. Hubungan yang romantis di antara suami isteri, bukan harus melulu di tempat tidur. Kita bisa ciptakan banyak hal di luar itu," giliran Ibu Hesty bercerita panjang lebar. Dia sudah sepuluh tahun menikah, anaknya dua orang.

"Apa suami Ibu bisa mengerti kemudian?" tanya Fairuz ingin tahu. Ibu-Ibu yang lain ikut menunggu jawaban Ibu Hesty.
"Yah... perlahan-lahan saya bicarakan padanya. Sampai pernah saya mengetes dia. Saya tidur di kamar sebelah. Akhirnya kami berbaikan, sampai sekarang."

Fairuz dan ibu-ibu yang lain tampak manggut-manggut mendengar cerita Ibu Hesty. Ternyata tiap wanita tak pernah sepi dari problematika di dalam rumah tangga. Mungkin kalau para isteri dikumpulkan, akan sangat banyaklah permasalahan yang mereka bawa dari rumah tangga mereka masing-masing.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Pertemuan tak terencana itu pun bubar dengan damai.

"Dek, tolong buatkan abang kopi ya. Taruh di dalam kamar." Deg. Jantung Fairuz berdebar. Bukan karena Faisal menyuruh sesuatu yang tak bisa ia lakukan. Apalah susahnya membuat secangkir kopi hangat. Namun, kali ini ada yang menganggu pikirannya. Sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Faisal.

Setiap kali Faisal meminta dibuatkan secangkir kopi hangat, itu sebuah pertanda Faisal ingin membuka pintu kemesraan dengannya. Ia sudah sangat paham. Padahal baru saja Fairuz merasa kesal dibuatnya. Sudah tiga bulan Faisal berjanji membelikannya sebuah liontin emas. Ada saja kendalanya. Bulan pertama, harus membayar uang sekolah adiknya. Bulan kedua, harus membetulkan seng yang bocor di rumah bapak. Bulan ini, harus membiayai perobatan ibu.

Anehnya, pada saat Faisal tahu hatinya lagi kesal, di situ pulalah ia ingin bemesraan dengannya. Seolah-olah untuk menghilangkan rasa kesalnya. Membuatnya merasa nyaman. Tidak lagi memikirkan tentang masalah yang mereka hadapi. Selama ini memang Fairuz menganggapnya sebagai hal yang wajar, namun hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

"Menyelesaikan masalah dengan berhubungan intim, bukan jalan keluar yang baik. Itu suatu kesalahan besar!" bisiknya pada dirinya sendiri, dan akan ia tegaskan pula pada suaminya.

Di dapur, saat membuatkan kopi, Fairuz bertekad, bila nanti Faisal mulai menyentuhnya, ia akan tepiskan tangannya. Saat tubuh Faisal mendekat ke arahnya, ia akan menjauh darinya. Fairuz pun masuk ke dalam kamar.

"Makasih ya, Sayang. Sini, dekat abang," raut wajah Faisal cerah seperti bulan purnama. Sebaliknya, hati Fairuz berdebar menjalankan rencananya.

"Lho, kok malah menjauh dari abang?"
Tangan Fairuz diraih. Cepat Fairuz menepisnya.
"Bang, kenapa sih setiap Fai kesal, Abang selalu berusaha menghilangkan kesal Fai dengan cara ini. Lama kelamaan Fai tidak suka, Bang. Seolah-olah abang menggampangkan saja perasaan Fai. Tidak memedulikan apa yang Fai inginkan."

Faisal terpana. Sekonyong-konyong Fairuz berubah menjadi seorang hakim di sebuah pengadilan, yang sedang membacakan tuntutannya kepada seorang terdakwa.

Mata Fairuz menyorot tajam, dadanya turun naik seperti orang yang sedang menunjukkan kemarahan. Padahal biasanya, bila Faisal menyentuhnya, maka ia pun akan menunjukkan kemanjaannya sebagai seorang isteri kepada suaminya. Lalu mereka akan larut dalam kemesraan yang dalam. Kini Faisal benar-benar tak dapat mempercayai kenyataan, yang baru saja berlangsung di hadapannya!

Faisal terdiam. Tidak bicara sepatah kata pun. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. Ia keluar dari kamar, membawa kopi yang baru diminum sedikit. Sementara Fairuz tak bisa memejamkan mata di tempat tidurnya.

Besoknya, Faisal tidak menggendongnya saat ia bangun tidur. Tidak ada percakapan hangat dan gurauan, yang disertai pelukan di meja makan. Fairuz memperhatikan dengan ekor matanya, suaminya hanya makan sedikit. Seperti orang tidak berselera. Wajahnya tampak kuyu.

