Senin, 14 April 2008

Sepasang Mata Indah


"Hei, lihat deh, cewek bule itu. Cantik ya?"

"Tapi, matanya kok nggak cokelat, biru, atau hijau ya? Lihat, orang tuanya aja warna matanya biru,"

"Bukan anak kandung kali,"


Seribu satu bisikan selalu didengar oleh Shasa dari mulut-mulut usil. Shasa adalah putri dari pasangan berdarah Barat yang tinggal di Indonesia. Shasa terlahir dengan kesempurnaan. Hanya dua hal yang selalu membuat mahasiswi berparas cantik dan berotak encer itu kosong dan aneh. Tidak ada cinta dalam keluarganya. Ditambah lagi, bisikan nakal dari mulut orang-orang usil tentang matanya.


Aku anak siapa? Kenapa mataku tak sama dengan mama dan papa? Enak saja mulut-mulut sial itu berkata kalau aku bukan anak kandung! Mereka pikir aku tidak tahu apa yang mereka katakan? Aku tahu! Aku bingung, apakah selama ini aku terlalu bodoh sehingga tak menyadari hal ini...


Shasa menangis sambil menorehkan isi hatinya ke dalam diary. Tak pernah sekali pun Shasa sesedih ini saat mendengar bisikan usil itu. Apa salahnya mata hitam? Toh, hitam juga warna mutiara dan itu indah.


Itulah yang selama ini Shasa pikirkan. Tapi kali ini, semuanya sungguh berbeda. Kata-kata tersebut tak mampu membendung amarah dan kesedihannya. Satu kalimat yang baru saja dia dengar tadi benar-benar membuatnya merasa bodoh.


***


Esoknya, Shasa bertekad menemukan jawaban atas segala kegalauan. Pagi ini juga, dia akan bertanya langsung kepada orang tuanya. Sayang, melihat sikap kedua orang tuanya yang selalu dingin setiap hari, Shasa memilih mengurungkan niat. Mungkin lebih baik tutup mulut daripada harus berhadapan dengan tatapan dingin mereka.


Tempat parkir mobil di kampus Shasa tampak berbeda pagi ini. Ada sedan merah mencolok yang menempati salah satu lahan kosong di sana. Punya siapa itu? Tanya Shasa dalam hati. Dia memang baru sebulan kuliah di kampus tersebut. Tapi, kalau untuk urusan mobil apa saja yang biasa parkir di parkiran itu, dia jelas hafal. Belum pernah Shasa melihat sedan merah tersebut.


"Eh, katanya ada mahasiswa baru ya?"
"Beritanya sih gitu. Oya, katanya lagi, mahasiswa baru itu bule lho! Pasti cakep, apalagi kalau matanya biru," Shasa mendengar dua orang mahasiswi berbisik-bisik di belakangnya. Shasa teringat sedan merah itu. "Mungkin mobil tersebut milik mahasiswa baru," batin Shasa. Saat teringat percakapan dua orang tadi tentang mata biru, kesedihan Shasa kembali terbayang.


***


Jam empat sore. Kuliah hari ini baru saja selesai. Ketika hendak mengeluarkan mobil, Shasa melihat sosok bule berjalan menuju sedan merah itu. Benar kata mereka, dia punya mata biru. Shasa benar-benar terkesima melihat mata mahasiswa baru tersebut. Mata mahasiswa itu memancarkan sesuatu bagi Shasa. Sesuatu yang tidak pernah terpancar dari mata kedua orang tuanya. Mungkin cinta. Selama ini, Shasa sama sekali belum merasakan apa itu cinta.


Sampai di rumah, perasaan berbunga-bunga Shasa hilang ketika melihat mamanya menangis tersedu-sedu sambil memeluk foto seseorang. Papanya hanya menenggak tequila di sudut ruangan.


Shasa mendekati mama dan berusaha memeluknya. Bukan pelukan balasan yang dia terima, mama Shasa malah membentak-bentak Shasa. "Pergi kau pembawa petaka!" bentak sang Mama sambil mendorong Shasa hingga tersungkur ke lantai. Karena terlalu takut akan sikap sang Mama, Shasa berlari ke kamar tanpa menghiraukan buku-bukunya yang jatuh berserakan di ruang tengah.


Di dalam kamar, Shasa kembali menangis. Dia bingung tentang apa yang sedang terjadi. Esoknya, Shasa memutuskan tidak sarapan. Dia pergi kuliah begitu saja tanpa berbicara apa pun kepada orang tuanya.


"Tunggu!" ujar mama Shasa, mencegah Shasa yang hendak meninggalkan ruang makan. "Semalam mama baca diary-mu. Sepertinya, kamu memang sudah harus tahu," nada bicara mama Shasa terdengar dingin dan pilu. "Kau memang bukan anakku. Kau pembawa petaka! Kau yang membuat Anyta kecilku meninggal!" mama Shasa mulai menangis setelah mengatakan itu.


Lutut Shasa terasa sangat lemas mendengar ucapan Mama. Shasa terpukul dengan kejadian itu. Selama di kampus, pikirannya tidak konsentrasi. Dia bahkan menabrak seseorang saat keluar kelas. "Sorry, aku nggak lihat kamu di situ. Aku John, kamu?" kata orang yang baru saja menabrak Shasa sambil menjulurkan tangan.


Astaga! Ini kan mahasiswa baru yang bermata biru itu! Hati Shasa berdegup keras saat hendak menjabat tangan John. "Mm... nggak apa-apa kok, aku juga nggak lihat kamu. Aku Shasa," ujarnya.


Suatu awal yang bagus. Selama ini, Shasa tidak punya teman untuk menemani minum kopi, bercanda, dan sharing. John merupakan orang yang tepat untuk memenuhi kekosongan jiwa Shasa. Perlahan-lahan, Shasa mampu melupakan kebingungan tentang dirinya, orang tua, dan Anyta. Apa pun hubungan mereka, Shasa tak peduli.


Sayang, kebahagiaan Shasa harus dibayar mahal. Suatu hari, John pingsan. Keluarga John bercerita kepada Shasa bahwa John sudah lama mengidap leukemia. Sekarang, dia koma. Shasa shock. Orang yang mampu membuat hidupnya berarti itu kini tergeletak lemas di atas ranjang rumah sakit. Kesedihan S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar