Kamis, 24 April 2008

Menggagas Dialog Islam-Barat

Belakangan ini, berbagai bentuk pelecehan dan penodaan terhadap Islam datang silih berganti. Mulai dari kasus Salman Rushdie dengan bukunya The Satanic Verses, sampai ke tindakan seorang warga Denmark yang membuat karikatur Nabi Muhammad. Setelah itu, ulah politikus Belanda Geert Wilders yang memojokkan Islam dengan tayangan film hasil besutannya "Fitna".


Peristiwa tersebut telah mencoreng hubungan mesra antara Islam dan Barat, baik dalam tataran kerukunan hidup antarumat beragama atau hubungan diplomatik antara negara-negara Islam dan Barat.


Paradigma Barat


Kalau dicermati, rentetan peristiwa yang terjadi muncul akibat kesalahpahaman antara Islam dan Barat. Barat selama ini tidak mendapatkan deskripsi yang utuh tentang Islam sebagaimana disinyalir oleh seorang orientalis barat William Montgomery Watt dalam bukunya Der Islam. Ia menyatakan, "Riset objektif yang telah berlangsung sejak 150 tahun, belum mampu menampilkan wajah Islam yang benar di hadapan barat."


Hampir sebagian masyarakat Barat selama ini mengidentikkan Islam dengan kekerasan dan kebiadaban. Mereka menuduh Islam sebagai biang keterbelakangan dan kemunduran. Pengidentikan ini diopinikan terus oleh Barat melalui media massa, industri perfilman, dan institusi pendidikan.


Atas dasar ini, maka dialog peradaban adalah satu-satunya solusi untuk menjembatani perbedaan paradigma Barat terhadap Islam. Hal itu akan terlaksana jika masing-masing pihak mau untuk sama-sama saling menghormati dan mengakui hak asasi manusia tanpa membedakan warna kulit, ras, dan agama.


Tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations yang memprediksi pertarungan peradaban antara Islam dan Barat menjadi terbantahkan. Karena tidak semua pertarungan melibatkan dua peradaban tetapi terkadang muncul dari intern satu peradaban seperti yang terjadi pada Perang Dunia I dan II. Faktor penyebabnya lebih pada kepentingan politik dan ketamakan untuk menguasai sumber daya alam suatu bangsa.


Kadangkala, pertarungan juga muncul karena sikap segelintir orang yang memahami agama secara parsial sehingga menimbulkan aksi teror dan kekerasan.


Titik temu


Dialog merupakan cara damai dan terbaik untuk menyelesaikan krisis peradaban. Peluang untuk melakukannya masih terbuka lebar, karena terdapat titik temu yang bisa dijadikan landasan untuk saling menghormati dan memahami.


Ajaran masing-masing agama meyakini keberadaan Allah sebagai zat yang menciptakan segala sesuatu. Allah menyeru manusia untuk beriman, berbuat baik, dan meyakini adanya surga dan neraka. Itu menjadi spirit bagi umat beragama untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan.


Juga seruan masing-masing agama untuk mewujudkan nilai-nilai universal seperti keadilan, toleransi, dan persamaan hak sudah menjadi ajaran yang wajib dipatuhi oleh setiap pemeluk agama tanpa terkecuali.


Di samping itu, ajaran masing-masing agama menyeru untuk terciptanya perdamaian dan terwujudnya keadilan untuk seluruh umat manusia. Kesemuanya sama-sama mengecam segala bentuk tindak kekerasan dalam mewujudkan tujuan.


Sarana


Dialog dengan sendirinya tidak akan mencapai hasil maksimal kecuali didasarkan pada kemauan dan keseriusan kedua belah pihak untuk sama-sama saling menghormati budaya dan mengakui hak asasi manusia secara sama. Terdapat sarana-sarana penting yang bisa menciptakan kondisi tersebut.


Pertama, pendidikan. Pendidikan berperan penting dalam mengubah stigma masyarakat terhadap suatu problematika. Kekeliruan cara pandang Barat terhadap Islam muncul disebabkan oleh ketidaktahuan atau kesengajaan pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan adanya hubungan harmonis antara Islam dan Barat.


Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan iklim saling memahami dan menghormati peradaban lain. Rancangan kurikulum pendidikan semestinya bukan bertujuan sebatas pengenalan terhadap peradaban dan kebudayaan masing-masing tetapi lebih jauh untuk menanamkan kesadaran pentingnya nilai-nilai kesamaan. Peradaban boleh berbeda tetapi kerja sama dan penghormatan kepada budaya lain harus dikembangkan.


Menghormati peradaban lain bukan berarti menerima atau menolak, tetapi mengenal dan memahami sikap, tujuan, dan kondisi pembentuknya, karena pada akhirnya peradaban adalah hasil karya manusia yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan dengan cara dan sarana yang berbeda-beda. Nilai-nilai seperti ini yang mesti ditanamkan pada semua level pendidikan.


Kedua, media (baik cetak atau elektronik). Arus globalisasi telah membuat dunia menjadi kecil. Semua peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dengan mudah bisa diakses. Media mampu menembus batas-batas ruang dan waktu. Pengaruhnya dalam membentuk opini umum sangat dahsyat. Bukti sederhana adalah isu Islamphobia yang selalu diembuskan media barat untuk memutarbalikkan fakta dan sejarah Islam.


Pendeskripsian Islam secara sepihak tentu bertentangan dengan budaya saling menghormati dan pengakuan terhadap HAM. Sudah sepatutnya Barat menata ulang sistem pemberitaannya terhadap Islam. Dan itu akan berjalan sesuai dengan tujuannya jika dikontrol dengan baik.


Ketiga, organisasi internasional. Peran organisasi internasional seperti PBB sangat dibutuhkan untuk menciptakan budaya saling menghormati antarperadaban. PBB bisa lebih mengefektifkan semua badan-badan di bawahnya seperti UNESCO untuk mempromosikan peran dan kontribusi berbagai peradaban dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dunia. Sehingga, setiap peradaban layak dihormati dan pada waktu yang sama dijadikan sebagai sarana untuk menyebarkan perdamaian dunia.


Dialog antarperadaban bukan sekadar basa basi atau retorika formal. Tetapi bisa efektif apabila dibangun atas kemauan serius dari kedua belah pihak untuk mencapai perdamaian, keadilan, dan kesepahaman. Hal itu menuntut sikap kemanusian untuk menembus tembok-tembok fanatisme, kebencian, kekerasan, luka sejarah, dan kekeliruan persepsi.


Semua itu akan terealisasi dengan niat tulus dan kemauan serius dari kedua peradaban untuk bersama-sama saling memanfaatkan titik temu agar tercapai tujuan dan sasarannya. Keberhasilan dialog akan menentukan masa depan peradaban dunia. Jaminan perdamaian, stabilitas internasional, dan kerja sama yang erat terletak di pundak para pemimpin dan rakyat. Pada akhirnya, dialog diharapkan menjadi solusi dari krisis multidimensi yang mengganggu hubungan antarkedua peradaban.***


L. Supriadi

Penulis, mahasiswa program doktoral di Univ. Islam Omdurman Sudan. Sekarang berdomisili di Kairo Mesir.


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=20256

8 komentar:

  1. TFS mas, dialog seperti itu mungkin enggak ya untuk dilaksanakan?

    BalasHapus
  2. kalo semua pihak mendukung, mungkin saja terlaksana dengan baik.

    BalasHapus
  3. Semoga saja bisa terlaksana dengan baik

    BalasHapus
  4. bukannya sudah digagas oleh mantan presiden Iran Muhammad Khatami dan juga prof. Tariq Ramadan (misalnya lewat buku to be european muslim)? kok dua nama ini gak disebut ya? kalau gak salah The Asian Renaissance dari Anwar Ibrahim juga menyinggung soal ini.

    BalasHapus
  5. itu mungkin hanya sebatas wacana saja. tapi dialog real yang dilangsungkan sepertinya masih jarang.

    apa ada penerus ahmad deedat?

    BalasHapus
  6. dedaat mah islam-kristen, teologis. kan kita maunya dialog peradaban. dan tariq kan memang bener2 di eropa, sekarang guru besar di rotterdam.

    BalasHapus
  7. oic. apakah prof. Tariq Ramadan menggelar dialog nyata (selain lewat bukunya)?

    BalasHapus