Ketika melepas suaminya di depan pintu, Fairuz merasakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Tiba-tiba ia merasakan hal yang aneh. Ia merasa asing. Sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Lebih baik tidak merasakan hal ini, batinnya.

Seharusnya ia biarkan semuanya berlangsung seperti apa adanya. Tidak perlu suaminya tahu apa yang menjadi kekesalan hatinya. Kenapa tidak ia biarkan suaminya menyentuh dan menciumnya? Apa ia punya hak untuk menolak?

Ia hanya seorang perempuan, datang dari kampung. Semua keluarganya tinggal di kampung. Faisal telah membawanya ke kota. Tentu saja ia tidak sama dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi tetangganya. Baik dari segi pemikiran, maupun latar belakang kehidupan. Sikapnya pada Faisal tidak mencerminkan kesabaran seorang wanita. Ia tidak biasa memberontak. Ibunya selalu mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan.

Malam harinya ia tidak sanggup melihat wajah suaminya. Hatinya didera rasa malu. Sedari tadi ia hanya di kamar, seolah disibukkan sesuatu. Tak terasa sebutir air mata menuruni pipinya yang mulus. Ia menangis. Menahankan perasaan rindu pada suaminya. Dia yang memulai semua ini, dia merasa harus dia pulalah yang mengakhirinya.

Pada saat Fairuz akan ke luar dari kamar, saat yang sama Faisal menuju ke dalam kamar. Tabrakan dua tubuh itu tak dapat dielakkan. Mereka terjatuh. Tangan Faisal terhimpit di bawah tubuh Fairuz. Jarak mereka sangat dekat. Fairuz memejamkan matanya. Sesaat merasakan desah nafas suaminya di wajahnya. Ia merindukan segalanya dari suaminya.

Kemudian mereka pun berdialog. Berupaya memecahkan perseteruan yang telah mendera mereka. Dan, menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. (Rina Mahfuzah Nst)

Sumber: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=329284&kat_id=364

Selasa, 08 April 2008

Aku Ingin Membelai Wajah Ibu

Aku terus saja berjalan walaupun kurasakan gelap menghalangi langkahku yang sudah mulai gontai. Aku hanya ingin segera keluar dari ruang gelap ini. Entah sudah berapa lama aku di ruang gelap terkutuk ini. Ya, terkutuk! Tidak hanya gelap, tapi juga pengap. Memaksaku berkali-kali menarik napas dalam-dalam. Aku harus tetap bernapas sampai aku dapat keluar dari ruang gelap dan pengap sialan ini.

Kucoba rentangkan kedua tanganku ke samping lalu ke depan. Berharap menyentuh sesuatu untuk dapat kujadikan pegangan.

Serta menuntun jalanku yang tak tahu arah ini. Aku terlalu capai, terlalu letih, terlalu lemah untuk dapat terus berjalan melewati ruang ini. Tapi aku tidak yakin, apakah ini suatu ruangan. Sebab, aku merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter ke depan. Namun, tak kunjung menemukan ujung.

Mungkinkah ini sebuah gua? Gua panjang yang tak berujung sehingga aku takkan pernah bisa keluar? Tapi, aku ingin keluar! Aku sudah bosan dan tersiksa berada di sini. Ingin aku mencoba teriak, tapi aku tak bisa.

Mulutku terasa berat. Bahkan untuk mengucapkan satu kata, "Tolong!". Itu saja. Tidak terlalu berlebihan, bukan? Aku butuh sekali pertolongan kali ini. Adakah yang bisa mengeluarkanku dari sini?

***

Masih saja gelap itu ada. Gelap pekat yang membunuhku rapat-rapat sampai membuatku tak berdaya. Aku masih mencoba terus bejalan dengan sisa-sisa napas dan tenaga yang masih melekat di raga. Mungkin, sebentar lagi napas dan tenaga ini hilang tenggelam oleh letih yang menggunung. Aku terhenti sejenak ketika mendengar sebuah suara. Ya, itu suara! Tapi di mana? Aku tak tahu di mana, aku tak bisa melihat. Tapi, aku yakin itu suara. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Hanya gelap. Gelap yang pekat dan hitam. Aku tetap tak bisa melihat.

"Heru, bangun Heru!" Suara perempuan. Suara yang rasanya sangat aku kenal. Suara itu semakin jelas. "Heru, bangun... Ini ibu, Nak!" Ya. Itu suara ibu... Tapi, aku tak bisa melihat. Ketika aku melihat cahaya di depan sana, aku berlari. Aku merasa suara yang mirip ibu itu di dalam cahaya itu. Aku berlari, dan... Hei, aku bisa berlari. Kencang sekali!

