Sabtu, 24 Mei 2008

Jadi ”Native Speaker” di Kelas Bahasa SMA Queensland, Australia

Siswa Tanya Tuyul, Guru Jawab Mirip Casper

Pernah jadi bahasa yang populer diajarkan di sekolah-sekolah di Australia, peminat kelas Bahasa Indonesia di Negeri Kanguru semakin menurun. Bukan hanya karena kasus Bom Bali, tapi juga karena bahasa Asia lain: Mandarin, Korea, dan Jepang, menjadi pesaing. Laporan ELIN YUNITA yang baru tiba dari Brisbane.

-------


PERJALANAN darat ke Ferny Grove, kawasan di barat daya Brisbane, ibu kota negara bagian Queensland, itu makan waktu sekitar satu jam. Beranjak dari pusat kota Brisbane yang sarat gedung-gedung tinggi, pemandangan lantas berganti dengan deretan pohon-pohon cemara dan permukiman. Beberapa rumah tua dari kayu warga Queenslander tampak sepanjang jalan. Beberapa digunakan sebagai kedai minum atau butik.


Di Ferny Grove, mobil yang kami tumpangi merapat di sebuah sekolah satu lantai yang dikelilingi pepohonan. Seorang perempuan berbaju kuning dengan rambut tersanggul rapi berdiri di tepi jalan.


"Selamat datang ke sekolah kami. Saya senang sekali bertemu Anda dan mempraktikkan Bahasa Indonesia saya," ujar Fiona Hudghton dalam bahasa Indonesia yang fasih. Suara keras dan lantang.


Wanita itu ditunjuk sebagai kepala Departemen Bahasa di Ferny Grove High School (SMA Ferny Grove), nama sekolah yang hari itu kami kunjungi. Dengan bersemangat, dia lantas membawa kami ke ruangannya. Dia tak asing dengan orang Indonesia. Sebab, sebelumnya, dia pernah jadi perawat di RS Dokter Kariadi, Semarang, Jawa Tengah.


Dia menunjuk plang yang menunjukan arah dan jarak beberapa kota di dunia dari Ferny Grove. Salah satunya plang Semarang yang tertulis jaraknya 5.024 kilometer dari Brisbane. "Kami memang punya hubungan istimewa, Semarang adalah sister city Brisbane," ujar Fiona.


Menurut Fiona, Wakil Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz (sekarang gubernur) bahkan sempat berkunjung ke sekolah tersebut dan menghadiahkan seperangkat alat gamelan yang lantas ditempatkan di ruang musik.


Kami lantas dibawa ke ruang guru dan diperkenalkan dengan sebagian dari mereka yang tampak sibuk mengetik atau menyusun bahan pelajaran sebelum masuk kelas. Di rungan kecil miliknya tampak sang saka merah putih dan Bendera Jerman dipajang berjajar di sela-sela buku. "Di sini diajarkan dua bahasa asing, Bahasa Indonesia dan bahasa Jerman," ujar perempuan yang dipanggil Bu Fin oleh murid-muridnya.


Setelah mengambil beberapa buku, Bu Fin membawa kami ke ruang kelas Bahasa Indonesia. Ukuran ruangan hampir sama dengan sekolah di Indonesia. Tapi kalau soal fasilitas, sekolah negeri setingkat kecamatan di Australia itu tak bisa dibandingkan dengan sekolah kelas kecamatan di Indonesia.


Dua buah kipas angin terpasang di atap kelas dalam keadaan mati. Hawa musim gugur yang suhunya antara 15-20 derajat Celcius hari itu tak memerlukan kipas angin. TV berukuran 20 inci dilengkapi dengan DVD player jadi alat pendukung pelajaran. "Terutama untuk memutar film Indonesia. Kami pernah menutar Film Ada Apa dengan Cinta. Murid-murid sangat menyukainya," kata Bu Fin bersemangat.


Rak di kelas itu berisi kamus bahasa Indonesia, buku-buku, dan beberapa majalah (tentang Indonesia) berjejer merapat di dinding kelas. Selain itu ada peta Indonesia, berbagai alat peraga, sampai poster bertuliskan "Bahasa Indonesia Menyenangkan" dipasang untuk memotivasi murid.


