Sabtu, 05 April 2008

Berhentilah Jadi Pengarang…

DADA Garda mengembang, ketika ia menyodorkan sebuah buku tebal kepada Kakeknya,“Bacalah Kek,karya masterpiece cucumu ini.” Sang Kakek terdiam.Matanya menyorot tajam buku tebal yang tergeletak di meja itu.Puluhan detik, tanpa suara.

Dada Garda masih mengembang, namun ia merasa diganggu oleh detak jantungnya, yang membuat nafasnya naikturun. Garda ingin orang tua itu segera mengambil buku dan membacanya kemudian melontarkan beberapa potong pujian.Bukankah ia merasa satusatunya cucu yang paling dicintai?

Namun,buku itu tetap tak disentuh Kakeknya. Suasana tegang dan canggung menyergap Garda. Garda ingin berdiri dan menggerakkan tangan keriput orang itu untuk mengambil buku itu. Lalu memaksanya untuk melontarkan pujian.Tapi, sorot mata Kakek dirasakan aneh,pagi itu.Bola mata itu menjelma api.

“Ada apa Kek?” Garda mencoba mencairkan suasana. Sang Kakek terdiam. Tangannya membunuh api rokok di asbak, sebelum ia beranjak meninggalkan kursi menuju kamar.Kelebat tubuh Kakek seperti kelebat pedang tajam yang menebas kepala Garda. Dengan perasaan tanpa kepala, Garda menyusul Kakek ke kamarnya. Buku tebal itu masih melekat di tangan Garda.

Pintu kamar itu diketuk-ketuknya. Namun,tak ada jawaban.Pintu kamar itu digedor-gedornya,namun tak ada sahutan.Peluh dingin membasahi tubuh Garda.Tangannya gemetar.Detak jantungnya makin keras. Ia berjalan pelan,ke sofa.Tubuhnya dilemparkan. Dengan mata terpejam,ia menghirup udara kuat-kuat. Berulang kali. Hingga ia sedikit tenang atau setidaknya jantungnya tidak berdegup kencang.

Mata Garda memandang sampul buku yang baru beberapa jam turun dari mesin cetak, Memoar Seorang Jendral Humanis.Ia membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk menulis buku itu. Ia ingin kekalahannya sedikit terbayar oleh pujian yang diharapkan dari kakeknya.Tapi, yang dirasakan justru dadanya sesak.Kenapa kakek tak mau membaca buku itu? Tersinggung? Tidak suka? Atau? Kepalanya mendadak seperti berputar-putar.Tubuhnya terasa lemah. ***

Garda Polska semula tidak tertarik menjadi pengarang. Sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, nilainya selalu buruk dalam pelajaran mengarang. Setiap tugas mengarang tiba,ia merasa seperti terkucil di tengah lautan kebisuan dalam kelas.Ia hanyabisamencoret- coretbeberapakatadi kertasnya.

Atau iseng-iseng membuat sketsa wajah gurunya, seorang perempuan tua dengan mahkota uban dan kaca matatebalyangmenyimpankeangkeran Garda selalu menambahi mulut gurunya dengan dua taring yang panjang. Kelas pun selalu menjadi ruang hampa dan asing yang menyiksanya.

Dan ketika ia memandang teman-temannya yang suntuk menenggelamkan kepala di antara dua tangannya,ia merasa melihat patung-patung tanah liat yang patuh oleh perintah guru yang baginya menyebalkan itu. Mengarang, baginya tak lebih dari pekerjaan orang malas,namun merasa memiliki kecerdasan untuk menggapai gumpalan ilham.

Perjuangan bergelut dengan gagasan dan bahasa, baginya tak lebih dari orang sinting yang merasa mampu memadamkan lautan minyak yang terbakar. Untuk menumpahkan rasa kesalnya, ia hanya menulis kalimat pendek, “Maaf, hari ini ilham tidak datang, mungkin sang ilham sedang flu !”.