Aku terhenti ketika kudengar lagi suara itu. "Heru, bangun!" Suara itu bergetar dan semakin lirih. Seperti suara orang menangis. Lalu, kurasakan sesuatu membelai rambutku. Aku terjaga. "Hei Ibu, aku sudah bangun!"

***

"Kau sudah sadar, Nak?" Aku melempar pandang ke sekeliling dengan mata setengah terpejam. Silau itu masih saja menyerangku. Tapi, kali ini tak berhasil membuat mataku terpejam lagi.

Aku melihat Ibu. Juga bapak, adik, dan kakakku. Bahkan, aku melihat saudara jauh dari bapak dan ibu yang selama ini jarang kutemui. Aku menangkap rasa kekhawatiran di wajah mereka. Namun, wajah ibulah yang paling tenggelam oleh kesedihan. Sinar wajahnya redup, tidak secerah saat mengantarkanku berangkat sekolah.

Aku melihat ke arah Ibu. Ibu tersenyum. Sekali lagi, ibu membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. "Kau sudah sadar, Heru?" tanya ibu, berbisik. "Kau sudah bangun dari pingsanmu,"

"Pingsan?" Aku terkejut.
"Ya, kau tadi mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan?"Aku bertanya pada ibu sekali lagi.
"Sewaktu pulang sekolah, kau tertabrak mobil, Nak," Ibu menjawab sembari membelai rambutku dengan perlahan.

"Apa aku tidak apa-apa, Bu?" Kali ini kuarahkan pandangku ke tangan, badan, lalu kakiku. Tangan kananku terlilit perban sehingga tak bisa lagi kulihat jari-jarinya.

Tangan kanan tak bisa kugerakkan. Kucoba menggerakkan kaki. Linu dan perih kurasakan di kedua kakiku. Lalu, kucoba meraba kepalaku. "Kepalamu terbentur aspal sewaktu kecelakaan tadi." Aku bersyukur. Setidaknya, aku masih bisa melihat anggota tubuhku dengan utuh. Sekali lagi kulihat ibu, bapak, adik, dan saudara-saudara. Kali ini rona wajah mereka berangsur-angsur ceria. Kucoba meraih tangan ibu. Tapi, gelap itu datang dan menyerang lagi. Aku tak bisa melihat apa pun. Aku masuk ruang gelap itu lagi.

***

"Heru, bangun, Nak!" Suara itu terdengar lagi.
"Nak, ini Ibu, Nak" Suara itu bergetar dan terbata-bata, tenggelam oleh isak tangis. Aku mencoba membuka mata. Kulihat ibu tersenyum dengan sunggingan yang dibuat-buat.
Ibu mengusap air mata sambil mencoba tak menunjukkan rasa sedih itu kepadaku. Tapi, aku tahu, ada kesedihan yang mendalam di raut wajah ibu.

Kulihat sekelilingku, kali ini sepi. Tidak seperti tadi. Kali ini hanya ibu yang terus menangis sesenggukan. Tangis yang memecah kesunyian ruang itu.

Tercium bau karbol yang menyengat hidung. Bau khas rumah sakit. Ya, ini rumah sakit. "Ibu kenapa menangis?" Ibu tak menjawab. Malah, tangisnya kian menjadi. Wajah setengah renta yang masih begitu cantik di mataku tersebut semakin tenggelam oleh kesedihan.

Kucoba menggerakkan tanganku. Aku ingin membelai wajah ibu dengan tanganku. Barangkali, itu bisa meredakan tangisnya. Tapi, aku tak bisa menggerakkan tanganku. Kucoba dan kucoba lagi sekuat tenaga, namun tetap gagal.

Saat itu, barulah kusadari suatu hal. Tanganku sudah tidak ada lagi. Hilang. Lenyap. Di mana tanganku?

"Kamu kecelakaan, kedua tanganmu terluka parah dan harus diamputasi, Nak," Ibu berbisik kepadaku. Sekali lagi, air mata ibu deras menguyur membasahi pipinya yang mulai keriput termakan usia.Aku berusaha mengingat lagi apa yang sudah terjadi. Kepalaku terasa sakit sekali saat mencoba kembali mengingat. Aku hanya ingat ketika mencium tangan ibu sebelum berangkat sekolah.

Hanya itu yang kuingat. Selebihnya, aku tak ingat. Kepalaku terasa berat. Sakit sekali seperti ditusuk jarum besi yang panas. Aku hanya menatap wajah ibu yang terus bersedih. Aku tak berani melihat bekas tanganku yang telah hilang diamputasi. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menatap wajah ibu yang tenggelam oleh badai kesedihan.