Sebelas orang murid dengan seragam sekolah warna hijau duduk di meja yang ditata melingkar di tengah kelas. "Ini kelas 12," ujar Bu Fin memperkenalkan para siswanya. Menurut dia, Bahasa Jerman dan Indonesia ditawarkan di kelas 8 sampai 10. Sedangkan ekstensi di kelas 12.


Setelah perkenalan dalam Bahasa Indonesia, semua murid memberondong kami dengan pertanyaan yang mereka siapkan. Dengan bahasa Indonesia yang sedikit terbata-bata, mereka bertanya soal kerja wartawan dan apa yang kami liput. Jawa Pos dan dua wartawan majalah dari Indonesia pun larut dalam diskusi.


Dengan bahasa campur-campur Indonesia dan Inggris, staf pemerintah Queensland, Monique Barnes, yang jadi pemandu kami, sesekali tersenyum menyimak diskusi. Terutama jika kami berbicara bahasa Indonesia, karena perempuan berambut ikal itu sama sekali tak mengerti Bahasa Indonesia.


Soal media, koran ternyata tak begitu populer bagi remaja di Ferny Grove. Menurut Bu Fin, remaja malas membaca koran yang isinya politik, berita kriminal, maupun Australia. Kalaupun membaca koran, bukan berita serius yang mereka baca. "Remaja kebanyakan membaca koran dari belakang, halaman olahraga. Benar kan, siapa yang seperti itu?" ujarnya kepada murid-muridnya.


Tiga orang, yakni Rachel, Zack, dan Jack langsung mengacungkan jari. "Bisa dipahami, mereka bertiga atlet," ujar Bu Fin kepada Jawa Pos.


Beberapa murid yang lain mengaku tak pernah baca koran. Seorang murid dengan rambut warna coklat mengaku lebih suka fashion. Siswi lain bernama Jasmin Tilling juga mengaku tak membaca koran. Tapi, dia sering membaca berita politik ataupun nasional di internet.


"Koran memang tak populer bagi remaja disini. Kami lebih suka TV ataupun majalah remaja," ujar Jasmin Tilling ketika memandu rombongan kami keliling sekolah. Ketika Jawa Pos menceritakan ada rubrik di koran ini yang khusus melayani remaja (Deteksi), Jasmin langsung menghentikan langkahnya. "Oh ya? Menarik sekali. Mungkin perlu ditiru di sini," ujarnya.


Pembicaraan di dalam kelas mengalir dari isu korupsi (tak menarik minat mereka, almarhum Soeharto, perilaku masyarakat Indonesia, sampai tuyul. Setan kecil itu jadi bahan obrolan yang menarik. Bu Fin yang mula-mula menyinggung soal mahluk halus pencuri uang itu.


"Kalau ada orang yang meletakkan tangan di belakang sambil berjalan, besar kemungkinan mereka sedang membawa tuyul," ujar Bu Fin menceritakan kepercayaan sebagian orang Jawa tentang tuyul. Dia menambahkan tuyul sengaja dipelihara untuk menghasilkan uang.


Dengan pandangan bertanya, murid-murid lalu bertanya seperti apa wajah tuyul. Beberapa dari mereka bergumam tak percaya ada hantu yang digunakan untuk mencari uang. "Kalau kalian percaya Casper itu ada, mungkin tuyul benar-benar ada," ujar Bu Fin.


Usai pelajaran berakhir, kami tak langsung pulang. Suguhan teh dan kopi panas serta kue-kue tersaji di dapur guru yang kecil namun bersih. Guru Bahasa Indonesia di sana, Rosita Moesa, yang berasal dari Indonesia, mengakui tantangan yang dihadapi guru bahasa Indonesia lumayan berat. Sebab, peminat Bahasa Indonesia makin lama makin berkurang.


Salah satunya karena travel warning yang dikeluarkan pemerintah Australia pasca Bom Bali yang banyak mengakibatkan warganya jadi korban tewas. "Kami tak boleh membawa murid ke Indonesia dalam kapasitas sebagai pengajar," ujar perempuan yang sudah 15 tahun tinggal di Australia itu.


Akibatnya, saat "praktik lapangan" perjalanan ke Brunei Darussalam dan Malaysia jadi alternatif. "(tak bisa ke Indonesia, Red) Itu yang membuat mereka jadi tak bersemangat," ujarnya. (el)


Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail&id=10514

Tidak ada komentar:

Posting Komentar