Rabu, 16 April 2008

Kartini di Zaman Ini


Oleh: Udo Yamin Majdi


Masih ada yang tersisa, untuk aku ceritakan, dari pertemuan dengan Bu Marwah Daud, dalam acara Pelatihan Basic Life Skill MHMMD (Merencanakan Hidup dan Mengelola Masa Depan). Aku sangat terkesan, dengan cerita beliau. "Awalnya, saya sangat berat ke Mesir", Bu Marwah mulai bercerita, "sebab, saat ini, anak saya sedang ujian. Selama ini, setiapkali anak saya ujian, saya selalu menemani mereka. Saya akan tinggalkan semua agenda saya, sepenting apapun, baik itu di ICMI, Golkar, maupun pertemuan dengan presiden, apabila anak saya ujian. Urusan yang lain, masih ada orang lain yang bisa melakukannya. Tapi, urusan anak-anak saya, hanya satu orang yang bisa melakukannya, yaitu saya sebagai ibunya. Alhamdulillah, setelah saya tanya anak saya, ternyata ujian anak saya ini hanya ujian olahraga. Ini masih bisa saya tinggalkan. Beda kalau ujian eksak, saya akan temani anak saya. Saya akan bantu anak saya belajar. Dan sebelum berangkat ujian, saya akan akan menepuk-nepuk punggung anak saya, mencium keningnya, dan mendo'akan anak saya!"


Subhanallah, cerita ini sangat menyentuh labirin hatiku, sebab aku dan isteriku memiliki "frekuensi" yang sama dengan Bu Marwah, yaitu lebih mengutamakan anak dibandingkan urusan lain. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakan cerita Bu Marwah. Mengapa aku dan isteriku lebih mementingkan anak dibandingkan yang lain? Sebab, menurut kami, anak adalah warisan untuk dunia sekaligus bekal untuk akhirat. Menurut saya, apa yang dicari oleh setiap orang dalam hidup ini, tidak lebih dari tiga hal: (1) mencari rizki; (2) mencari ilmu; dan (3) mencari pasangan hidup.


Proses mencari rizki, itu kita sebut dengan "bekerja". Coba, Anda perhatikan, apa yang dilakukan oleh manusia, baik itu di sawah, di kebun, di laut, di jalan, di kantor, dan di mana saja, bukankah semua itu dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan perut, alias kebutuhan fisik? Hanya namanya saja yang berbeda, kalau di sawah kita sebut petani, di kebun disebut peladang, di laut disebut nelayan, di jalan ada yang disebut sopir, polisi lalu lintas, pedagang asongan, dst; di kantor kita sebut pegawai, karyawan, atau buruh. Namun, hakikatnya satu yaitu bekerja.


Selanjutnya, proses mencari ilmu, kita kenal dengan "belajar". Lagi-lagi, coba Anda perhatikan, apa yang dicari oleh anak-anak TK, murid SD, siswa SLTP dan SLTA, dan mahasiswa PT? Atau apa yang dicari orang di tempat kursus? Atau, apa yang dicari oleh orang sampai ke luar negeri, termasuk saya ke Mesir? Bukankah, yang mereka dan saya cari adalah ilmu? Iya, yang kami cari adalah ilmu. Kalau bekerja lebih pada pemenuhan kebutuhan fisik --makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan seterusnya--, maka belajar untuk mencukupi kebutuhan batin atau psikologis.


Adapun, proses mencari teman hidup, kita beri nama "mencintai" atau "menyayangi". Di dunia ini, manusia terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu laki-laki dan perempuan. Kalau pun ada jenis lain, itu menyalahi kodrat. Lalu, coba Anda tanya, apa yang dicari oleh seseorang, baik ia sebagai laki-laki, perempuan, atau jenis lain --banci atau waria? Jawabannya adalah sangat sederhana, yaitu mencari teman hidup.


