Selasa, 08 April 2008

Aku Ingin Membelai Wajah Ibu

Aku terus saja berjalan walaupun kurasakan gelap menghalangi langkahku yang sudah mulai gontai. Aku hanya ingin segera keluar dari ruang gelap ini. Entah sudah berapa lama aku di ruang gelap terkutuk ini. Ya, terkutuk! Tidak hanya gelap, tapi juga pengap. Memaksaku berkali-kali menarik napas dalam-dalam. Aku harus tetap bernapas sampai aku dapat keluar dari ruang gelap dan pengap sialan ini.

Kucoba rentangkan kedua tanganku ke samping lalu ke depan. Berharap menyentuh sesuatu untuk dapat kujadikan pegangan.

Serta menuntun jalanku yang tak tahu arah ini. Aku terlalu capai, terlalu letih, terlalu lemah untuk dapat terus berjalan melewati ruang ini. Tapi aku tidak yakin, apakah ini suatu ruangan. Sebab, aku merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter ke depan. Namun, tak kunjung menemukan ujung.

Mungkinkah ini sebuah gua? Gua panjang yang tak berujung sehingga aku takkan pernah bisa keluar? Tapi, aku ingin keluar! Aku sudah bosan dan tersiksa berada di sini. Ingin aku mencoba teriak, tapi aku tak bisa.

Mulutku terasa berat. Bahkan untuk mengucapkan satu kata, "Tolong!". Itu saja. Tidak terlalu berlebihan, bukan? Aku butuh sekali pertolongan kali ini. Adakah yang bisa mengeluarkanku dari sini?

***

Masih saja gelap itu ada. Gelap pekat yang membunuhku rapat-rapat sampai membuatku tak berdaya. Aku masih mencoba terus bejalan dengan sisa-sisa napas dan tenaga yang masih melekat di raga. Mungkin, sebentar lagi napas dan tenaga ini hilang tenggelam oleh letih yang menggunung. Aku terhenti sejenak ketika mendengar sebuah suara. Ya, itu suara! Tapi di mana? Aku tak tahu di mana, aku tak bisa melihat. Tapi, aku yakin itu suara. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Hanya gelap. Gelap yang pekat dan hitam. Aku tetap tak bisa melihat.

"Heru, bangun Heru!" Suara perempuan. Suara yang rasanya sangat aku kenal. Suara itu semakin jelas. "Heru, bangun... Ini ibu, Nak!" Ya. Itu suara ibu... Tapi, aku tak bisa melihat. Ketika aku melihat cahaya di depan sana, aku berlari. Aku merasa suara yang mirip ibu itu di dalam cahaya itu. Aku berlari, dan... Hei, aku bisa berlari. Kencang sekali!

Aku terhenti ketika kudengar lagi suara itu. "Heru, bangun!" Suara itu bergetar dan semakin lirih. Seperti suara orang menangis. Lalu, kurasakan sesuatu membelai rambutku. Aku terjaga. "Hei Ibu, aku sudah bangun!"

***

"Kau sudah sadar, Nak?" Aku melempar pandang ke sekeliling dengan mata setengah terpejam. Silau itu masih saja menyerangku. Tapi, kali ini tak berhasil membuat mataku terpejam lagi.

Aku melihat Ibu. Juga bapak, adik, dan kakakku. Bahkan, aku melihat saudara jauh dari bapak dan ibu yang selama ini jarang kutemui. Aku menangkap rasa kekhawatiran di wajah mereka. Namun, wajah ibulah yang paling tenggelam oleh kesedihan. Sinar wajahnya redup, tidak secerah saat mengantarkanku berangkat sekolah.

Aku melihat ke arah Ibu. Ibu tersenyum. Sekali lagi, ibu membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. "Kau sudah sadar, Heru?" tanya ibu, berbisik. "Kau sudah bangun dari pingsanmu,"

"Pingsan?" Aku terkejut.
"Ya, kau tadi mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan?"Aku bertanya pada ibu sekali lagi.
"Sewaktu pulang sekolah, kau tertabrak mobil, Nak," Ibu menjawab sembari membelai rambutku dengan perlahan.

"Apa aku tidak apa-apa, Bu?" Kali ini kuarahkan pandangku ke tangan, badan, lalu kakiku. Tangan kananku terlilit perban sehingga tak bisa lagi kulihat jari-jarinya.

Tangan kanan tak bisa kugerakkan. Kucoba menggerakkan kaki. Linu dan perih kurasakan di kedua kakiku. Lalu, kucoba meraba kepalaku. "Kepalamu terbentur aspal sewaktu kecelakaan tadi." Aku bersyukur. Setidaknya, aku masih bisa melihat anggota tubuhku dengan utuh. Sekali lagi kulihat ibu, bapak, adik, dan saudara-saudara. Kali ini rona wajah mereka berangsur-angsur ceria. Kucoba meraih tangan ibu. Tapi, gelap itu datang dan menyerang lagi. Aku tak bisa melihat apa pun. Aku masuk ruang gelap itu lagi.

***

"Heru, bangun, Nak!" Suara itu terdengar lagi.
"Nak, ini Ibu, Nak" Suara itu bergetar dan terbata-bata, tenggelam oleh isak tangis. Aku mencoba membuka mata. Kulihat ibu tersenyum dengan sunggingan yang dibuat-buat.
Ibu mengusap air mata sambil mencoba tak menunjukkan rasa sedih itu kepadaku. Tapi, aku tahu, ada kesedihan yang mendalam di raut wajah ibu.

Kulihat sekelilingku, kali ini sepi. Tidak seperti tadi. Kali ini hanya ibu yang terus menangis sesenggukan. Tangis yang memecah kesunyian ruang itu.

Tercium bau karbol yang menyengat hidung. Bau khas rumah sakit. Ya, ini rumah sakit. "Ibu kenapa menangis?" Ibu tak menjawab. Malah, tangisnya kian menjadi. Wajah setengah renta yang masih begitu cantik di mataku tersebut semakin tenggelam oleh kesedihan.

Kucoba menggerakkan tanganku. Aku ingin membelai wajah ibu dengan tanganku. Barangkali, itu bisa meredakan tangisnya. Tapi, aku tak bisa menggerakkan tanganku. Kucoba dan kucoba lagi sekuat tenaga, namun tetap gagal.

Saat itu, barulah kusadari suatu hal. Tanganku sudah tidak ada lagi. Hilang. Lenyap. Di mana tanganku?

"Kamu kecelakaan, kedua tanganmu terluka parah dan harus diamputasi, Nak," Ibu berbisik kepadaku. Sekali lagi, air mata ibu deras menguyur membasahi pipinya yang mulai keriput termakan usia.Aku berusaha mengingat lagi apa yang sudah terjadi. Kepalaku terasa sakit sekali saat mencoba kembali mengingat. Aku hanya ingat ketika mencium tangan ibu sebelum berangkat sekolah.

Hanya itu yang kuingat. Selebihnya, aku tak ingat. Kepalaku terasa berat. Sakit sekali seperti ditusuk jarum besi yang panas. Aku hanya menatap wajah ibu yang terus bersedih. Aku tak berani melihat bekas tanganku yang telah hilang diamputasi. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menatap wajah ibu yang tenggelam oleh badai kesedihan.

Aku ingin sekali membelai wajah ibu dengan kedua tanganku. Ingin ... ingin sekali.... Ya Tuhan, betapa inginnya aku membelai wajah rentanya dengan kedua tanganku.
Tapi, aku tak bisa.

Aku sangat menyesal kerena tak pernah membelai wajah ibu dengan kedua tanganku sewaktu masih ada. Aku menyesal tak pernah menyentuh pipinya, membelainya. Aku menyesal tak pernah sempat melakukannya, membelai wajah ayu ibuku.

Kuembuskan napas perlahan. Aku berharap semoga semua ini hanya mimpi. Aku ingin memejamkan mata sekali lagi. Aku ingin masuk ke ruang gelap itu lagi. Nanti, ketika kubuka mata kembali, aku berharap menemukan suasana yang berbeda. Tidak seperti ini.
Aku ingin membelai wajah ibu. (*)

(Syafril Hidayat, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=334765

2 komentar:

  1. btw, waktu aku baru datang kesini, rindu sekali ibuku. lalu beliau datang dalam mimpiku. bahagia sekali rasanya walaupun tahu bahwa aku sedang bermimpi. ketika aku bilang ke ibuku lewat telepon tentang mimpiku, beliau langsung menebak: "Dua hari yang lalu kan?"
    Memang benar. Dia bilang bahwa dia juga lagi rindu kepadaku waktu itu. Perasaan orang tua dan anak memang selalu terhubung.

    :((

    BalasHapus