Kertas itu lalu diserahkan kepala gurunya, ketika jam pelajaran mengarang usai. “Kamu pikir ini lucu?! Kalau memang ingin jadi badut, tinggalkan sekolah ini! Barangkali ada rombongan sirkus mau menerima kamu!”guru bermahkota uban itu menghardik. “Tapi… maaf… saya kira… sekolahini, eee… tak lebih dari rombongan sirkus. Dan… kami hanyalah monyet-monyet kecil yang diperintah untuk meloncat atau jungkir balik,”ujar Garda tenang.

Guru bermahkota uban itu gusar, marah namun juga tercengang dengan ucapan Garda yang aneh, tak biasa untuk seorang murid sekolah menengah pertama. “Orang tuamu pengarang?” Guru melunakkan ucapannya. “Bukan. Mereka hanya pegawai kecil di sebuah kantor pemerintah, di Desa Toreador.” “Ada di antara saudaramu atau orang-orang dekatmu yang menjadi pengarang?”

“Ada… Kakek saya.” “Siapa?” “Baros Polska…” Guru itu terhenyak,“Baros Polska? Benarkah? Dia pengarang sangat terkenal? Api Membakar Salju adalah novelnya yang selalu aku kenang…” Guru itu mendadak ramah, “Kamu membacanya juga?” Garda menggeleng, “Saya tidak suka sastra. Saya tidak suka mengarang…” “Kamu cucu yang durhaka… Kamu menyedihkan…” ujar guru itu sambil mengemasi buku-buku dan meninggalkan kelas. ***

Mata Garda terbuka. Dipandangnya langit-langit kamar. Pita ingatannya pun berputar: kenangan demi kenangan timbul dan tenggelam.Terus berubah-ubah, hingga berhenti pada peristiwa yang membuat dia tersenyum. Di sana, ia melihat dirinya. Berdiri di atas panggung, bicara di belakang podium.

Setelan jas hitam membuat ia tampak gagah. Ia mencukil pengalamannya waktu masih duduk di sekolah menengah pertama, di kota kecil Grosphil. “Satu-satunya yang saya benci adalahmengarang, waktuitu…”ujarnya setelah ia bercerita panjang lebar soal guru sastranya atau pelajaran sastra yang selalu menyiksanya. Kalau sekarang saya menulis buku, sebenarnya itu tak lebih karena saya sedang tersesat…

” Orang-orang tertawa. Bertepuk tangan. Peluncuran buku Memoar Jendral Humanis siang itu di Balai Pengarang Nagara,menjadi riuh rendah. Para pengagum Garda tak menyangka, pengarang papan atas itu semula tak lebih dari murid malas. “Dunia sastra ternyata malah mengutukku jadi pengarang.Padahal citacitaku ingin jadi dokter atau tentara. Karena bagiku, hanya dua profesi itu yang hebat.Tapi ternyata,aku tidak berbakat menyuntik atau menembak…” seloroh Garda.Orang-orang tertawa. ***

Pagi masih malas menyingkap kabut yang membungkus kota Fugaz.Garda menaikkan kerah mantel beruangnya, menembus kabut, berjalan menuju perpustakaan kampus.Di tangga gedung itu ia dicegat Dizzy, mahasiswi yang terkenal progresif. “Masih mau jadi kutu buku,sementara jutaan orang lapar dan terbungkam?” ujar Diizy dengan senyum mengembang. Tangannya masih menggenggam poster bertuliskan,“Turunkan Si Mulut Besar!”

“Kamu mau ke mana sayang?” Garda mencoba menggoda. “Kamu pikir aku mau ke kamar mayat? Membedah-bedah jasad?” “Kenapa harus tegang, sayang? Kamu mau turun ke jalan?” “Harga-harga kebutuhan pokok naik lagi.Juga bensin dan solar! Si Mulut Besar itu mengira bus kota bisa berjalan dengan air dan rakyat bisa hidup dengan harga-harga yang mencekik.

Dia anggap, orang-orang sakit bisa membayar rekening obat dengan kertas karbon! Gila,kan?! Rakyat mengerjat- ngerjat, dia malah bilang,“Semua harus paham!”Paham apanya? Kalau dia tak paham rakyat, turun saja dari istana!” Dizzy bicara berapi-api, hingga hawa dingin tak dirasakannya lagi. “Tapi kenapa kamu dulu memilihnya?” “Aku abstain…” “Jadi kamu tak punya hak protes?”

“Hei… aku bukan penonton, bodoh.” Dizzy berjalan bergegas. Garda masih mencium aroma parfum bercampur keringat perempuan langsing yang wajahnya mengingat dia pada bintang film pujaannya Meg Ryan. “Dizzy.Tunggu!!” Itulah pertemuan terakhir Garda dengan Dizzy, sejak demonstrasi berdarah di Kota Fugaz.Ada yang bilang dia ditembak.Ada yang bilang dia hilang atau dihilangkan.Tapi juga ada yang bilang, Dizzy tak mau bertemu Garda sampai kapan pun, terutama sejak bukunya Memoar Sang Jendral Humanis,terbit. ***

Garda menatap wajahnya di cermin. Rongga dadanya terasa sesak. Apa salahnya aku menulis buku memoar sang Jenderal yang oleh Dizzy selalu dipanggil dengan Si Mulut Besar itu? Bukankah ketika menjadi presiden, ia dipilih rakyat secara sah? Garda memandang wajahnya di cermin.

Tampak guratan-guratan memenuhi lembah pipinya. Dizzy dan semua temannya yang sok heroik itu, tak lebih dari para pemimpi. Seolah perubahan bisa diciptakan sambil makan pizza atau hamburger dan menyedot ganja.Aku sangat tidak senang pada mereka yang suka memborong kebenaran.

Garda masih memandang wajahnya di cermin. Garda kaget.Mendadak kakeknya keluar dari kamar.Tapi mulut tetap membeku. Garda mencoba menawarkan anggur.Tapi orang tua itu memilih menyedu kopi dan membawanya ke kamarnya. Wajah Dizzy dan wajah kakek berputar-putar di benak Garda. Garda tidak paham. Mestinya sang kakek bangga punya cucu yang dipilih menulis memoar seorang presiden.

(Aku menulis secara objektif,kek.Aku lukiskan susah payah Si Mulut Besar itu berjuang hingga jadi jenderal dan berhasil memimpin perubahan di negeri kita. Dia telah membebaskan kita dari cengkeraman para koruptor, pembalak liar atau para pialang kekuasaan yang berkedok parlemen. Aku lukiskan bagaimana sang Jenderal itu selalu menangis melihat anak-anak miskin kurang gizi, atau bayi-bayi mati setiap hitungan detik,atau anak-anak telantar di jalanjalan atau para penganggur berbaris di jalan-jalan Ibu Kota…)

Garda ingin mengetuk pintu. Ingin menjelaskan semuanya.Tapi langkahnya tertahan.Tangannya gemetar.Buku itu jatuh. Kakek mendadak membuka pintu. “Berhentilah menjadi pengarang, kalau hanya ingin menjual kebohongan,” Kakek itu menutup pintu kamar.

“Sebentar Kek.Aku juga mengkritik Si Mulut Besar.Kukatakan dia tak berdaya menghadapi para saudagar…” “Apa? Kritik? Akrobat kata-kata, maksudmu? Kamu mestinya jadi badut, main di pasar-pasar. Ganti topeng setiap hari.” Kakek kembali menutup pintu rapat-rapat. “Kek…Tunggu… Aku hanya ingin menjadi cucu pengarang.”

“Pengarang tak pernah punya anak, apalagi cucu.”Terdengar suara Kakek dari dalam kamar. Tubuh Garda seperti dirajang katakata Kakek yang menjelma jadi pisau samurai. Ia merasakan bagian-bagian tubuhnya tanggal satu persatu: kepala, dada,perut,tangan,hingga kaki.*** Yogyakarta,2007-2008

INDRA TRANGGONO,
lahir di Yogyakarta 23 Maret 1960. Menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Anoman Ringsek (2000) Iblis Ngambek (2003). Kini tinggal di Yogya dan banyak melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya.

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/cerpen-puisi/berhentilah-jadi-pengarang-2.html

7 komentar: