Fairuz mendengarkan obrolan ibu-ibu tetangga barunya. Dia paling muda di antara mereka. Sesekali ia tersenyum atau tertawa kecil menanggapi. Baginya itu bukan obrolan biasa. Dari mereka terpetik juga sebuah masukan yang baik. Sesuatu yang selama ini belum diketahuinya.
Tadinya ia hanya bermaksud mengantar kue ke rumah Ibu Desy. Ia baru saja selesai memasaknya. Ternyata di situ sudah ada Ibu Wina, Ibu Hesty dan Ibu Nani. Ia tidak diizinkan pergi. Mereka menyuruhnya duduk dan mengobrol. Dalam sekejap, kue yang ia bawa telah berpindah ke mulut mereka masing-masing.
"Sebelum saya menikah dengan Bapak si Dodo, sering dia bawa saya makan di Restauran. Pokoknya aneka macam jajanan pernah kami coba. Setelah menikah sampai punya anak tiga, dalam setahun aja belum tentu kami makan di luar!" Ibu Desy menggambarkan sosok suaminya. "Memang begitulah lelaki, Bu. Penilaian kita sebelum menikah bisa berbeda dengan setelah kita menikah. Apalagi setelah punya anak," tambah Ibu Wina.
"Ya, ialah. Kita, para isteri dapat mengetahui karakter suami kita sendiri setelah menikah dengannya. Di dalam kancah rumah tanggalah akan terbongkar semua karakternya. Tidak mungkin disembunyikan lagi seperti waktu pacaran," Ibu Hesty menimpali. "Apalagi yang mau disembunyikannya. Namanya juga sudah satu atap, satu tempat tidur, satu nafas pula," sahut Ibu Nani sambil tertawa, diikuti ibu-ibu lain. Tak terkecuali Fairuz.
Sejak kepindahannya beberapa minggu lalu, baru kali ini ia bisa berada satu ruangan dan mengobrol dengan ibu-ibu di sekitar rumahnya. Biasanya ia hanya berbasa-basi dan bertegur sapa. Setiap hari dia disibukkan urusan mengatur dan menyusun barang-barangnya, yang dibawa dari rumah kontrakan lama.
Fairuz merasa senang dengan bahan yang mereka obrolkan. Sesuatu yang memang benar-benar dialami. Bukannya cerita mengada-ada atau menggosip. Kalau itu, jelas-jelas ia tak suka. Apalagi kalau suaminya tahu, pastilah ia akan marah. "Suami saya seringkali membuat saya kesal. Sudahlah dia pulang larut malam, tak bawa uang pula. Sampai di tempat tidur, minta dilayani. Karena saya kesal, saya serahkan saja saya mau diapainnya. Saya sudah tak tahu apa-apa lagi," cerita Ibu Nani.
"Apa dia tidak marah, Ibu seperti itu?" Fairuz balik bertanya. Keningnya berkerut. "Rus, kita harus bisa ngasih pelajaran sama suami kita. Toh untuk kebaikan kita bersama. Seharian kita mengurus anak dan rumah tangga. Jangan dia mau enaknya saja. Dalam rumah tangga, kita kan harus saling berbagi dan memahami," lanjut Ibu Nani.
"Kalau suami saya lain lagi. Dia tidak pernah memeluk dan melakukan hal yang romantis, kecuali untuk berhubungan intim. Sebagai wanita, saya kan juga ingin dimanja. Bukan hanya sebagai sebuah barang yang dibutuhkan, maka dipakai. Lantas kalau tidak dibutuhkan, tidak dianggap. Hubungan yang romantis di antara suami isteri, bukan harus melulu di tempat tidur. Kita bisa ciptakan banyak hal di luar itu," giliran Ibu Hesty bercerita panjang lebar. Dia sudah sepuluh tahun menikah, anaknya dua orang.
"Apa suami Ibu bisa mengerti kemudian?" tanya Fairuz ingin tahu. Ibu-Ibu yang lain ikut menunggu jawaban Ibu Hesty.
"Yah... perlahan-lahan saya bicarakan padanya. Sampai pernah saya mengetes dia. Saya tidur di kamar sebelah. Akhirnya kami berbaikan, sampai sekarang."
Fairuz dan ibu-ibu yang lain tampak manggut-manggut mendengar cerita Ibu Hesty. Ternyata tiap wanita tak pernah sepi dari problematika di dalam rumah tangga. Mungkin kalau para isteri dikumpulkan, akan sangat banyaklah permasalahan yang mereka bawa dari rumah tangga mereka masing-masing.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Pertemuan tak terencana itu pun bubar dengan damai.
"Dek, tolong buatkan abang kopi ya. Taruh di dalam kamar." Deg. Jantung Fairuz berdebar. Bukan karena Faisal menyuruh sesuatu yang tak bisa ia lakukan. Apalah susahnya membuat secangkir kopi hangat. Namun, kali ini ada yang menganggu pikirannya. Sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Faisal.