Aku ingin sekali membelai wajah ibu dengan kedua tanganku. Ingin ... ingin sekali.... Ya Tuhan, betapa inginnya aku membelai wajah rentanya dengan kedua tanganku.
Tapi, aku tak bisa.

Aku sangat menyesal kerena tak pernah membelai wajah ibu dengan kedua tanganku sewaktu masih ada. Aku menyesal tak pernah menyentuh pipinya, membelainya. Aku menyesal tak pernah sempat melakukannya, membelai wajah ayu ibuku.

Kuembuskan napas perlahan. Aku berharap semoga semua ini hanya mimpi. Aku ingin memejamkan mata sekali lagi. Aku ingin masuk ke ruang gelap itu lagi. Nanti, ketika kubuka mata kembali, aku berharap menemukan suasana yang berbeda. Tidak seperti ini.
Aku ingin membelai wajah ibu. (*)

(Syafril Hidayat, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=334765

Sabtu, 05 April 2008

Berhentilah Jadi Pengarang…

DADA Garda mengembang, ketika ia menyodorkan sebuah buku tebal kepada Kakeknya,“Bacalah Kek,karya masterpiece cucumu ini.” Sang Kakek terdiam.Matanya menyorot tajam buku tebal yang tergeletak di meja itu.Puluhan detik, tanpa suara.

Dada Garda masih mengembang, namun ia merasa diganggu oleh detak jantungnya, yang membuat nafasnya naikturun. Garda ingin orang tua itu segera mengambil buku dan membacanya kemudian melontarkan beberapa potong pujian.Bukankah ia merasa satusatunya cucu yang paling dicintai?

Namun,buku itu tetap tak disentuh Kakeknya. Suasana tegang dan canggung menyergap Garda. Garda ingin berdiri dan menggerakkan tangan keriput orang itu untuk mengambil buku itu. Lalu memaksanya untuk melontarkan pujian.Tapi, sorot mata Kakek dirasakan aneh,pagi itu.Bola mata itu menjelma api.

“Ada apa Kek?” Garda mencoba mencairkan suasana. Sang Kakek terdiam. Tangannya membunuh api rokok di asbak, sebelum ia beranjak meninggalkan kursi menuju kamar.Kelebat tubuh Kakek seperti kelebat pedang tajam yang menebas kepala Garda. Dengan perasaan tanpa kepala, Garda menyusul Kakek ke kamarnya. Buku tebal itu masih melekat di tangan Garda.

Pintu kamar itu diketuk-ketuknya. Namun,tak ada jawaban.Pintu kamar itu digedor-gedornya,namun tak ada sahutan.Peluh dingin membasahi tubuh Garda.Tangannya gemetar.Detak jantungnya makin keras. Ia berjalan pelan,ke sofa.Tubuhnya dilemparkan. Dengan mata terpejam,ia menghirup udara kuat-kuat. Berulang kali. Hingga ia sedikit tenang atau setidaknya jantungnya tidak berdegup kencang.

Mata Garda memandang sampul buku yang baru beberapa jam turun dari mesin cetak, Memoar Seorang Jendral Humanis.Ia membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk menulis buku itu. Ia ingin kekalahannya sedikit terbayar oleh pujian yang diharapkan dari kakeknya.Tapi, yang dirasakan justru dadanya sesak.Kenapa kakek tak mau membaca buku itu? Tersinggung? Tidak suka? Atau? Kepalanya mendadak seperti berputar-putar.Tubuhnya terasa lemah. ***

Garda Polska semula tidak tertarik menjadi pengarang. Sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, nilainya selalu buruk dalam pelajaran mengarang. Setiap tugas mengarang tiba,ia merasa seperti terkucil di tengah lautan kebisuan dalam kelas.Ia hanyabisamencoret- coretbeberapakatadi kertasnya.

Atau iseng-iseng membuat sketsa wajah gurunya, seorang perempuan tua dengan mahkota uban dan kaca matatebalyangmenyimpankeangkeran Garda selalu menambahi mulut gurunya dengan dua taring yang panjang. Kelas pun selalu menjadi ruang hampa dan asing yang menyiksanya.

Dan ketika ia memandang teman-temannya yang suntuk menenggelamkan kepala di antara dua tangannya,ia merasa melihat patung-patung tanah liat yang patuh oleh perintah guru yang baginya menyebalkan itu. Mengarang, baginya tak lebih dari pekerjaan orang malas,namun merasa memiliki kecerdasan untuk menggapai gumpalan ilham.

Perjuangan bergelut dengan gagasan dan bahasa, baginya tak lebih dari orang sinting yang merasa mampu memadamkan lautan minyak yang terbakar. Untuk menumpahkan rasa kesalnya, ia hanya menulis kalimat pendek, “Maaf, hari ini ilham tidak datang, mungkin sang ilham sedang flu !”.

