Dua hari setelah menikah "jarak jauh" dengan mantan istri pertama, Siti Rohmah, Amrozi, kemarin (14/5) dibesuk Tim Pengacara Muslim (TPM) di Lapas Batu, Nusakambangan. Apa arti perkawinan bagi pelaku bom Bali I yang terancam segera dieksekusi mati itu?
ARI SUDEWO, Nusakambangan
MEMAKAI baju kotak-kotak cokelat lengan panjang, dipadu celana, serta kepala yang ditutupi surban, tak ada kesan sedikit pun bahwa Amrozi sedang berbulan madu. Saat dikeluarkan dari sel untuk bertemu TPM Jawa Tengah, pagi sekitar pukul 09.30, Amrozi malah bertanya tentang koran yang memberitakan pernikahannya.
Dengan senyum dan bicaranya yang ceplas-ceplos, Amrozi mengaku menjadi orang yang beruntung. Sebab, dengan kondisi fisik yang serbaterbatas dia masih bisa menikah lagi. Apalagi, perkawinan itu mendapat restu dari istri tua, Khoiriyana Khususiyati alias Susiana. Dia juga bersyukur Siti Rohmah mau dinikahi terpidana mati seperti dirinya. "Saya sangat kagum," kata Amrozi.
Setelah bercerai dengan Amrozi lebih dari 20 tahun lalu, Rohmah yang dikaruniai seorang anak, Mahendra, menikah lagi dengan laki-laki yang kemudian menjadi anggota DPRD Tuban, Jawa Timur. Namun, perkawinan kedua itu pun berujung pada perceraian. Kondisi inilah yang memungkinkan Amrozi untuk rujuk lagi.
Menurut Amrozi, tidak turunnya izin pernikahan oleh Kanwil Depkum HAM Jateng yang rencananya dilakukan di Lapas Batu itu juga memberikan hikmah. Acara akad nikah yang dilaksanakan di Desa Sugihan, Solokuro, Lamongan, Jatim, desa asal Rohmah, menjadi momen berkumpulnya kembali keluarga yang lebih dari 20 tahun berpisah.
Pria yang mendapat sebutan the Smiling bomber itu menambahkan, ada banyak orang yang ingin mengganjal rencananya berpoligami. Salah satunya, dia menyebut Ibu Negara Ani Yudhoyono yang getol melawan poligami. Namun, lanjut dia, mereka lupa bahwa dalam hukum Islam dikenal adanya pernikahan dengan mempelai pria yang diwakilkan.
Amrozi sendiri, menurut Anis Priya Anshari, salah satu pengacara dari TPM Jateng yang membesuk Amrozi, sudah jauh-jauh hari memprediksi izin pernikahan di Lapas Batu tidak bakal dikabulkan.
Karena itu, pada jadwal besuk keluarga 29 Maret lalu, dia sengaja menitipkan surat wasiat agar Ali Fauzi, adik bungsu, menjadi wakilnya pada acara akad nikah.
"Amrozi berpendapat (tidak turunnya) izin itu adalah propaganda antipoligami," imbuh Anis kepada Radar Solo (Grup Jawa Pos) usai membesuk Amrozi.
Amrozi juga mengakui, baju loreng tentara serta surban putih yang dikenakan Ali Fauzi (mewakili Amrozi pada ijab kabul) itu atas permintaan dirinya. "Baju loreng adalah simbol keberanian mujahidin," katanya.
Alasan pernikahan kembali dengan Rohmah, kata Amrozi, memang untuk menuruti permintaan Mahendra, anak semata wayangnya dengan Rohmah yang kini berusia 24 tahun. Kata dia, Mahendra -punya hobi balap motor yang dulu rambutnya dicat merah- nakalnya bukan main.
"Setelah saya renungkan, anak saya nakal karena ayah dan ibunya berpisah. Makanya, ketika dia minta saya menikahi ibunya yang saat itu kebetulan bercerai dengan suaminya, saya langsung bersedia," kata Amrozi.
Namun, dari sekian alasan, masalah keluargalah yang menjadi pertimbangan untuk menikahi Rohmah. "Yang paling utama adalah mengislahkan keluarga yang sudah 20 tahun berpisah," katanya.
Amrozi juga mengonsultasikan rencana pernikahan itu kepada Mukhlas, kakak kandungnya yang bersama dia dan Imam Samudera menjadi "trio bomber" terpidana mati. Menurut dia, Mukhlas adalah sosok kakak sekaligus guru dan anutan baginya. "Kakak saya yang mengajarkan banyak hal kepada saya sejak kecil juga setuju," katanya.
Disinggung tentang nafkah lahir batin yang tidak mungkin dia berikan kepada kedua istri dan anak-anak mereka, Amrozi menjawab sambil tersenyum. Menurut dia, jika memang pasangan suami istri ditakdirkan untuk bersama dan sama-sama ikhlas, tidak akan ada masalah dengan nafkah. Dia yakin istri-istrinya tidak kekurangan dalam persoalan rezeki. Sebab, rezeki itu sudah ditakar oleh Yang Mahakuasa.
"Istri pertama saya (Susiana) sampai sekarang tidak pernah merasa kekurangan," katanya.
Saat ditanya apakah yakin kedua istrinya bisa rukun? Pria murah senyum optimistis mereka bakal akur. Sebab, tidak ada hal yang bakal menjadi biang keributan. "Lha yang mau diributkan apa. Wong saya sendiri ada di sini (penjara). Kalau masalah cemburu, saya yakin rasa itu ada di hati istri-istri saya. Tapi, saya yakin mereka bisa mengatasinya," ujarnya.
Amrozi terang-terangan berharap anaknya mengikuti jejaknya menjadi mujahidin. Soal caranya, dia tidak mengharuskan anaknya menjadi martir pengeboman. Dia menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada anak-anaknya kelak. Alasannya, saat mereka memutuskan menjadi mujahidin, mungkin saja, ada cara baru dalam berjihad.
Dia juga menegaskan tak mempersoalkan hukuman mati terhadapnya. Meski demikian, dia menolak berbicara panjang lebar mengenai eksekusi mati yang mengancamnya. Menurut Amrozi, percuma membicarakan suatu hal yang belum jelas. Dia yakin pemerintah tidak akan berani mengeksekusinya. Sebab, hukum yang digunakan pemerintah untuk menghukum dirinya, Mukhlas, dan Imam Samudra salah.
"Apa mereka berani, wong dasar hukumnya salah," katanya lalu tertawa terkekeh.
Tentang aktivitasnya di penjara, Amrozi mengaku biasa saja. Dia mengeluh tak diberi kesempatan bersosialisasi dengan penghuni lapas lainnya. Kesempatan berkumpul dengan sesama penghuni penjara hanya datang pada Jumat. Karena itu, dia mengaku tak bisa menyebarkan dakwahnya.
"Biasanya kalau pas Jumatan itu ada yang nanya. Ya saya jawab. Selebihnya, saya berada di sel dan mengaji," katanya.(el)
Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10468
Tidak ada komentar:
Posting Komentar