Setiap kali Faisal meminta dibuatkan secangkir kopi hangat, itu sebuah pertanda Faisal ingin membuka pintu kemesraan dengannya. Ia sudah sangat paham. Padahal baru saja Fairuz merasa kesal dibuatnya. Sudah tiga bulan Faisal berjanji membelikannya sebuah liontin emas. Ada saja kendalanya. Bulan pertama, harus membayar uang sekolah adiknya. Bulan kedua, harus membetulkan seng yang bocor di rumah bapak. Bulan ini, harus membiayai perobatan ibu.
Anehnya, pada saat Faisal tahu hatinya lagi kesal, di situ pulalah ia ingin bemesraan dengannya. Seolah-olah untuk menghilangkan rasa kesalnya. Membuatnya merasa nyaman. Tidak lagi memikirkan tentang masalah yang mereka hadapi. Selama ini memang Fairuz menganggapnya sebagai hal yang wajar, namun hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
"Menyelesaikan masalah dengan berhubungan intim, bukan jalan keluar yang baik. Itu suatu kesalahan besar!" bisiknya pada dirinya sendiri, dan akan ia tegaskan pula pada suaminya.
Di dapur, saat membuatkan kopi, Fairuz bertekad, bila nanti Faisal mulai menyentuhnya, ia akan tepiskan tangannya. Saat tubuh Faisal mendekat ke arahnya, ia akan menjauh darinya. Fairuz pun masuk ke dalam kamar.
"Makasih ya, Sayang. Sini, dekat abang," raut wajah Faisal cerah seperti bulan purnama. Sebaliknya, hati Fairuz berdebar menjalankan rencananya.
"Lho, kok malah menjauh dari abang?"
Tangan Fairuz diraih. Cepat Fairuz menepisnya.
"Bang, kenapa sih setiap Fai kesal, Abang selalu berusaha menghilangkan kesal Fai dengan cara ini. Lama kelamaan Fai tidak suka, Bang. Seolah-olah abang menggampangkan saja perasaan Fai. Tidak memedulikan apa yang Fai inginkan."
Faisal terpana. Sekonyong-konyong Fairuz berubah menjadi seorang hakim di sebuah pengadilan, yang sedang membacakan tuntutannya kepada seorang terdakwa.
Mata Fairuz menyorot tajam, dadanya turun naik seperti orang yang sedang menunjukkan kemarahan. Padahal biasanya, bila Faisal menyentuhnya, maka ia pun akan menunjukkan kemanjaannya sebagai seorang isteri kepada suaminya. Lalu mereka akan larut dalam kemesraan yang dalam. Kini Faisal benar-benar tak dapat mempercayai kenyataan, yang baru saja berlangsung di hadapannya!
Faisal terdiam. Tidak bicara sepatah kata pun. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. Ia keluar dari kamar, membawa kopi yang baru diminum sedikit. Sementara Fairuz tak bisa memejamkan mata di tempat tidurnya.
Besoknya, Faisal tidak menggendongnya saat ia bangun tidur. Tidak ada percakapan hangat dan gurauan, yang disertai pelukan di meja makan. Fairuz memperhatikan dengan ekor matanya, suaminya hanya makan sedikit. Seperti orang tidak berselera. Wajahnya tampak kuyu.
Ketika melepas suaminya di depan pintu, Fairuz merasakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Tiba-tiba ia merasakan hal yang aneh. Ia merasa asing. Sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Lebih baik tidak merasakan hal ini, batinnya.
Seharusnya ia biarkan semuanya berlangsung seperti apa adanya. Tidak perlu suaminya tahu apa yang menjadi kekesalan hatinya. Kenapa tidak ia biarkan suaminya menyentuh dan menciumnya? Apa ia punya hak untuk menolak?
Ia hanya seorang perempuan, datang dari kampung. Semua keluarganya tinggal di kampung. Faisal telah membawanya ke kota. Tentu saja ia tidak sama dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi tetangganya. Baik dari segi pemikiran, maupun latar belakang kehidupan. Sikapnya pada Faisal tidak mencerminkan kesabaran seorang wanita. Ia tidak biasa memberontak. Ibunya selalu mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan.
Malam harinya ia tidak sanggup melihat wajah suaminya. Hatinya didera rasa malu. Sedari tadi ia hanya di kamar, seolah disibukkan sesuatu. Tak terasa sebutir air mata menuruni pipinya yang mulus. Ia menangis. Menahankan perasaan rindu pada suaminya. Dia yang memulai semua ini, dia merasa harus dia pulalah yang mengakhirinya.
Pada saat Fairuz akan ke luar dari kamar, saat yang sama Faisal menuju ke dalam kamar. Tabrakan dua tubuh itu tak dapat dielakkan. Mereka terjatuh. Tangan Faisal terhimpit di bawah tubuh Fairuz. Jarak mereka sangat dekat. Fairuz memejamkan matanya. Sesaat merasakan desah nafas suaminya di wajahnya. Ia merindukan segalanya dari suaminya.
Kemudian mereka pun berdialog. Berupaya memecahkan perseteruan yang telah mendera mereka. Dan, menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. (Rina Mahfuzah Nst)
Sumber: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=329284&kat_id=364
nice story..
BalasHapusmaaksih sharingnya akhi,,bagus storynya,,
BalasHapusgimana kabarnya akhi?
yup
BalasHapussampai serius nih aku bacanya mas :)
BalasHapus:)
BalasHapus