Kertas itu lalu diserahkan kepala gurunya, ketika jam pelajaran mengarang usai. “Kamu pikir ini lucu?! Kalau memang ingin jadi badut, tinggalkan sekolah ini! Barangkali ada rombongan sirkus mau menerima kamu!”guru bermahkota uban itu menghardik. “Tapi… maaf… saya kira… sekolahini, eee… tak lebih dari rombongan sirkus. Dan… kami hanyalah monyet-monyet kecil yang diperintah untuk meloncat atau jungkir balik,”ujar Garda tenang.

Guru bermahkota uban itu gusar, marah namun juga tercengang dengan ucapan Garda yang aneh, tak biasa untuk seorang murid sekolah menengah pertama. “Orang tuamu pengarang?” Guru melunakkan ucapannya. “Bukan. Mereka hanya pegawai kecil di sebuah kantor pemerintah, di Desa Toreador.” “Ada di antara saudaramu atau orang-orang dekatmu yang menjadi pengarang?”

“Ada… Kakek saya.” “Siapa?” “Baros Polska…” Guru itu terhenyak,“Baros Polska? Benarkah? Dia pengarang sangat terkenal? Api Membakar Salju adalah novelnya yang selalu aku kenang…” Guru itu mendadak ramah, “Kamu membacanya juga?” Garda menggeleng, “Saya tidak suka sastra. Saya tidak suka mengarang…” “Kamu cucu yang durhaka… Kamu menyedihkan…” ujar guru itu sambil mengemasi buku-buku dan meninggalkan kelas. ***

Mata Garda terbuka. Dipandangnya langit-langit kamar. Pita ingatannya pun berputar: kenangan demi kenangan timbul dan tenggelam.Terus berubah-ubah, hingga berhenti pada peristiwa yang membuat dia tersenyum. Di sana, ia melihat dirinya. Berdiri di atas panggung, bicara di belakang podium.

Setelan jas hitam membuat ia tampak gagah. Ia mencukil pengalamannya waktu masih duduk di sekolah menengah pertama, di kota kecil Grosphil. “Satu-satunya yang saya benci adalahmengarang, waktuitu…”ujarnya setelah ia bercerita panjang lebar soal guru sastranya atau pelajaran sastra yang selalu menyiksanya. Kalau sekarang saya menulis buku, sebenarnya itu tak lebih karena saya sedang tersesat…

” Orang-orang tertawa. Bertepuk tangan. Peluncuran buku Memoar Jendral Humanis siang itu di Balai Pengarang Nagara,menjadi riuh rendah. Para pengagum Garda tak menyangka, pengarang papan atas itu semula tak lebih dari murid malas. “Dunia sastra ternyata malah mengutukku jadi pengarang.Padahal citacitaku ingin jadi dokter atau tentara. Karena bagiku, hanya dua profesi itu yang hebat.Tapi ternyata,aku tidak berbakat menyuntik atau menembak…” seloroh Garda.Orang-orang tertawa. ***

Pagi masih malas menyingkap kabut yang membungkus kota Fugaz.Garda menaikkan kerah mantel beruangnya, menembus kabut, berjalan menuju perpustakaan kampus.Di tangga gedung itu ia dicegat Dizzy, mahasiswi yang terkenal progresif. “Masih mau jadi kutu buku,sementara jutaan orang lapar dan terbungkam?” ujar Diizy dengan senyum mengembang. Tangannya masih menggenggam poster bertuliskan,“Turunkan Si Mulut Besar!”

“Kamu mau ke mana sayang?” Garda mencoba menggoda. “Kamu pikir aku mau ke kamar mayat? Membedah-bedah jasad?” “Kenapa harus tegang, sayang? Kamu mau turun ke jalan?” “Harga-harga kebutuhan pokok naik lagi.Juga bensin dan solar! Si Mulut Besar itu mengira bus kota bisa berjalan dengan air dan rakyat bisa hidup dengan harga-harga yang mencekik.

Dia anggap, orang-orang sakit bisa membayar rekening obat dengan kertas karbon! Gila,kan?! Rakyat mengerjat- ngerjat, dia malah bilang,“Semua harus paham!”Paham apanya? Kalau dia tak paham rakyat, turun saja dari istana!” Dizzy bicara berapi-api, hingga hawa dingin tak dirasakannya lagi. “Tapi kenapa kamu dulu memilihnya?” “Aku abstain…” “Jadi kamu tak punya hak protes?”

“Hei… aku bukan penonton, bodoh.” Dizzy berjalan bergegas. Garda masih mencium aroma parfum bercampur keringat perempuan langsing yang wajahnya mengingat dia pada bintang film pujaannya Meg Ryan. “Dizzy.Tunggu!!” Itulah pertemuan terakhir Garda dengan Dizzy, sejak demonstrasi berdarah di Kota Fugaz.Ada yang bilang dia ditembak.Ada yang bilang dia hilang atau dihilangkan.Tapi juga ada yang bilang, Dizzy tak mau bertemu Garda sampai kapan pun, terutama sejak bukunya Memoar Sang Jendral Humanis,terbit. ***

Garda menatap wajahnya di cermin. Rongga dadanya terasa sesak. Apa salahnya aku menulis buku memoar sang Jenderal yang oleh Dizzy selalu dipanggil dengan Si Mulut Besar itu? Bukankah ketika menjadi presiden, ia dipilih rakyat secara sah? Garda memandang wajahnya di cermin.

Tampak guratan-guratan memenuhi lembah pipinya. Dizzy dan semua temannya yang sok heroik itu, tak lebih dari para pemimpi. Seolah perubahan bisa diciptakan sambil makan pizza atau hamburger dan menyedot ganja.Aku sangat tidak senang pada mereka yang suka memborong kebenaran.

Garda masih memandang wajahnya di cermin. Garda kaget.Mendadak kakeknya keluar dari kamar.Tapi mulut tetap membeku. Garda mencoba menawarkan anggur.Tapi orang tua itu memilih menyedu kopi dan membawanya ke kamarnya. Wajah Dizzy dan wajah kakek berputar-putar di benak Garda. Garda tidak paham. Mestinya sang kakek bangga punya cucu yang dipilih menulis memoar seorang presiden.

(Aku menulis secara objektif,kek.Aku lukiskan susah payah Si Mulut Besar itu berjuang hingga jadi jenderal dan berhasil memimpin perubahan di negeri kita. Dia telah membebaskan kita dari cengkeraman para koruptor, pembalak liar atau para pialang kekuasaan yang berkedok parlemen. Aku lukiskan bagaimana sang Jenderal itu selalu menangis melihat anak-anak miskin kurang gizi, atau bayi-bayi mati setiap hitungan detik,atau anak-anak telantar di jalanjalan atau para penganggur berbaris di jalan-jalan Ibu Kota…)

Garda ingin mengetuk pintu. Ingin menjelaskan semuanya.Tapi langkahnya tertahan.Tangannya gemetar.Buku itu jatuh. Kakek mendadak membuka pintu. “Berhentilah menjadi pengarang, kalau hanya ingin menjual kebohongan,” Kakek itu menutup pintu kamar.

“Sebentar Kek.Aku juga mengkritik Si Mulut Besar.Kukatakan dia tak berdaya menghadapi para saudagar…” “Apa? Kritik? Akrobat kata-kata, maksudmu? Kamu mestinya jadi badut, main di pasar-pasar. Ganti topeng setiap hari.” Kakek kembali menutup pintu rapat-rapat. “Kek…Tunggu… Aku hanya ingin menjadi cucu pengarang.”

“Pengarang tak pernah punya anak, apalagi cucu.”Terdengar suara Kakek dari dalam kamar. Tubuh Garda seperti dirajang katakata Kakek yang menjelma jadi pisau samurai. Ia merasakan bagian-bagian tubuhnya tanggal satu persatu: kepala, dada,perut,tangan,hingga kaki.*** Yogyakarta,2007-2008

INDRA TRANGGONO,
lahir di Yogyakarta 23 Maret 1960. Menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Anoman Ringsek (2000) Iblis Ngambek (2003). Kini tinggal di Yogya dan banyak melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya.

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/cerpen-puisi/berhentilah-jadi-pengarang-2.html

Minggu, 30 Maret 2008

Kado Paling Istimewa untuk Bapak


Oleh: Fathul Abas

Hari ini terasa panas sekali. Apalagi kalau sedang berdesak-desakan di pasar tradisional seperti ini. Panasnya bahkan terasa berkali lipat. Hari ini aku sedang mencari sesuatu buat ayah. Sesuatu yang spesial buatnya. Besok lusa, bapak berulang tahun. Sudah lama aku tidak merayakan ulang tahunnya. Bahkan, ketemu saja aku tidak pernah. Semua ini karena aku merantau ke kota lain.

Ah, aku jadi teringat peristiwa itu…

"Buat apa tho kuliah iku? Bapak yo ora duwe dhuwit, Le, buat bayar. Toh, di rumah ada sawah. Sawah itu aja kamu rawat."