Jika orang menemukan "pasangan hidup" --sebagai tindak lanjut dari perteman-- dan dilakukan secara resmi, kita kenal dengan pernikahan, maka lahirlah sebutan suami dan isteri. Dari sini pula terciptalah peran-peran lain, yaitu sebagai ayah-ibu; kakek-nenek; dan seterusnya. Pernikahan atau keluarga ini untuk memenuhi gabungan dari dua kebutuhan sebelumnya. Kebutuhan ini kita sebut kebutuhan psiologis.


Nah, dalam mencari tiga hal itu (mencari rizki, mencari ilmu, dan mencari teman hidup) atau dengan kata lain, dalam bekerja, belajar, dan mencintai, manusia banyak yang keliru, sehingga merasa kehilangan makna. Sebab, mereka lakukan hal itu tanpa tujuan jelas. Padahal, dalam Islam, tujuan kita melakukan tiga hal --bekerja, belajar, dan mencintai-- tersebut adalah memberikan warisan untuk dunia dan mengumpulkan bekal untuk akhirat, atau bekal untuk mati.


Ya, bagiku, bekerja, belajar, dan mencintai adalah bekal untuk mati. Mengapa aku berpendapat demikian? Sebab, empat belas abad yang lalu, idola hidupku: Nabi Muhammad Saw., telah merumuskan tentang konsep bekerja, belajar, dan mencintai. Mari kita dengarkan sabda beliau: "Apabila manusia mati, maka semuanya terputus, kecuali tiga hal: (1) shodaqah jariyah; (2) aw ilmu yuntafa'u bihi; (3) aw waladin sholihin yad'u lahu.


Sangat menarik dan sangat cerdas, Nabi merumuskan bekerja, belajar, dan mencintai dalam konsep Islam. Beliau menjelaskan "memulai dari akhir", menyebutkan tujuan dari bekerja, belajar, dan mencintai, tanpa harus menyebutkan caranya. Secara luar bisa pula, beliau menyimpulkan kebutuhan manusia di dunia ini sekaligus kebutuhan di akhirat nanti. Mari, secara satu persatu kita bahas secara singkat.


Pertama, Nabi Muhammad Saw., menyebutkan bahwa amalan yang tidak terputus adalah shodaqah jariyah. Selama ini, makna shodaqoh jariyah, sering diartikan --oleh sebagian orang-- adalah membangun masjid, mewakafkan tanah, dan sejenisnya. Sedangkan membangun pabrik, lalu lintas, dan sejenisnya, seolah-olah bukan shodaqah jariyah. Padahl dalam hadis tersebut, shaqaqoh jariyah, lebih pada pembangunan karakter dermawan. Shadaqoh jariyah artinya memberi secara mengalir seperti air mengalir atau hembusan angin; tiada henti; terus menerus.


Pertanyaannya adalah bisakah kita dermawan tanpa harta? Tentu saja tidak bisa! Betul, senyum itu shadaqah. Tapi, apakah bangunan masjid atau jalan raya akan selesai, hanya dengan senyuman? Oleh sebab itu, kita butuh harta yang banyak. Sedangkan harta kita peroleh dengan bekerja. Jadi, makna shadaqah jariyah adalah Bekerjalah, namun hasil kerja itu, jangan hanya untuk diri sendiri; jangan hanya untuk keluarga saja; tapi berikan kepada siapa saja yang membutuhkan uluran tangan kita. Dengan kata lain, tujuan kita bekerja, adalah agar kita bisa shadaqoh.


Sebagai contoh, Kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy, penulis novel Ayat-Ayat Cinta). Beliau menjadikan menulis sebagai profesi alias pekerjaan. Dan alhamdulillah, hasil kerja sebagai penulis itu, lebih dari 1,5 milyar. Sampai saat ini, Kang Abik, tetap hidup sederhana. Bahkan, mobil pun beliau tidak punya. Kemanakah uang sebanyak itu? Ternyata uang tersebut, beliau pergunakan untuk membangun Pesantren Basmala. Dan pesantren ini sebagai sarana untuk membina umat. Lantas, apa yang menggerakan Kang Abik tetap hidup sederhana dan mempergunakan hasil kerjanya untuk orang lain? Inilah yang menggerakan beliau: karena beliau butuh bekal mati.


Kedua, al-'ilmu yuntaf'u bihi. Selama ini, kalimat ini sering orang artikan dengan kata "ilmu yang bermanfa'at". Sedangkan makna sebenarnya, lebih dari itu. Nabi mengunakan diksi "intafa'a", tidak memakai "nafa'a"? Apa beda dua kata ini?


Nafa'a artinya berfaidah. Sedangkan intafa'a, selain berarti berfaidah, juga bermakna "berfungsi". Agar lebih memudahkan kita memahaminya, aku akan berikan contoh. Dalam acara Dialog Umum di Azhar Conference Center (ACC) kemaren, di hadapan ribuan mahasiswa Indonesia Mesir, KH. Hasim Muzadi bercerita, bahwa di Amerika, beliau bertemu dengan seorang profesor yang hapal Al-Quran, namun ia tidak mengimani Al-Quran sebagai wahyu alias tidak memeluk Islam. Namun, profesor yang mengajar Islamic Studies tersebut, berkontribusi memperkenalkan Islam dan Al-Quran di Barat.


Apa yang terjadi pada profesor tersebut adalah contoh dari kata "nafa'a": ilmunya berfaidah pada orang lain, namun tidak berfungsi dalam dirinya. Di sini kita melihat bahwa antara ilmu dan karakter diri, dua hal yang berbeda. Ilmu tidak selamanya berbanding lurus dengan tingkah laku seseorang. Maka tidak aneh, ada ekonom yang mengajarkan ilmu ekonomi, namun ia seorang koruptor. Atau seorang agamawan, namun tindakannya jauh dari nilai-nilai agama yang ia ceramahkan. Dan seterusnya.


Adapun intafa'a, selain berfaidah, ilmu itu berfungsi untuk dirinya sendiri. Sebagai contoh, kita lihat dua pendiri Forum Lingkar Pena (FLP): Mbak Helvy (Helvy Tiana Rosa) dan Mbak Asma Nadia (Asmarani Rosalba). Ilmu menulis kakak beradik ini, selain berfaidah untuk orang lain, namun berfungsi dalam diri beliau berdua: mereka menulis. Mereka berdua begitu semangat menulis sekaligus mengajarkan ilmu menulis. Sehingga FLP bukan hanya bertebaran di pelosok nusantara, namun juga sampai ke manca negara, termasuk di Mesir. Lebih menariknya lagi adalah Mbak Helvy bisa mendidik anaknya Faiz dan Mbak Asma mendidik anaknya Caca menjadi penulis.


Apa yang menggerakkan Mbak Helvy dan Mbak Asma untuk membagikan ilmu lewat tulisan dan pelatihan --serta acara yang lainnya? Dari beberapa pertemuan dengan beliau berdua, aku menangkap semangat yang sama, seperti Kang Abik, beliau berdua lakukan sebagai bekal mati.


Jadi, makna sabda nabi tersebut, belajarlah Anda, lalu jadikan ilmu itu berfungsi dalam dirimu dan berfaidah bagi orang lain.


Ketiga, aw waladin shalihin yad'u lahu. Artinya, anak sholeh (sholehah) yang mendo'akan kedua orang tuanya. Apa hubungan anak sholeh dengan mencintai? Baik, untuk menjawabnya, kita kembali kepada kaidah di atas "Nabi memulai dari akhir" atau "menyebutkan tujuan, tapi tidak menyebutkan caranya".


Ya, anak sholeh adalah akhir atau tujuan. Mungkinkah kita punya anak sholeh, tanpa pasangan hidup? Berarti jalan untuk memiliki anak sholeh adalah menikah. Apakah dengan menikah, serta merta akan punya anak sholeh? Tentu saja tidak! Air yang jernih, keluar dari mata air yang jernih. Begitu juga anak yang sholeh lahir dari orang tua yang sholeh. Maka sungguh aneh, jika ada yang mengharapkan anak sholeh, tapi dengan cara melacur, atau menikah sesama jenis (lesbian dan homo)!