"Bapak, aku ora minta Bapak buat bayarin kuliahnya Arman. Arman cuma minta doa restu Bapak. Arman mau kuliah sambil kerja di sana, Pak."

"Kerja apa? Lha wong ijazah kamu cuma lulusan SMA."

"Ya wis, Bapak juga tau toh kalau ijazah SMA itu tidak ada apa-apanya. Makanya, Bapak izinkan Arman kuliah."

"Pokoknya, Bapak ora ngijinin kamu kuliah. Kamu harus tetep di rumah bantu Bapak di sawah."

Aku langsung pergi ke kamar setelah mendengar perkataan bapak. Entah apa yang kurasakan saat itu. Bingung? Mungkin juga. Benar kata bapak, mencari kerja dengan ijazah SMA sangat sulit. Yang punya ijazah sarjana saja masih sulit nyari kerja, apalagi aku.

Tapi, kalau aku tidak kuliah dan cuma jaga sawah, aku juga tidak bisa meraih cita-citaku sebagai guru. Pikiranku terus berputar. Lama kelamaan, aku tambah puyeng.

Tok, tok, tok...
Kudengar suara ketukan pintu dari luar.
"Man, ini Ibu, Nak..."

Aku langsung membukakan pintu buat ibu. Saat itu, aku melihat wajahnya nan lembut. Rasa bingungku jadi hilang tak terbekas seketika itu juga. Namun, kulihat mata ibu yang memerah bekas tangisan. Mungkin, tadi ibu mendengar semua pembicaraanku dengan bapak tadi.

"Man, kamu ora usah ngelawan bapakmu tho, Nak. Bapakmu itu wataknya keras, ora bakal bisa berubah."

Mendengar apa yang ibu katakan, aku langsung kecewa. Padahal, selama ini ibu selalu membela dan memberi motivasi dalam segala keadaanku. Sekarang, ibu bahkan tidak memberiku semangat, malah menyuruhku menuruti kemauan bapak.

"Ibu kok gitu, tho. Ibu juga tau hidup di zaman sekarang tidaklah gampang. Yang bodoh akan menjadi buruh dan pembantu bagi yang pintar serta bermartabat tinggi. Ibu mau Arman jadi seorang petani selamanya?" ungkapku pada Ibu.

"Ibu tidak ingin punya anak lulusan sarjana, punya titel seorang sarjana pendidikan yang menjadi guru, yang punya mobil, atau yang bisa ngajak ibu jalan-jalan ke mana pun Ibu inginkan?" Kulihat ibu meneteskan air mata. Aku pun sebenarnya tidak tega mengatakan semua ini. Tapi, aku harus melakukannya.

"Ibu ingin, Nak. Ingin sekali. Tapi, kamu nanti bayar kuliahmu pakai uang apa? Bapak dan Ibu di sini ora bisa biayain kamu kuliah. Buat makan sehari-hari aja susah," kata ibuku sambil menangis.

"Bu, Arman bakal cari kerjaan supaya bisa biayain kuliah Arman sendiri. Walau berbekal ijazah SMA, Arman yakin, Bu."

"Man, kamu anak laki-laki Ibu satu-satunya. Kamu adalah anak yang paling Ibu sayangi. Mbak kamu udah berkeluarga, tinggal kamu yang kami punya."

"Justru karena Arman anak laki-laki satu-satunya, Bu, Arman merasa punya kewajiban. Arman pengin buat Ibu dan bapak bahagia, juga bisa memberangkatkan Bapak sama ibu untuk pergi haji," kataku meyakinkan ibu.

Ibu mengusap air matanya, "Kamu memang sama seperti bapakmu. Keras kepala." Ibu mengelus kepalaku sambil tersenyum tipis. Aku bahagia melihatnya. Ibu lalu keluar.

Aku bingung sekarang. Aku sangat menyayangi ibu. Sangat sulit untuk berpisah dengannya. Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang? Tiba-tiba aku punya pikiran untuk kabur dari rumah. Mungkin, itu cara satu-satunya untuk membuktikan pada bapak dan ibu kalau aku bisa meraih cita-citaku.

Aku segera merapikan baju-bajuku dan mengambil semua uang simpananku selama ini. Aku hitung semua. "Alhamdulillah, ada tujuh juta. Tidak percuma aku menabung dan menyisihkan uang jajanku selama ini."

Lantas, kutulis sepucuk surat untuk ibu dan bapak.


Untuk Bapak dan Ibuku tercinta
Bapak dan Ibu... Arman menulis surat ini dengan linangan air mata. Dengan rasa sesal dan rasa sedih, Arman meninggalkan surat ini untuk Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibuku tercinta, Arman sebenarnya tidak ingin meninggalkan Bapak dan Ibu dengan cara seperti ini. Tapi, Bapak dan Ibu tidak bisa mengerti apa yang Arman inginkan.