Dari sekian banyak ortu yang sungguh-sungguh mendidik anaknya menjadi anak sholeh adalah Mas Tamim (Mutammimul Ula, anggota DPR RI dari PKS) dan isterinya, Dra. Wirianingsing, sering dipanggil Mbak Wiwi. Aku mengenal Mas Tamim, sebab kami pernah aktif di organisasi yang sama, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII) dan tahun 2004, kami bertemu di Mesir. Yang menarik bagiku, kedua ortu ini, mendidik anak mereka, mereka tidak tidak mendikotomi ilmu, agama dan umum. Mereka ajarkan semua, dan awalnya menghapal Al-Quran. Untuk lebih jelasnya, coba Anda perhatikan biodata anak mereka ini:


Afzalurrahman, 21 tahun, semester 6 Teknik Geofisika ITB, Hapal Al-Qur'an sejak usia 13 tahun. Sekarang masuk dalam program PPSDMS, Ketua Pembina Majelis Taklim Salman ITB, terpilih peserta Pertamina Youth Programme 2007 dari ITB;

Faris Jihady Hanifa, 20 thn, semester 4 Fakultas Syariah LIPIA hafal Al-Qur'an sejak usia 10 tahun (mumtaz). Juara 1 lomba tahfiz Al-Qur'an 30 Juz yang diselenggarakan Kerajaan Saudi di Jakarta 2003, Juara 1 lomba olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ 2004;

Maryam Qonitat, 18 thn, semster 2 Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Cairo (tinggal dekat apartemenku di Nasr City Cairo), hapal Al Qur'an usia 16 tahun. Pelajar teladan/lulusan terbaik Husnul Khotimah 2006;

Scientia Afifah, 17 tahun, kelas 3 SMU 28 hapal 10 Juz Al Qur'an, juara mengarang tingkat SD se-Kab Bogor 2000, Pelajar Teladan, lulusan terbaik Mts Al Hikmah 2004;

Ahmad Rosikh Ilmi, 15 thn, kelas 1 MA Khusnul Khotimah, baru hafal 6 juz, Pelajar Teladan SDIT Al Hikmah thn 2002, Lulusan terbaik MTs AlKahfi 2006

Ismail Ghulam Halim, 13 tahun kelas 2 Mts Al Kahfi, baru hafal 8 juz, Juara Olimpiade IPA tkt SD Jaksel 2003, meraih 4 penghargaan Al-Kahfi 2006 (tahfiz terbaik, santri favorit, santri Teladan, Juara Umum) Ketua OSIS Pesantren Al-Kahfi;

Yusuf Zain Hakim, 12 thn, kls 1 Mts Al Kahfi, hafal 5 juz. rangking 1 dikelasnya;

Muh Saihul Basyir, 11 thn, kelas 5 SDIT Al Hikmah, hafal 2,5 juz;

Hadi Sabila Rosyad, 9 tahun, kelas 4 SDIT Al HIkmah, hapal 2 Juz;

Himmaty Musyassarah, 7 tahun, hapal 1 juz; dan

Hasna wafat usia 3 thn 7 bulan, bulan Juli 2006


Jadi, maksud hadis nabi, waladin sholihin yad'u lahu adalah bila Anda mencintai lawan jenismu, maka menikahlah. Setelah menikah, bentuklah generasi yang sholeh-sholehah.


Kesimpulan dari hadis nabi tersebut adalah apabila Anda bekerja, maka shodaqohlah; apabila Anda belajar, maka fungsikan dan manfa'atkanlah ilmu; dan jika Anda mencintai pasanganmu, maka menikahlah dan didiklah anak Anda menjadi sholeh-sholehah. Dan niatkan tiga hal ini --bekerja, belajar, dan mencintai-- sebagai bekal mati.