Arman hanya ingin meraih cita-cita dan bisa membahagiakan Bapak dan Ibu. Kelak, Arman janji akan pulang dengan membawa undangan wisuda Arman. Arman hanya meminta doa dan restu Bapak dan Ibu agar apa yang Arman lakukan dan cita-citakan dapat berhasil.

Maafkan Arman, ya, Pak. Ini semua demi masa depan Arman. Sekali lagi doakanlah Arman selalu agar bisa meraih cita-cita.

Ananda Tercinta Arman


Peristiwa itu selalu menjadi kenangan. Tapi, kali ini aku benar-benar membawa apa yang aku janjikan. Undangan untuk pelaksanaan wisuda yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.

Lima jam lagi, aku akan tiba di terminal. Aku udah tak sabar ingin bertemu bapak dan ibu. Sudah lama sekali rasanya. Bagaimana ya ekspresi mereka nanti? Aku tersenyum-senyum sendiri. Hingga kemudian, aku tertidur.

***

Tak terasa, aku sudah sampai di terminal. Dari terminal ini, aku harus naik angkot untuk menuju desaku. Desaku memang agak terpencil, jaraknya lumayan jauh dari terminal. Sepanjang perjalanan, kuamati setiap jalan dan pemandangan di sekitar. Sudah banyak berubah dari saat kutinggalkan dulu.

Akhirnya, aku sampai di gerbang desaku. Saat itu, matahari berada tepat di atasku. Biasanya, orang-orang sedang pergi ke sawah sekarang. Aku segera melangkahkan kaki menuju rumah.

Rumahku tidak berubah. Catnya masih sama seperti dulu, hijau. Warna favorit Ibu. Halamannya juga tidak berubah. Hanya pohon mangga besar yang dulu sering kupanjat yang tidak ada.

"Assalamualaikum," aku tak sabar mendengar jawaban salamku.

"Waalaikumsalam," kulihat seorang perempuan berumur lima puluh tahunan keluar dari dalam rumah. Aku segera berlari dan bersujud di kakinya. Air mataku tak terbendung lagi. Akhirnya, aku bisa bertemu dengan ibu.

"Ibu…" segera kupanggil namanya. Ibu pun langsung menuntunku berdiri. Kupandangi wajahnya. Ibu menangis. Walau sudah tua, wajahnya masih kelihatan segar dan kecantikannya pun masih terlihat.

"Bu, Arman kangen Ibu… Bapak mana, Bu?" Aku berlari ke dalam rumah dan mencari bapak. "Pasti bapak lagi di sawah, ya, Bu?"

"Bu, ini Arman bawakan apa yang Arman janjikan pada Ibu dan Bapak, undangan wisuda. Selasa depan Arman diwisuda, Bu... Arman juga bawa pakaian untuk dipakai Ibu dan Bapak di wisuda nanti." Saat itu, kupandang wajah ibu. Dia menangis.

"Ibu ... kok menangis?" tanyaku.
"Bapakmu, Man...." Ibu bicara sambil menangis.
"Ada apa dengan bapak, Bu? Bapak masih marah sama Arman, ya?" tanyaku lagi.
"Bapakmu, bapakmu.... Bapakmu meninggal satu tahun yang lalu, Nak."

Aku kaget mendengar apa yang ibu katakan. Bungkusan plastik berisi pakaian Ibu dan Bapak langsung jatuh. Air mataku tumpah.

"Bapak....meninggal, Bu? Bapak telah meninggal? Nggak mungkin, Bu..." Aku segera memeluk Ibu. Aku merasa menjadi anak durhaka, tangisku pun semakin jadi.

***

"Man, makan dulu, Nak," kata ibu malam itu.
"Arman ndak lapar, Bu." Ibu menghampiriku.
"Man, bapakmu bahagia sekali ketika kamu berangkat. Setiap malam dia bangun dan mendoakanmu. Dia bangga punya anak seperti kamu, Man." Aku memandang wajah ibu.

Mendengar perkataan ibu, aku semakin bahagia. Apalagi, ketika hari wisuda tiba, gelar mahasiswa terbaik berhasil kuperoleh. Saat berjalan ke arah panggung, aku ingat bapak. Ribuan tepuk tangan kudengar. Di sebelah sana, kulihat ibu tersenyum bangga padaku.

"Bapak, semua ini kupersembahkan untukmu. Semua yang kuraih sekarang semoga menjadi kado yang membahagiakanmu di alam sana." batinku sambil menarik napas, menerima penghargaan dari rektor.

Penulis adalah pelajar Unair

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=332338