Baik, kita kembali kepada kisah Bu Marwah dan alasanku bersama isteriku yang lebih mengutamakan pendidikan anak. Dari pemaparan di atas, aku ingin menegaskan bahwa mendidik anak adalah kebutuhan hidup, bukan sebuah kewajiban. Selama ini, tidak sedikit yang memahami bahwa pendidikan anak hanya sebuah kewajiban. Lebih parahnya lagi, ada tahu itu sebuah kewajiban, tapi tidak serius mendidik anaknya, mereka menganggap dengan memasukan ke sekolah atau perguruan tinggi, maka telah menunaikan kewajiban. Sedangkan mereka, terutama kaum ibu, dengan bangga menjadi wanita karir dan menggembar-gemborkan kesetaraan (emansipasi).


Oleh sebab itu, dalam mementum Hari Kartini, aku mengajak isteriku dan siapa saja, untuk sebentar saja merenung tentang peran kita sebagai ortu, terutama sebagai ibu. Selama ini, banyak yang tidak tahu, bahkan keliru, memahami Hari Kartini. Para feminis, sering mengangkat sosok R.A. Kartini sebagai perjuangan seorang perempuan agar setara dengan kamu laki-laki. Lebih parahnya lagi, mereka menyembunyikan faktor yang menggerakkan Kartini berjuang, yaitu Islam. Malahan sekarang sebaliknya, seolah-olah, Islam menjadikan kaum perempuan terkungkung.


Padahal perjuangan R.A. Kartini, bukan untuk kesetaraan gender (emansipasi), melainkan menuntut pendidikan untuk kaum wanita agar mereka bisa menjadi para ibu cerdas yang bisa mendidikan anak mereka dengan baik. Ini terlihat dari surat R.A Kartini yang beliau tujukan untuk Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902: "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."


Begitu juga halnya, sangat salah, kalau ada yang berpendapat bahwa Islam menjadikan kaum wanita terbelakang. Justru sebaliknya, sejak Islam datang, untuk memperjuangkan hak dan kedudukan perempuan pada posisi terhormat. Bahkan, Islamlah yang memberikan inspirasi kepada R.A. Kartini untuk berjuang. Ini dapat kita lihat pada surat beliau untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902: "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." Lebih jelas lagi, kepada gurunya; Kyai Sholeh Darat, beliau berkata: "Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"


Lebih lanjut, perjuangan Kartini bukan ingin meniru Barat seperti yang dilakukan feminis saat ini, melainkan ingin memperkenalkan Islam kepada Eropa. Ini terlihat dari tulisan beliau kepada kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang berbunyi: "Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?"


Jika R.A Kartini berjuang setelah memahami Islam dan mengkaji isi al-Quran -- terutama terinspirasi dengan firman Allah SWT: minadh-dhulumati ilan-nur [mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) dalam surat Al-Baqarah [2]: 257, lalu diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, "Habis GelapTerbitlah Terang"-- lalu mengapa ada yang menuduh Islam sebagai pengekang kehidupan perempuan? Islam memposisikan perempuan sebagai pendidik anak, bukan untuk menindas mereka, melainkan hanya sebatas pembagian kerja saja. Islam juga tidak melarang wanita untuk menjadi wanita karir, aktif di luar rumah, dan berperan di dunia publik, tapi dengan syarat mereka tidak melupakan peran domestik mereka, yaitu mendidik anak.


Dengan sengaja, aku memberikan contoh Bu Marwah Daud, Mbak Helvy, Mbak Asma, dan Mbak Wiwi, karena beliau berempat adalah perempuan yang super-sibuk dan seabrek dengan aktifitas di luar rumah, namun mereka tetap punya komitmen: lebih mendahulukan anak-anak mereka. Nah, sudahkah Anda menjadikan pendidikan anak sebagai skala prioritas utama? Dan siapkah Anda menjadi Kartini zaman ini?


* * *


Cathar ini awalnya sebagai kado untuk isteriku pada hari Wedding Anniversary ke-3 kami, namun aku persembahkan untuk siapa saja yang punya komitmen mendidik anak-anaknya dalam rangkat merenungi Hari Kartini.


Sumber: http://udoyamin.multiply.com/journal/item/83/Kartini_di_Zaman_Ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar